Reporter
Jatimnet
Jumat, 3 Juli 2020 - 11:00
JATIMNET.COM, Banyuwangi – Heri Budiawan alias Budi Pego, 41 tahun, yang tinggal di Lembah Katakan bercerita bahwa warga mengetahui Gunung Tumpang Pitu akan ditambang sejak tahun 2006 saat PT. Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian berganti nama menjadi PT. Indo Multi Niaga (IMN) telah mendapatkan IUP eksplorasi di sana. Namun mereka tak menolak karena hutan dan gunung nampak baik-baik saja.
Semula warga juga heran hutan dan gunung tetap utuh setelah ada penambangan. Baru setelah IMN mendapatkan IUP eksploitasi lalu dipindahtangankan ke PT. BSI dan tambang mulai beroperasi tahun 2012, warga spontan menyatakan penolakan. Warga menyampaikan sikapnya setelah alat-alat berat mulai naik ke gunung. Mereka khawatir hutan gundul dan berdampak buruk pada permukiman mereka.
Budi Pego tiba di kampung halaman pada 2010 setelah pensiun sebagai sopir di Arab Saudi mulai aktif menolak tambang sejak 2014. Pertama, yang dia keluhkan adalah suara dan getaran dari proses pengeboman untuk menggali tanah di atas gunung. Menurutnya, kegiatan tambang waktu itu membuat akses warga pada air yang bersumber dari gunung terganggu.
Selain itu banyaknya truk tambang yang lalu lalang membuat jalan di depan rumahnya cepat rusak. Beberapa kali dia dan warga lain menerobos penjagaan untuk masuk ke hutan dan melihat proses penambangan. Bersama itu juga personel polisi dan tentara menangani dan mencegah mereka beraksi lebih lanjut.
BACA JUGA: Temui Warga, Komnas HAM Mulai Investigasi Konflik Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi
“Dalam kegiatan yasinan rutin warga saling mengeluh terganggu peledakan di gunung, kaget tidak bisa tidur, hutan terbabat, tanaman jagung yang dilewati aktivitas tambang rusak," kata Budi Pego di rumahnya, Selasa, 14 April 2020.
Dia mengatakan permukiman di Dusun Pancer termasuk Gunung Tumpang Pitu, Lembah Katakan, dan perbukitan di sekitar Teluk Pancer merupakan lahan Perhutani. Gunung Tumpang Pitu dan deretan bukit memiliki tutupan lahan berupa hutan lindung yang sekarang sebagian telah menjadi hutan produksi dan ditambang.
Sementara penduduk di sana adalah masyarakat pendatang. Dia sendiri merupakan generasi ketiga dari buyutnya yang pindah menetap di sana. Pekerjaan warga selain bertani adalah nelayan, ternak skala rumah tangga, dan pekerja migran. Pria yang kerap disapa Budi Pego itu mengatakan petani dan nelayan merupakan kelompok warga yang menerima dampak buruk operasi tambang secara ekonomi.
Perjuangan sebagian warga Kecamatan Pesanggaran menolak tambang bukan tanpa halangan. Budi Pego telah lima kali menjalani pemeriksaan di Mapolres Banyuwangi (sekarang Mapolresta) dan Mapolda Jatim dalam kurun waktu 2014 hingga 2017. Semua pemeriksaan dilakoni terkait aksi yang dilakukannya maupun yang tidak.
Kasus terakhir yang melibatkan Budi membuahkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi maupun Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya di tahap banding, menyatakan dia bersalah melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 199 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim menganggap Budi mengancam keamanan negara dengan menyebarkan ajaran komunisme.
Dia dihukum mendekam di balik jeruji besi selama 10 bulan, jauh lebih kecil dibandingkan tuntutan jaksa 7 tahun. Budi Pego yang menolak putusan itu telah menjalani hukumannya dan kini terus beraksi menolak tambang emas Tumpang Pitu sembari memperjuangkan keadilan untuk dirinya.
