Bayu Pratama

Reporter

Bayu Pratama

Jumat, 19 Juli 2019 - 07:15

JATIMNET.COM, Surabaya – Ummi duduk di lobi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 siang itu. Duduknya tak tenang. Warga Jalan Gubeng Kertajaya itu beberapa kali melihat jam di layar telepon seluler yang digenggamnya.

Ini hari ketiga Ummi menjemput buah hatinya di sekolah mentereng itu, anaknya yang sempat putus asa ketika tak diterima di sekolah impiannya.

“Anak saya sempat drop, bayangkan mas rumah kami sudah dekat hanya 1,2 (kilometer), tapi akhirnya gak masuk, batasnya yang terdekat 600 meter, yang dapat ya sekitar Gubeng Jaya saja,” ungkap Ummi sembari menunjuk ke arah timur, daerah Gubeng Jaya yang hanya dipisah rel kereta api, dengan tempatnya duduk.

Saking sebalnya, anaknya sempat mengajak adiknya agar tak usah belajar. Ia kecewa, sebab hasil ujian nasional yang bagus tidak menjamin masuk di sekolah impian.

BACA JUGA: PPDB, SD di Kampung Nelayan Sidoarjo Hanya Terima Dua Siswa

“Sampai dia bilang ke adiknya, gak usah belajar, (karena) rumah kami jauh,” kenangnya.

Saat itu, Ummi tak patah arang. Ia berupaya mencarikan sekolah lain. Pencariannya terhenti di SMP Muhammadiyah di wilayah Pucang, meskipun sekolah itu belum ideal.

“Kemarin hampir daftar ke SMP Muhammadiyah di Pucang, tapi cukup mahal, saya berharapnya negeri,” ungkapnya.

Upaya lain dilakukan dengan memprotes Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Bersama ratusan wali murid, Ummi berunjuk rasa meminta Dispendik untuk menambah pagu bagi sekolah negeri pada 19 Juni lalu.

BACA JUGA: DPRD Surabaya Sebut Sistem Zonasi di Finlandia Aman dari Protes

Meskipun ujung pangkal masalahnya adalah sistem zonasi, namun Ummi bersyukur upaya meminta tambahan pagu didengarkan dan anaknya bisa diterima di SMPN 6.

“Iya, kemarin sempat ramai juga, akhirnya anak saya lolos karena ada penambahan pagu dari 32 jadi 38,” ungkapnya.

Ummi berharap agar sistem zonasi dievaluasi. Bagi orang tua sepertinya, menjadi masalah bila sang anak gagal masuk sekolah negeri lantaran jarak rumah, bukan dari pertimbangan nilai. Sebab, lebih baik memilih sekolah negeri yang berkualitas dibandingkan swasta lantaran pertimbangan biaya.

“Sekolah swasta mahal,” katanya.

Zonasi hilangkan label unggulan

Sekolah pilihan Ummi memiliki segudang prestasi akademik maupun ekstrakurikuler.

Tercatat, Paduan Suara di sekolah itu meraih medali emas di ajang International Choir Competition Grand Prix Thailand 2016.

Terpampang pula sederet prestasi sekolah berjuluk Spensix itu, seperti lomba pidato Bank Jatim, Indonesia Astronomi Competition 2018, Robofest – Silver Medal 2018, dan Sekolah Terbaik 3 Ecoshool Surabaya.

Sementara dalam raihan ujian nasional, dilansir dari Pespendik.kemdikbud.go.id, SMPN 6 Surabaya meraih rerata 90,15, kalah satu peringkat dari SMPN 1 Surabaya yang mendapat rerata 93.52 pada tahun ajaran 2018/2019.

BACA JUGA: Pemkot Surabaya Terapkan Permendikbud 51/2018 dengan Modifikasi

Spensix selalu menempati jajaran atas peringkat Ujian Nasional terbaik di Kota Surabaya, selama tiga tahun terakhir.

Berikutnya, tak jauh dari SMPN 6, ada SMP Negeri 1 Surabaya yang berjarak hanya lima menit dari tempat Ummi menunggu anaknya, tepatnya di Jalan Pacar, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, Supatmi, aturan pagu dan zonasi berasal dari Dispendik dan harus dilaksanakan. Sekolahnya juga menerapkan sistem yang sama.

“Kebijakan kuota dan sistem semua aturan dari Dinas (Pendidikan),” ungkap Guru Matematika tersebut.

TERTARIK. Siswa Baru yang tergabung dalam Gugus Edelweis menyaksikan parade Ekstrakurikuler di SMP Negeri 6 Surabaya.

Namun, ia paham konsekuensi sistem zonasi menyebabkan sekolahnya menerima siswa dengan kemampuan lebih beragam.

Meskipun tak menyebutkan komposisi siswa berprestasi dan yang tidak, Patmi, panggilan akrabnya, mengaku siap mengajar beragam siswa, dari 406 murid baru, baik yang bernilai tinggi ataupun rendah.

“Sebagai guru sama saja, kami harus siap dengan berbagai siswa,” ungkapnya.

Prestasi di SMPN1 Surabaya juga terbilang mentereng. Salah satunya Juara 1 Drumband Tingkat Nasional Piala Presiden 2017, dikutip dari laman resmi sekolah.

BACA JUGA: Dispendik Tambah Pagu Negeri, SMP Swasta Hanya Mendapat Segelintir Murid

Sebagai sekolah tertua di Kota Surabaya, SMPN 1 juga memiliki rerata UN tertinggi pada tahun sebelumnya, yakni mencapai 93,52

Namun Patmi menolak jika sekolahnya disebut favorit.

Sekolah khusus

“Yang menganggap favorit itu siapa mas? Kami sama saja, tidak pernah melabeli, walau begitu kami selalu siap agar prestasi di sekolah ini dapat bertahan,” ungkapnya.

SMPN 1 dan 6 Surabaya sempat menyandang status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sebelum Mahkamah Konstitusi mencabut status itu di tahun 2013.

BACA JUGA: Swasta Kekurangan Murid, Ikhsan Sarankan Siswa Segera Daftar

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat jika RSBI di sekolah negeri bertentangan dengan UUD 1945, menimbulkan dualisme pendidikan, kastanisasi serta mengancam keberadaan Bahasa Indonesia karena meminta penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar.

Semangat serupa juga diusung sistem zonasi. Tujuannya menghilangkan diskriminasi terhadap akses pendidikan berkualitas dan kastanisasi, dengan mendorong pemerataan kualitas pendidikan di seluruh sekolah.

Kadispendik Surabaya Ikhsan menyebut jika tujuan percepatan kualitas pendidikan dalam sistem zonasi, dilakukan dengan menetapkan sejumlah sekolah khusus sebagai acuan standar kualitas sekolah.

Sekolah seperti SMPN 1, SMPN 2, SMPN 3, SMPN 6, SMPN 12, SMPN 15, SMPN 19, SMPN 22, SMPN25, SMPN 26, dan SMPN 35, ditetapkan sebagai sekolah khusus melalui pasal 23 Permendikbud 51 tahun 2018.

BACA JUGA: Tarik Ulur Pagu Rombel Rugikan Sekolah Swasta Untungkan Wali Murid

“Permendikbud mengakomodir keberadaan sekolah khusus ini,” ujar Ikhsan saat jumpa pers di Kantor Bagian Humas Pemkot Surabaya, Rabu 8 Mei 2019.

Penulis: Dyah Ayu Pitaloka | Penyumbang bahan: Dyah Ayu Pitaloka dan Bayu Diktiarsa

Baca Juga

loading...