Reporter

Jatimnet

Jumat, 3 Juli 2020 - 10:00

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Lima sepeda mereka pedal dengan iringan dua mobil meninggalkan Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menuju Kantor Gubernur Jawa Timur, Kamis, 20 Februari 2020. Perwakilan sebagian warga desa-desa di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu itu hendak berdemonstrasi.

 

Saat menggelar orasi, mereka menuntut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Gunung Tumpang Pitu dan perbukitan di sekitar Teluk Pancer dekat rumah mereka.

 

Gunung berketinggian 489 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu kini ‘terbebani’ IUP produksi 4.998 hektar untuk PT. Bumi Suksesindo (BSI), dan 6.558 hektar di perbukitan IUP eksplorasi untuk PT. Damai Suksesindo (DSI). Keduanya merupakan anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold (Tbk).

 

Jumlah demonstran semula 62 orang. Mereka menggelar aksi mengayuh sepeda bergantian dari Banyuwangi menuju Surabaya berjarak sekitar 300 kilometer. Setelah sampai Surabaya, rombongan terbagi tiga. Ada yang melanjutkan aksi bersepeda ke Jakarta untuk bertemu Presiden, sebagian kembali ke Banyuwangi, dan 12 orang bertahan di Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya.

 

NGONTEL. Warga Kec. Pesanggaran, Banyuwangi, berangkat dari kantor LBH Surabaya menuju kantor Gubernur Jawa Timur mengendarai sepeda ontel, Kamis, 20 Februari 2020. Foto: Ahmad Suudi

 

BACA JUGA: Tolak Perluasan Tambang, Warga Banyuwangi Bersepeda ke Surabaya Temui Khofifah

 

Mereka punya tiga alasan untuk menolak penambangan emas di kawasan Tumpang Pitu. Pertama, mereka menolak gunung itu ditambang karena selama ini menjadi penuntun nelayan pulang dari laut. Saat akan pulang dari laut luas, mereka mencari Pulau Nusa Barong di sebelah kiri, puncak Tumpang Pitu di tengah, dan Gunung Agung di sebelah kanan.

 

Setelah puncak Tumpang Pitu terlihat mereka mengarahkan perahu ke sana dimana tempat tinggal mereka berada. Ketika gunung itu kini digunduli hutannya dan digali tanahnya, nelayan khawatir ketinggian gunung akan berkurang. Jika itu terjadi, ‘mercusuar alami’ mereka tak lagi bisa mereka andalkan untuk menuntun arah mereka pulang.

 

Kedua, deretan gunung dan bukit yang mengepung Teluk Pancer itu memiliki fungsi mitigasi warga untuk berlindung dari angin tenggara maupun ancaman tsunami. Angin tenggara datang rutin setiap Mei dan puncaknya terjadi pada Agustus. Saat angin kencang itu datang, pasir-pasir halus pantai terbang terhempas ke arah permukiman yang dihuni ribuan orang warga.

 

Gunung Tumpang Pitu yang berada di bagian tenggara teluk dan langsung berbatasan dengan pantai selama ini menjadi tameng yang menjaga permukiman dari hantaman angin tenggara. Sebagian warga khawatir angin tenggara semakin menggila ketika gunung semakin rendah dan fungsi perlindungannya berkurang.

 

"Ini masih ada Tumpang Pitu, kalau tidak ada langsung blus (suara hembusan angin) ke sini, ada tamengnya saja begini. Bulan delapan angin tenggara keras-kerasnya dan besar-besarnya ombak," kata Atim, 68 tahun, warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Rabu, 29 Mei 2019.

