Selasa, 25 December 2018 05:30 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Surabaya - Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto menilai kasus yang menimpa Heri Budiawan alias Budi Pego adalah gambaran peradilan yang berpihak kuasa dan modal.
“Kasus Budi Pego adalah contoh bahwa saat ini hukum Indonesia memang lebih berpihak kepada pihak yang punya kuasa dan modal besar daripada warga masyarakat pencari keadilan,” kata Prof. Sulistyowati Irianto, yang disampaikan oleh Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda), Selasa 25 Desember 2018.
Menurut Sulistyowati, dalam kasus ini hakim lebih mementingkan keadilan prosedural daripada mementingkan memberi keadilan substansial. Peraih Penghargaan Cendikiawan Berprestasi 2014 versi Harian Umum Kompas itu berpendapat, keadilan prosedural yang dipraktikkan majelis hakim yang mengadili Budi Pego adalah gambaran bagaimana jauhnya dunia peradilan Indonesia dari rasa keadilan publik.
“Sangat menyedihkan, Budi Pego sebagai pencari keadilan yang tengah mempertahankan ruang hidupnya dari pihak lain (perusahaan tambang), justru dihukum dengan cara yang menyesatkan publik, yakni memindahkan fokus dari kasus agraria menjadi kasus politik. Sementara itu pokok kasusnya sendiri tidak diperhitungkan oleh hakim,” katanya.
BACA JUGA: Pemenjaraan Budi Pego Bukti Hukum yang Menindas
Secara teori, Anggota The International Comission on Legal Pluralism menambahkan, posisi Budi Pego ini adalah one-shooter (orang yang tidak sering berurusan dengan sistem hukum, karena tidak punya uang). Posisi seperti ini, sambung Sulistyowati, secara teori akan berpotensi kalah.
“Dan ternyata teori itu terbukti. Budi Pego memang kalah. Bahkan lebih tepatnya dikalahkan. Budi Pego yang sejatinya seorang pejuang lingkungan, yang memperjuangkan ruang hidup bagi diri dan komunitasnya, justru jadi korban hukum lantaran hakim lebih mengedepankan keadilan prosedural,” katanya.
Sulistyowati lalu menyimpulkan, keberadaan Budi Pego yang menjadi korban penerapan keadilan prosedural tersebut adalah contoh bahwa saat ini hukum Indonesia memang lebih berpihak kepada pihak yang punya kuasa dan modal besar daripada warga masyarakat pencari keadilan. “Keadaan semacam ini tidak memberikan pembelajaran dan keteladanan yang bagus bagi para mahasiswa hukum yang sedang belajar hukum di tanah air,” tandasnya.
Ia menyerukan terbentuknya aliansi akademisi untuk keadilan Budi Pego yang bertujuan untuk memberitahu semua pihak, khususnya para hakim bahwa Budi Pego ini adalah warga yang dikalahkan oleh peradilan atas nama keadilan hukum, bukan keadilan untuk manusia.
BACA JUGA: Jalan Panjang Budi Pego Mencari Keadilan
Sulistyowati berharap, aliansi tersebut bisa secara intens mengingatkan insan dunia peradilan Indonesia, bahwa dalam Critical Legal Theory dijelaskan jika hukum itu sangat terkoneksi dengan persoalan sosial. Karena hukum terkoneksi dengan persoalan sosial, maka sudah semestinya para hakim memperhitungkan banyak aspek, tidak hanya aspek prosedural yang hanya menempatkan hukum hanya sebagai kumpulan teks belaka.
Berdasarkan keterangan dari Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda), kasus Budi Pego bermula dari sebuah demonstrasi yang berlangsung di bulan April 2017. Demonstrasi tersebut dilakukan oleh sejumlah warga penolak tambang emas Tumpang Pitu.
Selang beberapa waktu, muncul sebuah rekaman video yang menunjukkan keberadaan spanduk dengan gambar serupa palu dan arit di dalam demonstrasi tersebut. Keberadaan spanduk itulah yang menyebabkan Budi Pego dijerat pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
Walau kemunculan spanduk tersebut di dalam demonstrasi terasa janggal, dan hingga kini spanduk tersebut misterius, tetapi Budi Pego tetap ditahan oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi dengan tuduhan menyebarkan paham terlarang.
Warga melakukan aksi penolakan tambang emas di Tumpang Pitu karena meyakini tambang emas akan merusak lingkungan tempat mereka tinggal. Namun perjuangan warga untuk masa depan lingkungan yang baik ini mesti terhambat oleh isu komunisme. Tak hanya Budi Pego yang didera hembusan isu ini, ada 3 orang warga lainnya yang terbelit tiupan isu ini, hingga polisi juga memeriksa Ratna, Andreas, dan Trimanto.
BACA JUGA: Budi Pego Tidak Akan Datangi Panggilan Eksekusi
Gunung Tumpang Pitu dibutuhkan warga sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami. Tumpang Pitu dan sekitarnya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sebagai KRB, seharusnya Hutan Lindung G. Tumpang Pitu dikonservasi, penambangan di KRB justru menambah angka kerentanan KRB itu sendiri. Karenanya menjadi beralasan jika tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ditolak.
Demi tambang emas, Zulkifli Hasan yang saat itu sebagai menteri kehutanan, telah mengubah status hutan lindung Tumpang Pitu sebagai hutan produksi. Pengubahan status ini dilakukan Zulkifli Hasan pada tanggal 19 November 2013 dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013.
Dalam surat tersebut, Zulkifli Hasan sebagai menteri kehutanan mengalihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi produksi seluas 1.942 hektare. Penurunan status Tumpang Pitu ini dilakukan oleh Zulkifli Hasan setelah ada usulan dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Pada tanggal 10 Oktober 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas lewat surat nomor 522/635/429/108/2012 mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743, 28 hektare. Usulan Bupati Abdullah Azwar Anas ini direspon Zulkifli Hasan dengan mengalihfungsi Tumpang Pitu seluas 1.942 hektare. Alihfungsi ini dilakukan Zulkifli Hasan dengan menerbitkan surat No. SK.826/Menhut-II/2013.