Kasus itu bermula Selasa, 4 April 2017, pukul 10.00 WIB, ketika rumahnya didatangi banyak warga yang ingin membuktikan dugaan adanya aktivitas eksplorasi tambang emas di hutan lindung Bukit Salakan. Budi Pego mengatakan warga mendatangi rumahnya karena sejalur dengan lokasi yang dituju sekaligus berteduh dari hujan.
Warga akhirnya mengurungkan niatnya karena sepeda motor mereka tak bisa melintasi hutan yang becek dan jalan menanjak setelah hujan mendera. Mereka juga memutuskan batal ke bukit setelah polisi membujuk mereka menunda aksi hingga akhirnya mengalihkan kegiatan dengan berdemonstrasi.
Kain kafan dari musala-musala dikumpulkan dan dijadikan spanduk pernyataan protes dengan cat semprot merah milik Budi Pego yang biasa digunakannya mewarnai motor. Totalnya 11 spanduk yang mereka buat dan digunakan dalam aksi dengan cara dipasang di segenap pertigaan dan tikungan Desa Sumberagung. Pelaksanaan demonstrasi itu dikawal tentara dan polisi.
KORBAN KRIMINALISASI. Budi Pego diduga jadi korban kriminalisasi dengan tuduhan menyebar faham komunisme saat aksi demonstrasi menolak tambang emas PT BSI. Grafis: Gilas Audi
BACA JUGA: Jalan Panjang Budi Pego Mencari Keadilan
Setelah selesai, mereka beristirahat di depan kantor Kecamatan Pesanggaran ketika sekelompok orang yang tak dikenal datang menyodorkan spanduk ke sebagian pendemo dan menyuruh mereka membentangkannya. Budi Pego yang mengaku tak mengetahui adanya spanduk selundupan yang dipermasalahkan itu malah menjadi yang paling dibebani pertanggungjawaban karena dianggap menjadi koordinator demonstran.
Berkas perkara yang disusun Satreskrim Polres Banyuwangi terkait kasus itu menyebutkan adanya spanduk dengan gambar atau logo terlarang berupa palu arit dan dilaporkan Bambang Wijonarko yang saat itu menjabat Senior Manager External Affairs PT. BSI. Bambang mengatakan saat itu ia tengah memantau jalannya aksi demonstrasi memprotes perusahaan tempatnya bekerja dan melihat spanduk berukuran 4 X 1 meter dibentangkan di depan kantor Kecamatan Pesanggaran. Spanduk kain putih itu bertuliskan “Karyawan BSI Dilarang Lewat Jalur Ini” yang dilengkapi gambar atau simbol palu arit dan melaporkannya ke polisi.
Ia mengaku tidak mengenal empat orang pembentang spanduk maupun warga pendemo lainnya yang dia perkirakan berjumlah 30 orang. Bambang mengaku tidak melihat Budi Pego tapi hanya orang itulah yang dia kenal kerap mengikuti aksi demonstrasi.
Dihimpun dari salinan putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi bernomor 559/Pid.B/2017/PN.Byw, dari 15 orang saksi yang menghadiri sidang, hanya Bambang yang mengatakan tahu Budi Pego menjadi koordinator demonstrasi setelah membaca surat kabar. Empat orang menyatakan Budi Pego bukan koordinator aksi, tidak menyuruh warga desa menggelarnya atau tidak ada pemimpin dalam demonstrasi tersebut. Sisanya menyatakan tidak tahu atau tidak memberikan keterangan mengenai koordinator aksi.
Pada salinan putusan itu tidak ada yang menyatakan Budi Pego membentangkan, mengintruksikan untuk membentangkan, membuat, memerintahkan untuk membuat, atau menyediakan bahan pembuatan spanduk bergambar palu arit. Terkait asal spanduk, dua orang mengaku mendapatkannya dari orang tak dikenal yang menyuruh mereka membentangkan biar difoto dan diberitakan media televisi. Sedangkan tiga orang tidak tahu dan sisanya tidak memberikan keterangan.
