Ahmad Suudi

Reporter

Ahmad Suudi

Rabu, 8 Juli 2020 - 10:00

JATIMNET.COM,  Banyuwangi – Teluk Pancer ‘tersembunyi’ di balik Gunung Tumpang Pitu, Lembah Katak, dan perbukitan di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dari Pantai Mustika di Dusun Pancer, lanskap (pemandangan) teluk tampak jelas, berupa pantai melengkung berpasir coklat dan horizon Laut Selatan yang menyertakan pulau-pulau kecil yang muncul di permukaan.

 

Kini Tumpang Pitu yang mulai terkikis menjadi latar belakang Pantai Pulau Merah. Kawasan pantai yang rutin jadi kunjungan ribuan wisatawan per hari itu berada tepat di bawah kaki Tumpang Pitu. Hanya bagian perbukitan saja masih tampak hijau utuh yang juga bisa dilihat dari gapura masuk desa. Beberapa bukit dikenal masyarakat setempat dengan nama Bukit Lompongan, Genderuwo, dan Salakan.

 

Hutan Tumpang Pitu yang semula hutan lindung dan diubah statusnya jadi hutan produksi dibabati untuk kegiatan penambangan emas dan mineral logam lainnya. Phillip L. Hellman dalam laporan teknikalnya untuk Intrepid Mines Limited tahun 2012 menuliskan gunung berketinggian 489 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan perbukitan di sekitarnya itu berada di bagian timur dari busur magmatik Sunda-Banda yang memiliki berbagai varian endapan mineral.

 

BACA JUGA: Warga Banyuwangi Penolak Tambang Emas Lindungi Bukit Salakan Tempat Evakuasi Tsunami

 

Endapan mineral logam gunung yang bagian atasnya berbukit-bukit itu terdiri dari sistem epitermal sulfidasi tinggi (lapisan oksida) dengan kandungan Tembaga (Cu), Emas (Au), Perak (Ag), dan endapan atau lapisan Porfiri dimana Cu, Au, dan Molibdenum (Mo) dalam area luas yang kaya akan Au. Endapan Porfiri adalah endapan mineral yang terjadi akibat suatu intrusi yang bersifat intermedier-asam dan terjadi kontak dengan batuan samping yang mengakibatkan terjadinya mineralisasi.

 

Hellman adalah konsultan independen Intrepid yang menyusun laporan perkiraan sumber daya mineral di Tumpang Pitu sebagai pertimbangan kelanjutan keterlibatan mereka dalam pertambangan yang disebut Proyek Tujuh Bukit itu. Intrepid menjadi penyerta modal dalam kerjasama ventura dengan PT. Indo Multi Niaga (IMN) yang sebelumnya bernama PT Indo Multi Cipta (IMC).

 

IMN mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi Tumpang Pitu sejak tahun 2006. Selain IUP Eksplorasi, Bupati Banyuwangi kala itu, Ratna Ani Lestari, menaikkan kadar perizinan ke tahap Eksploitasi tahun 2008. Izin itu selanjutnya dipindahkan ke PT. Bumi Suksesindo (BSI) pada tahun 2012 saat Banyuwangi dipimpin Bupati Abdullah Azwar Anas.

 

Pemkab Banyuwangi merestui pembabatan hutan dan penggalian besar-besaran sekeliling Teluk Pancer melalui terbitnya IUP Operasi Produksi untuk BSI pada lahan seluas 4.998 hektar dalam Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 188/928/KEP/429.011/2012. Saat itu IUP masih jadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota atau bupati/wali kota sebelum ada perubahan aturan perundang-undangan. Kemudian terbit IUP Eksplorasi untuk PT. Damai Suksesindo (DSI) pada lahan seluas 6.558 hektar dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor P2T/83/15.01/V/2018. Kewenangan penerbitan IUP saat itu sudah beralih dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi atau gubernur.

 

Pada tahun 2013 setahun menjelang Pemilu Presiden 2014, Kementerian Kehutanan turut memuluskan bisnis tambang dengan menurunkan status 1.942 hektar hutan lindung Tumpang Pintu menjadi hutan produksi. Beleid (kebijakan) dari pusat itu tertuang dalam SK.826/Menhut-II/2013. Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, meminjamkan kawasan hutan Tumpang Pitu dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada BSI dan DSI sesuai izin usaha masing-masing. BSI dan DSI adalah anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (Tbk).

