Zidni Ilman Nafia

Kamis, 19 Juni 2025 - 09:00

JATIMNET.COM, Tuban – Skandal korupsi pengelolaan dana hibah di Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022 terus bergulir. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita tiga bidang tanah di Kabupaten Tuban yang diduga dibeli dari hasil korupsi dana hibah. 

"Telah dilakukan penyitaan terhadap tiga bidang tanah yang berlokasi di Tuban. Aset ini diduga berasal dari aliran dana tindak pidana korupsi dan rencananya digunakan untuk lokasi penambangan pasir," ujar juru bicara KPK Budi Prasetyo di Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025. 
    
Meski pusat perhatian banyak tertuju pada struktur pemerintah provinsi, penyidikan KPK mulai menyorot lebih dalam peran aktor lokal di daerah. Indikasi keterlibatan tokoh politik dan jaringan kekuasaan di tingkat kabupaten kini semakin mencuat. 

Hal itu menyusul beberapa nama di Kabupaten Tuban yang pernah diperiksa KPK, termasuk Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky yang dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus ini. Ia sebelumnya menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dari Partai Golkar. 

BACA: Suap Hibah APBD Jatim Mengalir Jauh, dari Pejabat sampai Masyarakat

Terbaru, Selasa 17 Juni 2025, KPK juga memanggil mantan Anggota DPRD Kabupaten Tuban Mohamad Abu Cholifah dari PDIP sebagai saksi. 

Selang satu hari, KPK ikut menyita tiga aset tanah di Bumi Wali. Namun, terkait siapa dan dimana lokasinya lahan itu, lembaga antirasuah itu tak menyebutkan detail. 

Pemanggilan tokoh lokal ini mengindikasikan dugaan praktik korupsi tidak hanya terjadi di level atas, tetapi juga melibatkan jaringan kekuasaan politik lokal. 

Anggota ormas Pemuda Pancasila (PP) mendatangi dua rumah La Nyalla Mattalitti di Wisma Permai Barat, Kel/Kec. Mulyorejo, Surabaya, yang digeledah KPK, Senin, 14 April 2025. Foto: Jatimnet

Peneliti Malang Corruption Watch (MCW) Adi Susilo menegaskan dugaan keterlibatan aktor lokal bukan isapan jempol belaka. 

"Aktor lokal memungkinkan, bahkan bisa dipastikan terlibat. Karena hibah itu munculnya dari bawah, dari kelompok masyarakat lokal, tapi distribusinya seringkali dikendalikan elite politik," ujarnya kepada Jatimnet, Kamis pagi, 19 Juni 2025. 

Pria yang juga menjadi Koordinator MCW itu menjelaskan pola distribusi dana hibah di Jawa Timur selama ini telah menunjukkan indikasi kuat keterlibatan jaringan politik lokal sebagai penerima maupun perantara. 

“Mulai dari DPRD Provinsi, mereka punya jaringan kepercayaan di kabupaten dan bahkan desa. Biasanya mereka ini bagian dari tim sukses saat Pemilu. Saat dana hibah cair, kelompok-kelompok lokal ini jadi penerima, baik langsung maupun sebagai perantara,” ujarnya. 

BACA: Dana Hibah KONI Jatim Dikorupsi? Ini Tanggapan Sekda Jatim

Bahkan, kata dia, di beberapa kasus, hibah malah diperjualbelikan. Selain itu, kelompok masyarakat penerima bantuan terkadang harus menalangi terlebih dahulu kegiatan, baru kemudian dananya dicairkan, sehingga menciptakan potensi korupsi semakin besar. 

Menurutnya, dana hibah seharusnya bersifat aspiratif. Diajukan dari bawah oleh masyarakat melalui proposal untuk kebutuhan riil, seperti pembangunan fasilitas publik atau kegiatan sosial. Namun dalam praktiknya, proses itu telah dibajak menjadi bagian dari politik balas budi. 

“Bahkan di beberapa kasus, dana hibah itu diperjualbelikan. Ada masyarakat yang diminta menyetor lebih dulu agar nanti dijanjikan pencairan. Ini bukan hanya korupsi administratif, tapi sudah jadi mekanisme dagang dalam politik lokal,” katanya. 

Temuan KPK terkait pembelian lahan tambang pasir di Tuban dari dana hibah mengindikasikan skema korupsi tidak sekadar memperkaya individu, tetapi juga diarahkan untuk investasi jangka panjang dengan nilai ekonomi tinggi. 

BACA: Pengembangan Korupsi Dana Hibah Pokmas Jatim, KPK Geledah Dua Rumah La Nyalla Mattalitti

"Yang kita lihat, dana hibah disalurkan, lalu disalurkan lagi ke jaringan lokal dan sebagian akhirnya dipakai untuk beli lahan tambang. Ini bukan hanya penggelapan, tapi akumulasi modal berbasis dana publik," tutur pria asal Kabupaten Trenggalek itu. 

Pria berbadan tinggi itu mengungkapkan selain di Tuban, dari data yang didapat, beberapa aset di wilayah lain juga telah disita KPK karena kasus korupsi hibah pokmas Pemprov Jatim, seperti di Surabaya, Malang, Probolinggo, bahkan Banyuwangi. 

Menurutnya, kasus ini menunjukkan praktik korupsi dana hibah di Jawa Timur bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari struktur politik patronase yang melibatkan elit daerah. 

Dalam sistem ini, politisi di DPRD menjadikan dana hibah sebagai jatah politik untuk memperkuat jaringan dukungan di akar rumput. 

“Kalau KPK serius menyisir semua jalurnya, potensinya besar. Karena keterlibatan itu berlapis, dari provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa. Dan semua bergerak lewat jalur politik yang sangat pragmatis,” kata calon Magister Sosiologi Pembangunan Universitas Brawijaya tersebut.

Baca Juga

loading...