Barang bukti yang ditetapkan antara lain satu unit mobil pikap dan kunci, satu unit flashdisc dan delapan lembar spanduk yang tidak bergambar palu arit. Spanduk bergambar palu arit tidak dihadirkan dalam sidang sebagai barang bukti, melainkan video tampakannya yang tersimpan dalam flashdisc. Budi yakin tuduhan pada dirinya itu tidak terbukti dan melanjutkan perjuangannya mengejar keadilan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
BACA JUGA: Pemenjaraan Budi Pego Bukti Hukum yang Menindas
Pada 16 Oktober 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya sebagai kuasa hukum Budi Pego mendapatkan kutipan putusan kasasi bahwa petani buah naga itu mendapatkan hukuman lebih tinggi yakni 4 tahun penjara atas kasus tersebut. Mereka akan maju lagi ke tahap Peninjauan Kembali (PK) namun salinan putusan kasasi dari MA yang menjadi syarat pengajuan PK belum juga mereka terima.
“Intinya pidana tidak bisa diwakilkan, kalau saya dipidana, dinyatakan bersalah, berarti aku mewakili yang berbuat, saya memegang (spanduk bergambar palu arit) enggak, ngomong (memerintahkan membentangkan) enggak, bahkan saksi semuanya tidak ada yang mengakui saya koordinator, tidak ada yang mengakui," kata Budi Pego.
Budi Pego mengatakan setelah dirinya dan beberapa orang terjerat hukum, memang jumlah warga yang aktif menyatakan penolakan tambang secara terbuka jadi turun. Mereka takut akan mendapatkan tuduhan dan ikut meringkuk di balik jeruji besi. Rangkaian tuduhan tindak kriminal rupanya mampu menekan intensitas protes warga terhadap dampak buruk tambang.
Sekarang sebagian warga masih melakukan aksi penolakan pertambangan dengan lebih berhati-hati. Jurnalis yang meliput juga harus berupaya lebih keras melakukan pendekatan karena sebagian menutup diri dari wawancara. Sementara sebagian warga lain mendukung operasi tambang bahkan bekerja di sana. Budi Pego mengatakan masyarakat Pancer terbelah dalam dua kubu dan menurunkan harmoni hubungan sosial mereka.
Putusan Hukum Dianggap Dipaksakan
Peneliti Pusat Studi Hukum HAM atau Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan putusan hakim PN Banyuwangi, PT Surabaya, hingga MA, secara akademik tidak mengikuti mazhab manapun. Ada enam mazhab atau aliran dasar yang dominan dalam pendidikan hukum maupun hakim dan praktik peradilan yakni historian, naturalis, positivisme, sociological jurisprudence, utilitarianisme, dan realisme.
Dia menilai putusan untuk kasus Budi Pego nampak tidak mengikuti doktrin dari keenam mazhab. Misalnya putusan tidak menganut mazhab historian karena tak adanya jejak sejarah pemikiran Budi terkait paham yang dituduhkan. Begitu pula secara positivisme dimana barang bukti yang dihadirkan di persidangan menurutnya tidak berhasil menjelaskan hubungan antara spanduk bergambar palu arit dengan Budi Pego. Dia menyimpulkan pertimbangan hakim melihat kasus ini tanpa pendekatan sains.
Selain pelapor yang saat itu menjabat manajer di BSI, penuntut umum dalam persidangan di PN Banyuwangi menyertakan bukti berkas kerekanan Budi Pego dengan IMN. Hal itu menyebabkan niat tulus Budi menolak tambang emas demi menjaga kelestarian lingkungan jadi diragukan. Penasihat hukum Budi pun membantah tudingan dirinya punya hubungan dengan IMN.
Penasihat hukum justru menganggap penuntut umum bekerjasama dengan BSI dalam menyeret penolak tambang emas Tumpang Pitu itu ke penjara. Hal itu dibuktikan hadirnya berkas perusahaan IMN di pengadilan tanpa proses penyitaan. Ditambah kedua perusahaan IMN dan BSI memiliki hubungan serah-terima IUP. Fakta persidangan itu mendukung kesimpulan Herlambang, bahwa pengambilan putusan oleh majelis hakim pada kasus Budi tidak berdasarkan sains, melainkan bermotif bisnis belaka.
