Kamis, 25 December 2025 07:00 UTC

Salah satu lahan tambang di Kabupaten Tuban milik SIG. Foto: Dok. Warga
JATIMNET.COM, Tuban – Kabupaten Tuban telah lama dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki kekayaan sumber daya mineral batuan terbesar di Jawa Timur (Jatim).
Perbukitan kapur yang membentang dari wilayah timur hingga barat menjadi tumpuan industri ekstraktif sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang. Perusahaan milik BUMN, seperti PT Semen Indonesia (SIG) dan PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) melakukan aktivitas tambang berskala besar di sana.
Tidak hanya itu, ratusan tambang yang dioperasionalkan perusahaan swasta juga berlangsung di Kota Sunan Bonang.
Di balik geliat industri tambang itu tersimpan bom waktu ekologis yang kian nyata. Salah satu tandanya adalah terjadinya banjir bandang yang menerjang beberapa wilayah pada awal Januari 2025.
Saat itu, air bah datang begitu cepat dan tanpa memberi peringatan. Sungai-sungai meluap, air bercampur lumpur mengalir deras ke permukiman warga. Akibat peristiwa itu, wilayah Kecamatan Rengel, Kerek, Merakurak, Grabagan, Semanding menjadi lokasi terdampak paling parah.
BACA: Banjir Bandang di Tiris Probolinggo, Warga Soroti Dugaan Ilegal Logging
Tidak hanya air, material berupa lumpur dan batu yang terbawa banjir bandang ikut merendam permukiman dan sawah. Di beberapa desa, akses jalan sempat terputus. Warga hanya bisa menyelamatkan diri dan menunggu air surut.
Yang perlu digarisbawahi, hampir seluruh wilayah terdampak paling parah tersebut berada dalam satu bentang kawasan yang sama, yakni wilayah perbukitan kapur dan area pertambangan.
Data Tambang
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Tuban per Agustus 2025, tidak kurang dari 90 tambang legal dan 33 lahan tambang ilegal telah teridentifikasi. Jumlah ini belum termasuk tambang rakyat yang kerap beroperasi tanpa izin jelas dan pengawasan lingkungan memadai.
Masifnya aktivitas tambang berbanding lurus dengan pembukaan lahan secara besar-besaran. Pohon ditebang, tanah dikeruk, bukit dipapras, dan vegetasi hilang. Struktur alam yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air berubah menjadi lahan terbuka.
Puncak Musim Hujan 2026
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tuban memprediksi puncak musim hujan di Bumi Ronggolawe akan terjadi pada Januari hingga Februari 2026. Prediksi ini disusun berdasarkan analisis historis dan dinamika iklim regional.
Kepala Stasiun BMKG Tuban Muchammad Nur menjelaskan bahwa intensitas hujan tertinggi secara klimatologis berada di wilayah selatan dan tengah Tuban.
“Secara klimatologis, wilayah selatan dan tengah Tuban memang memiliki curah hujan yang lebih besar. Namun, tidak menutup kemungkinan cuaca ekstrem juga terjadi di wilayah utara,” ujarnya kepada wartawan, Senin, 22 Desember 2025.
BMKG juga telah memetakan sejumlah wilayah rawan banjir, meliputi Kecamatan Bangilan, Jatirogo, Kerek, Merakurak, Montong, Palang, Parengan, Plumpang, Rengel, Semanding, Soko, Tuban, dan Widang.
Wilayah-wilayah yang dipetakan berdekatan berdekatan dengan pertambangan dan mayoritas berada di bagian Tuban selatan.
Lokasi tambang di wilayah Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban saat dilihat dari citra satelit pada 2025
Citra Satelit Berbicara
Pantauan citra satelit Google memperlihatkan perubahan bentang alam yang mencolok di wilayah-wilayah tersebut selama 10-11 tahun. Tambang yang memang sudah ada sejak dulu di wilayah Kota Legen ini berekspansi dan berubah menjadi hamparan terbuka.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, Pradipta Indra Ariono, menegaskan bahwa perubahan iklim memang berperan, namun dampaknya diperparah oleh aktivitas manusia.
