
Reporter
Hari IstiawanJumat, 14 Desember 2018 - 10:21
Editor
Hari Istiawan
Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman (pegang mic) saat menggelar jumpa pers di Kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat 14 Desember 2018. Foto" IST
JATIMNET.COM, Surabaya – Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman menyatakan bahwa, memenjarakan Heri Budiawan alias Budi Pego merupakan ancaman serius bagi upaya perjuangan hak asasi manusia yang sekaligus melemahkan elemen Negara Hukum Indonesia.
Budi Pego merupakan warga penolak tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi. Hakim memutuskan Budi ‘terbukti menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme–Leninisme’ sebagaimana didakwakan Pasal 107a KUHP. Ini terkait muncul spanduk berlogo palu arit dalam aksi penolakan pertambangan emas Tumpang Pitu, 4 April 2017.
“Putusan tersebut, menjustifikasi hukum dan mekanisme hukum sebagai penindasan dengan menggunakan ‘instrumentasi demokrasi’, yakni kekuasaan kehakiman,” kata Herlambang P. Wiratraman dalalm siaran persnya di Komnas HAM Jakarta, Jumat 14 Desember 2018.
BACA JUGA: Jalan Panjang Budi Pego Mencari Keadilan
Herlambang juga menyatakan, Putusan 559/Pid.B/2017/PN.Byw jo. Putusan 174/PID/2018/PTSBY terhadap Budi Pego cenderung dipaksakan. Putusan hakim yang hanya mengabulkan tuntutan JPU dari 7 (tujuh) tahun penjara menjadi 10 (sepuluh) bulan penjara, memperlihatkan putusan tidak cukup meyakinkan untuk menghukum. Sementara putusan MA (yang hingga kini belum didapat salinan putusannya), justru menghukum lebih tinggi dan kini Budi Pego menghadapi eksekusi atas putusan tersebut.
Herlambang menilai, putusan terhadap kasus Budi Pego merupakan refleksi konservatisme sekaligus lemahnya imajinasi keadilan, sehingga kerap hakim justru mengambil putusan yang bertentangan dengan keadilan.
Ia merujuk buku ‘Judge against Justice’, Lee Epstein et all (2012) yang menyatakan ada hubungan antara ideologi dan perilaku hakim, dimana psikologi untuk berada dalam ‘zona nyaman' dan aman dengan putusan yang cenderung normativisme, justru berperan melemahkan imajinasi.
Herlambang melihat dalam kasus Budi Pego ada penyesatan publik dimana memindahkan fokus dari kasus agraria/sumberdaya alam yang dieskploitasi eksesif menjadi kasus politik dengan narasi ‘komunisme’. Pencari keadilan yang berusaha mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya dari pihak lain (perusahaan tambang emas), justru dihukum.
“Sementara pokok kasus, Budi Pego sedang berupaya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya termasuk kehidupan warga kampungnya, justru diabaikan,” ujar Herlambang.
Padahal, kata Herlambang, Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seharusnya bisa digunakan untuk melindungi Budi Pego. Sehingga kasus ini, merupakan kemunduran yang menciderai dua hal sekaligus, keadilan bagi warga bangsa yang memperjuangkan hak konstitusinya, sekaligus integritas kekuasaan kehakiman.
Para akademisi Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM Indonesia), mendesak para pemangku kepentingan saling mendukung untuk melepaskan Budi Pego dari jeratan hukum, menyegerakan memulihkan nama baiknya, dan sekaligus mengembalikan ruang hidupnya.