Dia menjelaskan kasus Budi Pego penting untuk disorot. Karena pertama pasal propaganda komunis yang dikenakan baru kali ini dipakai setelah perubahannya disahkan. Apalagi dikenakan kepada orang yang tidak mengerti paham tersebut. Kedua, kasus tersebut tak bisa dipisahkan dari konteks bahwa Budi Pego melakukan aksi demonstrasi memperjuangkan kelestarian lingkungan, sehingga berhak atas perlindungan pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Ketiga, peristiwa yang melatari kasus ini adalah upaya memperjuangkan kelestarian alam dan seharusnya hakim berpegang pada konteks perlindungan lingkungan dan keselamatan warga dari risiko tambang.
BACA JUGA: Kasus Budi Pego Gambaran Peradilan Berpihak Pemodal
“Menurut saya, peradilan gagal memahami konteks terkait dengan kasus itu bahwa konteks yang terjadi adalah kasus penolakan tambang. Itu yang menurut saya agak menempati porsi terbesar kritiknya karena gagal menempati konteks,” kata Herlambang, Kamis, 14 Mei 2020.
Terkait pro-kontra tambang Emas Tumpang Pitu, Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Arman Asmara Syarifuddin mengatakan TNI-Polri selalu siap menjaga ketertiban di Kecamatan Pesanggaran melalui edukasi dan penindakan termasuk untuk penanganan di masa pandemi Corona.
Dalam kunjungannya akhir Maret 2020 ke tenda penghadangan warga di Dusun Pancer, dia menyampaikan saran agar warga penolak tambang tak terjerat hukum dalam menyampaikan aspirasi. Pertama, agar mereka menyampaikan pendapat berdasarkan data dan fakta agar tidak hanya menjadi isu. Kedua, agar dalam menyelenggarakan penyampaian pendapat mereka menjaga diri sehingga tidak mudah ditunggangi pihak ketiga.
“Sehingga kenapa yang mempunyai tujuan A berakibatnya menjadi B. Inilah perlunya simultan, berangsur-angsur, mereka mendapatkan haknya dalam berbicara, maka mereka harus bisa mengungkapkan hak berbicara itu dengan baik,” kata Arman di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Banyuwangi, Rabu, 6 Mei 2020.
Terkait kasus Budi Pego, dia memastikan personel kepolisian akan dihadirkan ke persidangan jika diminta menjadi saksi. Namun dikatakannya kini proses peradilan telah selesai sehingga tinggal menunggu eksekusi putusan oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Di sisi lain, Budi Pego menyatakan permohonannya agar personel kepolisian yang mengawasi pembuatan spanduk di rumahnya hingga jalannya demonstrasi dijadikan saksi di PN Banyuwangi namun ditolak hakim. Begitu juga permohonan terbarunya agar aparat kepolisian bersaksi di tahap PK tak dilayani.
Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habibullah mengatakan dalam fakta persidangan, Budi Pego tidak terbukti melakukan pasal yang dituduhkan sehingga putusan yang menetapkan dia bersalah bersifat dipaksakan. Menurutnya MA telat mengeluarkan salinan putusan walau telah ditagih berkali-kali. Selain itu juga karena tak adanya bahan pertimbangan yang sangat logis yang bisa menyokong pengambilan putusan itu.
MOGOK MAKAN. Warga Banyuwangi yang menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) emas PT BSI aksi mogok makan di depan kantor Gubernur Jatim, Senin, 24 Februari 2020. Foto: Baehaqi Almutoif
BACA JUGA: Warga Banyuwangi Tolak Tambang Mulai Aksi di Depan Kantor Gubernur
LBH Surabaya mencatat telah ada empat orang terjerat kasus spanduk bergambar palu arit tahun 2017 dan sejak tahun 2018 terdapat 13 warga penolak tambang emas Tumpang Pitu yang mengalami kriminalisasi. Belum termasuk mereka yang terjerat hukum dalam kasus kerusuhan Tumpang Pitu tahun 2015. Menurutnya, proses-proses hukum itu dilaksanakan bertujuan untuk mengurangi semangat warga yang menolak tambang karena terbayang-bayang hukuman di balik jeruji besi.