 

BACA JUGA: Abaikan Dampak Sosial dan Lingkungan, Warga Ancam Tutup Paksa Tambang Emas Banyuwangi

 

MONUMEN TSUNAMI. Monumen peringatan tsunami Pancer tahun 1994 yang menyebabkan 229 orang meninggal dunia di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Banyuwangi, 29 Mei 2019. Foto: Ahmad Suudi

 

Rekam Jejak Bencana

Tsunami yang menyapu pesisir Pulau Merah, Pancer, Lampon, dan Rajegwesi di Kecamatan Pesanggaran, Jumat 2 Juni 1994, juga membuat warga sadar pentingnya mitigasi bencana tsunami. Sebagian warga yang kini tinggal di pesisir Pancer menyaksikan sendiri bagaimana gelombang air setinggi atap datang pukul 02.00 WIB, merusak hampir semua rumah dan mencatatkan korban meninggal dunia 229 orang.

 

Kini papan-papan pengarah jalur evakuasi bencana terpasang di tepi jalan yang sebagian menunjuk ke barisan perbukitan di utara teluk yang juga akan ditambang. Sebagian warga sekitar teluk menolak Gunung tumpang Pitu dan perbukitan dekat permukiman ditambang agar tempat mereka berlindung dari tsunami tetap terjaga.

 

Katalog Desa/Kelurahan Rawan Tsunami yang diterbitkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2019 memasukkan 38 desa dan kelurahan di Banyuwangi sebagai rawan tsunami sedang termasuk Desa Sumberagung dimana Teluk Pancer dan Gunung Tumpang Pitu berada.

 

Sedangkan dalam laporan Indeks Risiko Bencana yang juga diterbitkan BNPB tahun 2013, Banyuwangi merupakan kabupaten dengan risiko bencana terbesar urutan 11 nasional dengan skor 219 dari skor tertinggi 250. Dalam laporan yang sama, Banyuwangi tercatat sebagai salah satu dari 108 kabupaten dengan skor risiko tsunami 24 yang merupakan nilai tertinggi nasional.

 

BACA JUGA: Khofifah Minta Warga Penolak Tambang Emas Banyuwangi Tunjukkan Bukti Pelanggaran

 

TEREKSPLOITASI. Khofifah berdiri di panggung dengan latar belakang Gunung Tumpang Pitu yang tereksploitasi dalam Petik Laut di Pelabuhan Ikan Pancer, Banyuwangi, 8 September 2019. Foto: Ahmad Suudi

 

Alasan ketiga, demonstran menuntut penutupan pertambangan Tumpang Pitu karena dampaknya yang mengubah pola pasokan mata air gunung yang selama ini memenuhi kebutuhan mereka. Kini, Sungai Katakan yang mengalir dari gunung ke lembah dimodifikasi oleh perusahaan tambang untuk memenuhi kebutuhan operasional mereka. Warga merasa dirugikan dengan terjadinya banjir saat musim hujan dan perubahan kondisi air sumur permukiman warga di Lembah Katakan.

 

Banjir terbesar yang terjadi pada tahun 2016 hingga ke muara Pantai Pulau Merah di kaki Tumpang Pitu mengakibatkan destinasi selancar laut dengan seribu kunjungan per hari itu rata dengan lumpur. Lagi, gunung itu menjadi tempat warga mencari tanaman obat secara turun-temurun yang sekarang tak lagi bisa mereka jangkau karena telah menjadi Obyek Vital Nasional (Obvitnas).

 

Modifikasi Sungai Katakan oleh BSI yang dikatakan warga merusak pola pasokan air dari gunung ke permukiman dan lahan pertanian ditanggapi Kepala Bidang Lingkungan dan Pengendalian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi Budi Wahono. Dia mengatakan sungai yang hanya mengalirkan air di musim hujan itu kini tertata, indah, dan berair jernih setelah dibangun bendungan-bendungan dan plengsengan oleh perusahaan tambang.

 

Menururtnya, banjir lumpur dari Sungai Katakan yang berdampak luas di Pantai Pulau Merah tahun 2016 bukan akibat dari penggundulan hutan dan penggalian tanah Tumpang Pitu yang dilakukan BSI. Dia menyebutkan pendapatnya itu didukung fakta bahwa kini tak pernah lagi terjadi banjir, bahkan setelah produksi pertambangan dilakukan secara besar-besaran.