 

TERKIKIS. Bukit-bukti di Gunung Tumpang Pitu tampak terkikis akibat industri tambang dan terlihat dari Pelabuhan Ikan Pancer, Minggu, 8 September 2020. Foto : Ahmad Suudi

 

BACA JUGA: BSI Targetkan Produksi Dua Kali Lipat Tahun Depan

 

Sejak tahun 2012 hingga 2016, BSI memenuhi persyaratan mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, studi kelayakan peningkatan kapasitas produksi, sertifikasi JORC, akuisisi lahan kompensasi, dan beberapa kali Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan luas tertentu. Setelah memperoleh pendanaan dari luar negeri, sejak 1 Desember 2016 BSI memulai penambangan bijih mineral dan per 17 Maret 2017 memulai produksi emas. 

Dalam laporan tahunan Merdeka, BSI menghasilkan 142.468 ons atau hampir 4.039 kilogram emas di tahun pertama produksi pada 2017. Tahun 2018 meningkat jadi 167.506 ons atau hampir 4.749 kilogram emas dan tahun 2019 kembali meningkat jadi 223.042 ons atau sekitar 6.323 kilogram emas. Semuanya masih dari lapisan oksida Tumpang Pitu yang diperkirakan menyimpan 102 metrik ton bijih (ore) alias batuan mengandung logam atau mineral lain yang menguntungkan.

 

Sebagaimana tertuang dalam laporan tahunan Merdeka tahun 2019, hasil produksi di lapisan Porfiri masih nol karena masih tahap pengeboran enam lubang yang hingga awal tahun 2019 total panjang galiannya 6.075 meter. Di lapisan yang lebih dalam ini diperkirakan terdapat 1.900 metrik ton bijih yang mengandung 8,7 juta ton tembaga dan 28,3 juta ons atau sekitar 802.291,5 kilogram emas.

 

Teknik Heap Leaching

Bijih-bijih yang didapatkan diangkut truk ke area produksi dengan sistem heap leaching atau pelindian. Heap leaching adalah proses mengolah bijih emas dengan media larutan natrium sianida dan karbon aktif untuk menangkap bijih emas. Kolam pengolahan bijih emas atau leache pad telah terbangun dengan kapasitas 8 juta ton bijih per tahun.

 

Proses pelindian menggunakan ulang sianida yang sebelumnya dipakai dalam kolam berlapis khusus yang diklaim membuat cairan beracun itu tidak keluar atau merembes ke tanah di bawahnya. Bijihnya didapat dengan mengeruk Tumpang Pitu memakai alat berat dan bahan peledak yang suaranya terdengar hingga perkampungan.

 

Keberhasilan BSI mendulang emas hingga mendatangkan pendapatan (revenue) jadi kabar gembira untuk Merdeka. Perusahaan itu dapat jatah paling besar karena mengantongi 99,89 persen saham. Sementara 0,11 persen sisanya milik PT. Alfa Suksesindo (ASI).

 

BACA JUGA: BSI Ambil 2.094 Sampel Lingkungan di Banyuwangi

 

Kesuksesan menambang bijih emas ini jadi kabar gembira bagi para pihak pemegang saham atau investor PT Merdeka Copper Gold (Tbk) antara lain PT Saratoga Investama Sedaya (Tbk) milik Sandiaga Uno dan Erwin Soeryadjaya yang memiliki saham 19,74 persen; PT Mitra Daya Mustika 13,47 persen; pengusaha Garibaldi Thohir 8,95 persen; PT Suwarna Arta Mandiri 7,167 persen; Pemerintah Daerah Banyuwangi 5,23 presen; dan lain-lain yang masing-masing memiliki saham di bawah 5 persen.

 

Selain Garibaldi, komisaris lain yang memiliki saham di Merdeka adalah Sakti Wahyu Trenggono 2,21 persen dan Heri Sunaryadi 0,01 persen. Para direktur di Merdeka juga memiliki saham seperti Hardi Wijaya Liong 0,53 persen, Gavin Arnold Caudle 0,04 persen, Richard Bruce Ness 0,02 persen, dan Presiden Direktur Tri Boewono 0,02 persen.