“Ada lima modus pasal-pasal yang digunakan terhadap para penolak tambang, mulai dari pasal penghasutan, perbuatan tidak menyenangkan, kekerasan secara bersama-sama, dan yang terakhir yang menurut kami sangat aneh sekali yaitu menyebar ajaran komunisme," kata Wachid di kantor LBH Surabaya, Kamis, 20 Februari 2020.
Pendapat lain dikatakan Kepala Bidang Lingkungan dan Pengendalian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi Budi Wahono. Menurutnya, sebagian warga yang menolak tambang emas Tumpang Pitu hanyalah korban provokasi yang akhirnya harus berhadapan-hadapan dengan aparat dan hukum.
Dalam hasil pengawasannya, tambang emas Tumpang Pitu tidak mencemari lingkungan dan dilaksanakan dengan cermat sehingga tidak merugikan masyarakat dan sah secara hukum beroperasi. Bahkan menurutnya, kajian mitigasi bencana dan fasilitas evakuasi bencana justru akan diperkuat bila proyek geolistrik BSI dikerjakan.
“Studi geolistrik itu justru untuk secara detail memetakan mana-mana daerah yang rawan tsunami, itu menjadi bagian dari situ. Jadi nanti ada (studi) kelayakan, kelayakan tidak hanya untuk lingkungan tetapi juga secara ekonomi, terus kelayakan secara teknis, itu termasuk kepentingan-kepentingan penanggulangan dampak tsunami," kata Budi Wahono, Kamis, 16 April 2020.
MELAWAN. Warga Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Banyuwangi, mendirikan tenda untuk menghalangi aktivitas penambangan lanjutan di bukit Salakan, Minggu, 12 Januari 2020. Foto: Ahmad Suudi
BACA JUGA: Warga Banyuwangi Penolak Tambang Emas Lindungi Bukit Salakan Tempat Evakuasi Tsunami
Sementara itu, pemilik kepentingan ekonomi tambang emas Tumpang Pitu tampak dari daftar pemegang saham dalam laporan tahunan PT. Merdeka Copper Gold (Tbk) tahun 2019 yang memiliki saham BSI 99,89 persen dan 0,11 persen sisanya milik PT Alfa Suksesindo (ASI).
Sebanyak 21.897.591.650 lembar saham Merdeka dimiliki PT. Saratoga Investama Sedaya (Tbk) 19,74 persen, PT. Mitra Daya Mustika 13,47 persen, Garibaldi Thohir 8,95 persen, PT. Suwarna Arta Mandiri 7,167 persen, Pemerintah Daerah Banyuwangi 5.23 persen, dan lainnya yang masing-masing memiliki saham di bawah 5 persen.
Selain Garibaldi, komisaris Merdeka lainnya yang memiliki saham di sana adalah Sakti Wahyu Trenggono 2,21 persen dan Heri Sunaryadi 0,01 persen. Sebagian direktur juga memiliki saham di antaranya Hardi Wijaya Liong 0,53 persen, Gavin Arnold Caudle 0,04 persen, Richard Bruce Ness 0,02 persen, dan Presiden Direktur PT. Merdeka Copper Gold Tri Boewono 0,02 persen.
Edwin Soeryadjaya menjadi komisaris di Merdeka tanpa kepemilikan saham namun juga menjadi komisaris di Saratoga dengan kepemilikan saham langsung 31,84 persen dan 32,72 persen melalui PT. Unitras Pertama yang 50 persen sahamnya ia miliki. Mantan calon Wakil Presiden di Pemilu 2019 dari Partai Gerindra, Sandiaga Salahudin Uno, juga memiliki saham di Saratoga sebanyak 21,51 persen sebagaimana dijelaskan dalam laporan keuangan interim konsolidasian Saratoga September 2019.