 

"Dan tidak ada banjir lumpur lagi, justru dengan adanya pembangunan enam dam itu dipantau oleh mereka. Sekarang kualitas Sungai Katakan jauh lebih baik. PT BSI justru bisa mengatur debit airnya, baku airnya disalurkan ke sawah-sawah yang ada di sekitar lokasi Tumpang Pitu," kata Budi Wahono.

 

BACA JUGA: Temui Warga, Komnas HAM Mulai Investigasi Konflik Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi

 

EVAKUASI. Papan penunjuk evakuasi bencana tsunami di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, mengarah ke perbukitan utara Teluk Pancer, Minggu, 12 Januari 2020. Foto: Ahmad Suudi

ESDM Jatim Teliti Bencana Hidrometeorologi

Setelah beberapa hari bertahan, Jumat, 28 Maret 2020, warga Kecamatan Pesanggaran yang menolak tambang emas berhasil menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di kantornya yang dilaksanakan secara tertutup. Setelah pertemuan, Khofifah tak memberikan keterangan pada awak media dan mewakilkan ke Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jawa Timur Setiajit.

 

Setiajit menerangkan sanksi administrasi seperti pencabutan IUP bisa diberikan bila ada pelanggaran pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tapi sejauh ini pemprov tak melihat PT. BSI dan PT. DSI yang beroperasi di sekitar Teluk Pancer melanggar aturan. Dia memilih menugaskan inspektur tambang dan tim pengawas tambang untuk melihat kemungkinan dampak tambang pada bencana hidrometeorologi maupun perusakan tempat evakuasi bencana.

 

“Tapi saya yakin itu tidak terjadi karena sudah diawasi Kementerian LHK juga,” kata Setiajit.

 

BACA JUGA: Walhi Jatim Yakin Tambang Emas Melanggar Perundangan

 

Nur Hidayat, 36 tahun, warga Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang juga mengikuti pertemuan dengan Gubernur mengaku kecewa karena Khofifah tidak memihak masyarakat yang terdampak tambang. Bukannya membahas dampak buruk yang dikeluhkan masyarakat, menurutnya, Khofifah justru membicarakan kelompok masyarakat lain yang mendukung tambang.

 

Mereka juga menyerahkan berkas yang menurut pria akrab disapa Dayat itu berisi bukti perusahaan tambang melanggar undang-undang disertai kajian kerusakan lingkungan. Selanjutnya pihaknya menunggu tanggapan Khofifah pada kajian yang sudah mereka susun tersebut.

 

“Berkas sudah kami serahkan ke Gubernur, di situ harusnya Gubernur mempelajari laporan kita. Bukan justru mengadu dengan kelompok pro (tambang),” kata Dayat yang bekerja sebagai penjual buah naga itu.

 

BACA JUGA: Warga Banyuwangi Penolak Tambang Emas Lindungi Bukit Salakan Tempat Evakuasi Tsunami

 

Aspirasi juga kerap mereka sampaikan kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyuwangi. Tapi tanggapan kedua pihak untuk menyelesaikan masalah tak kunjung ada.

 

Pada Selasa, 7 Januari 2020, warga mendirikan tenda di tepi jalan untuk mengawasi akses jalan menuju barisan bukit di utara teluk. Hal itu mereka lakukan setelah BSI hendak menambah titik pertambangan mereka ke sebagian perbukitan tersebut dengan diawali pemasangan geolistrik.

 

Beberapa kali terjadi penghadangan dan saling dorong antar warga penolak tambang dengan kepolisian yang mengawal rombongan petugas BSI. Saat tak ada penghadangan mereka bersantai di bawah tenda. (Ahmad Suudi, Baehaqi Almutoif)

 

BACA JUGA: (BAGIAN 2) Tambang Emas Tumpang Pitu: Antara Bisnis dan Hukum

 

BACA JUGA: (BAGIAN 3) Tambang Emas Tumpang Pitu: Siasat Penurunan Status Hutan

 

BACA JUGA: (BAGIAN 4) Tambang Emas Tumpang Pitu: Bagian dari Deforestasi Hutan Jawa

Baca Juga

loading...