 

Edwin Soeryadjaya salah satu komisaris di Merdeka namun tak memiliki saham Merdeka. Namun dia menjadi komisaris Saratoga dan punya kepemilikan saham 31,84 persen dan 32,72 persen melalui PT Unitras Pertama. Edwin mengantongi 50 persen saham Unitras. Sedangkan Sandiaga Uno juga mengantongi saham di Saratoga sebanyak 21,51 persen.

 

LUBANG TAMBANG. Salah satu area lubang tambang PT BSI di Gunung Tumpang Pitu tahun 2018. Foto: Rochman Arief

 

Golden Share Pemkab Banyuwangi

Dalam skema pembagian saham, Pemkab Banyuwangi mendapat hak golden share atau pembagian keuntungan tanpa harus menyetor modal alias saham kosong. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan Banyuwangi sengaja meminta golden share saham di PT Merdeka Copper Gold (Tbk) sebagai induk BSI.

 

Dengan begitu, Pemkab Banyuwangi bisa mendapatkan keuntungan dari anak-anak perusahaan Merdeka lainnya. Dia mengatakan nilai saham 5,23 persen itu hampir Rp1,5 triliun (Agustus 2019) yang bila dicairkan akan langsung masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banyuwangi.

 

Jika dihitung, nilai saham tersebut cukup untuk membayar iuran jaminan kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kelas tiga dengan kisaran iuran Rp25 ribu untuk seluruh warga Banyuwangi selama tiga tahun atau membelikan mereka beras masing-masing 9,5 kilogram seharga Rp9.800 per kilogram. Karena masuk APBD, pencairan saham itu baru bisa dilakukan jika mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

 

“Saya belum ada (rencana mencairkan), dulu waktu Rp800 miliar minta dicairkan. Saya enggak mau karena nilainya akan naik terus. Kecuali ada permintaan dari DPRD, kita akan rapatkan," kata Anas, Senin, 26 Agustus 2019.

 

Selain itu, pajak BSI yang dibayarkan ke Kantor Pajak Pratama (KPP) Banyuwangi termasuk 10 besar terbanyak tahun 2019 yang berpengaruh pada penilaian perekonomian daerah.

 

BACA JUGA: Temui Warga, Komnas HAM Mulai Investigasi Konflik Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi

 

Menurut Anas, Banyuwangi beruntung mendapat pemasukan pajak dan golden share dari investasi saham karena tanpa membelinya dengan APBD. Untuk mendapatkan golden share saham, pihaknya cukup menerbitkan izin produksi BSI yang ditandatangani tahun 2012.

 

Menurutnya, pemerintah kabupaten atau kota lainnya tidak bisa melakukannya karena kewenangan perizinan tambang dalam skala besar sudah diambil alih pemerintah provinsi dan pusat. Meski menguntungkan dari sisi investasi, pendapatan daerah, dan penyerapan tenaga kerja, investasi tambang emas ini bukan tanpa dampak atau masalah.

 

Meski perusahaan melakukan program tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) di berbagai bidang, faktanya telah terjadi beberapa kali konflik antar masyarakat dan perusahaan maupun aparat keamanan yang bertugas mengamankan tambang emas Tumpang Pitu sebagai salah satu Obyek Vital Nasional.

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat hingga awal tahun 2020, tercatat sedikitnya sudah 13 orang warga yang diduga menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat keamanan karena menolak tambang emas Tumpang Pitu dengan tuduhan perusakan hingga penyebaran faham komunisme.

 

Yang paling kontroversial adalah kasus yang menimpa warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Heri Budiawan alias Budi Pego. Budi Pego tersangkut kasus hukum setelah muncul spanduk bergambar palu arit dalam demonstrasi menolak tambang emas Tumpang Pitu.

 

Budi Pego dinyatakan bersalah melanggar Pasal 107a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Hakim menganggap Budi Pego mengancam keamanan negara dengan menyebarkan faham komunisme melalui spanduk bergambar palu arit meski dalam persidangan tidak terbukti asal usul spanduk tersebut dan Budi Pego tidak pernah membuatnya.