BACA JUGA: BSI Ambil 2.094 Sampel Lingkungan di Banyuwangi
Merdeka dan BSI Terima Kritik untuk Perbaikan
Jatimnet berusaha menghubungi manajemen BSI untuk meminta tanggapan dan konfirmasi terkait pro kontra tambang emas yang dilakukan BSI di Banyuwangi. Namun Senior Manager External Affairs PT. BSI, Sudarmono, tidak bersedia dihubungi melalui telepon dan hanya memberikan tanggapan melalui pesan pendek melalui aplikasi WhatsApp yang diwakilkan pada salah satu stafnya.
“Kalau perusahaan pada prinsipnya memperlakukan warga secara sama, menghargai perbedaan yang ada. Kurang lebih sama seperti pihak keamanan, ukurannya hukum yang berlaku,” kata Sudarmono melalui pesan WhatsApp yang diwakilkan pada salah satu stafnya, Rabu, 13 Mei 2020.
Terpisah, Corporate Communications Manager PT. Merdeka Copper Gold (Tbk) Tom Malik merespons silang pendapat di antara warga Dusun Pancer tentang kegiatan geolistrik BSI di kawasan Izin Usaha Penambangan (IUP) Operasi Produksi di Dusun Pancer. Menurutnya, sebagian warga di dusun itu mendukung kegiatan tersebut, namun sebagian yang lain bersikap sebaliknya.
“Kami mengajak masyarakat duduk bersama dan memberikan masukan kepada kami. Setiap kritikan kami terima sebagai masukan untuk bahan perbaikan. Kami sangat membuka diri untuk sebuah dialog yang terbuka dengan siapa saja demi kebaikan bersama, agar kegiatan penambangan di Dusun Pancer ini tetap memberi manfaat kepada masyarakat sekitar,” kata Tom dalam sebuah diskusi bersama perwakilan warga pro tambang di Surabaya, Rabu, 19 Februari 2020.
PELATIHAN. PT BSI bekerjasama dengan Pemkab Banyuwangi mengadakan pelatihan olahan buah naga. Foto: bumisuksesindo.com
BACA JUGA: BSI Pastikan Tambang Emas di Banyuwangi Legal
Dia mengungkapkan, dari total karyawan BSI sebanyak 2.341 orang, sebanyak 1.561 pekerja merupakan warga Dusun Pancer. Selain itu, BSI selama ini juga telah menjalankan beberapa program tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Seperti pada 2019 lalu, BSI telah menjalankan Program Pengembangan Masyarakat (PPM) yang mampu menjangkau penerima manfaat langsung sebanyak lebih dari 45 ribu warga di lima desa di Kecamatan Pesanggaran dan sekitarnya.
“Kami selalu berusaha agar keberadaan BSI mampu mengangkat taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat. Anak-anak nelayan bisa mengenyam jenjang pendidikan yang layak, sehingga mampu bersaing di dunia kerja,” kata Tom.
Government Relations PT. BSI, Iwa Mulyawan, menjelaskan bahwa BSI memperoleh IUP Operasi Produksi untuk jangka waktu 20 tahun, terhitung mulai tahun 2010 hingga 2030. Iwa menegaskan semua legalitas terkait kegiatan operasi penambangan emas sudah dipenuhi BSI.
“BSI sebagai anak usaha perusahaan publik cukup memperhatikan legalitas tersebut. Sehingga sejak awal kami sudah penuhi semua legalitas yang diperlukan untuk operasional kami di Dusun Pancer,” ujarnya. (Ahmad Suudi, Restu Cahya)
BACA JUGA: (BAGIAN 1) Tambang Emas Tumpang Pitu: Investasi dan Potensi Bencana
BACA JUGA: (BAGIAN 3) Tambang Emas Tumpang Pitu: Siasat Penurunan Status Hutan
BACA JUGA: (BAGIAN 4) Tambang Emas Tumpang Pitu: Bagian dari Deforestasi Hutan Jawa