“Hujan dan panas yang tidak menentu dengan intensitas yang beragam menimbulkan efek berantai. Ketika hujan deras mengguyur kawasan hulu, tapi hutannya sudah rusak dan tidak ada resapan, air akan mengalir cepat ke hilir. Akibatnya, banjir bandang,” kata Indra kepada Jatimnet.com, Rabu, 24 Desember 2025.
Ia menyoroti alih fungsi kawasan hutan untuk tambang dan pembangunan yang membutuhkan lahan luas. Aktivitas tersebut berdampak langsung pada daya dukung lingkungan, seperti di Kabupaten Tuban yang memiliki batuan karst melimpah.
Menurut Indra, pola khas industri ekstraktif yang berlangsung di Tuban adalah bukaan lahan dengan menebang pohon, membuka jalur hauling, bahkan menjalar hingga cekungan bekas galian yang biasanya dibiarkan begitu saja.
Di beberapa titik, area tambang berada sangat dekat dengan perbukitan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air. Ketika hujan deras turun, air yang semula tertahan oleh vegetasi justru langsung mengalir ke hilir tanpa kendali.
Dalam jangka pendek, lanjut Indra, kondisi ini mempercepat limpasan air permukaan (run off). Dalam jangka panjang, daya dukung ekologis kawasan runtuh perlahan serta meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor.
“Belum lagi soal sumber mata air sebagai bahan baku utama. Proyek-proyek seperti ini pasti berpengaruh terhadap potensi kebencanaan. Mulai banjir bandang, longsor, hingga krisis air bersih,” ujarnya.
Pria asal Kota Batu itu menegaskan, kerusakan lingkungan tidak mengenal batas administrasi wilayah. Ekosistem saling terhubung, sehingga dampaknya bisa dirasakan lintas wilayah.
“Bencana itu tidak serta-merta muncul. Ada proses panjang berupa perilaku dan aktivitas manusia yang mendahuluinya,” tegasnya.
Di sisi lain, DPRD Tuban mengaku telah memberi atensi terhadap persoalan tambang sejak Agustus 2025. Ketua Komisi II DPRD Tuban, Fahmi Fikroni, menyatakan sikap tegas terhadap tambang ilegal.
“Kami sudah ber-statement, tambang-tambang ilegal yang tidak mau mengurus perizinan itu tutup saja, sambil menunggu izinnya selesai,” ujarnya Selasa, 5 Agustus 2025.
Namun, upaya penindakan terbentur persoalan kewenangan. Seluruh perizinan pertambangan berada di tangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim.
“Satpol PP Kabupaten Tuban tidak bisa menindak, karena perizinannya semua dari Pemprov Jatim, bukan kabupaten,” kata Roni.
Ia pun mendorong aparat penegak hukum untuk turun tangan. “Monggo aparat penegak hukum, itu kewenangannya APH, silakan menindak tegas,” imbuhnya.
Sementara itu, saat dimintai keterangan terkait mitigasi bencana banjir bandang termasuk dengan reboisasi di wilayah tambang, Kepala BPBD Tuban Sudarmaji belum memberikan respons. Hingga berita ini ditayangkan, pesan konfirmasi yang dikirimkan wartawan ini tidak mendapat balasan, meski tertanda centang dua.
Banjir bandang awal 2025 bisa jadi bukan peristiwa terakhir. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pertambangan, reklamasi pascatambang, serta perlindungan kawasan resapan air, kabupaten yang berada di pesisir utara pulau jawa ini berisiko menghadapi krisis ekologis yang lebih besar.
Jika eksploitasi sumber daya alam terus berjalan tanpa keseimbangan ekologis, maka banjir bandang bukan lagi kejadian luar biasa, melainkan bencana yang hanya tinggal menunggu waktu.