 

Di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi, Budi Pego divonis 10 bulan penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Terdakwa dan jaksa sama-sama banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dan hakim PT Surabaya memutus hukuman tetap 10 bulan penjara. Kemudian Budi Pego mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung (MA) malah memperberat hukuman menjadi empat tahun penjara. Kuasa hukum Budi Pego dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya masih menunggu salinan putusan kasasi dan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

 

INVESTIGASI. Komisioner Komnas HAM saat menemui warga di tenda yang didirikan untuk menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, Kamis, 13 Februari 2020. Foto: For Banyuwangi

Melihat berbagai konflik yang terjadi antar masyarakat dengan perusahaan tambang dan aparat keamanan, Komnas HAM sedang melakukan investigasi dan pernah mengumpulkan data dan menemui berbagai pihak terkait termasuk warga yang menolak tambang, 13 Februari 2020.

 

“Tentu saja ini harus dikonfirmasi dengan para pihak. Tapi tentu saja ini adalah informasi penting dan berdasarkan fakta. Itu yang saya kira paling utama dari pertemuan hari ini,” kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara usai menemui warga sebagaimana dalam rilis yang diterima jatimnet.com.

 

Komnas HAM juga menemui kepala daerah, perusahaan tambang, dan kepolisian untuk menyampaikan pentingnya menjaga kondusivitas wilayah tersebut. Beka juga melakukan pertemuan tertutup dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan jajarannya di kantor Pemkab Banyuwangi.

“Agar tidak ada lagi konflik, ancaman, dan intimidasi kekerasan kepada warga yang sedang memperjuangkan haknya,” ujarnya.

BACA JUGA: Walhi Jatim Yakin Tambang Emas Melanggar Perundangan

 

Warga terdampak tambang bersama berbagai lembaga dan komunitas peduli lingkungan di Banyuwangi dan Jawa Timur yang mengkhawatirkan dampak sosial dan lingkungan tambang emas menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) BSI. Mereka melakukan berbagai aksi penolakan mulai tahun 2014. Mereka khawatir pembabatan hutan akan merusak ekosistem termasuk sumber air yang mereka butuhkan untuk lahan pertanian dan kehidupan sehari-hari.

 

Warga khususnya nelayan juga tak mau puncak Gunung Tumpang Pitu yang jadi penanda arah pulang nelayan hilang karena eksploitasi tambang. Fungsi Tumpang Pitu sebagai bentang alam untuk perlindungan permukiman dari bencana angin tenggara tahunan dan tsunami yang pernah terjadi tahun 1994 dikhawatirkan tidak lagi optimal.

 

PROTES. Warga berdoa bersama setelah salat di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, saat demonstrasi menuntut penutupan tambang emas Tumpang Pitu, Kamis, 20 Februari 2020. Foto: Ahmad Suudi

Bahan kimia berupa natrium sianida dan karbon aktif yang digunakan untuk pengolahan bijih emas dengan teknik heap leaching atau pelindian juga dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas tanah untuk bisa menumbuhkan tanaman atau pohon kembali jika proyek tambang selesai atau tidak diperpanjang.

 

Selain Gunung Tumpang Pitu, eksploitasi tambang juga merambah perbukitan lainnya. “Sekarang merambah ke Bukit Salakan. Di bawah Salakan itu ada kurang lebih 6 ribu jiwa (penduduk). Sedangkan (bukit) itu tempat evakuasinya (saat terjadi) tsunami. Seandainya ditambang, anak cucu kita mau bagaimana,” kata warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Siwi Lestari, 42 tahun, saat mengikuti aksi tolak tambang emas di Kantor Gubernur Jawa Timur, Kamis, 20 Februari 2020.

 

BACA JUGA: (BAGIAN 1) Tambang Emas Tumpang Pitu: Investasi dan Potensi Bencana

 

BACA JUGA: (BAGIAN 2) Tambang Emas Tumpang Pitu: Antara Bisnis dan Hukum

 

BACA JUGA: (BAGIAN 4) Tambang Emas Tumpang Pitu: Bagian dari Deforestasi Hutan Jawa

Baca Juga

loading...