Senin, 25 May 2020 03:00 UTC
LOGISTIK. Petugas BPBD Jatim mengirim logistik untuk warga Kedung Baruk, Kec. Rungkut, Surabaya yang menjalani isolasi. Foto: Baehaqi Almutoif
JATIMNET.COM, Surabaya – Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Kota Surabaya, jajaran di tingkat kecamatan dan kelurahan bersinergi dengan kepolisian dan TNI bergerak bersama menyelesaikan pandemi.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya hingga Kamis, 21 Mei 2020, tercatat ada 10 kecamatan di Surabaya yang mengalami kasus tertinggi Covid-19 antara lain Kecamatan Rungkut 180 kasus, Krembangan 172 kasus, Tambaksari 101 kasus, Sawahan 87 kasus, Wonokromo 85 kasus, Gubeng 76 kasus, Bubutan 73 kasus, Mulyorejo 58 kasus, Tegalsari 55 kasus, dan Sukolilo 54 kasus.
Sedangkan di tingkat kelurahan, 10 kasus tertinggi Covid-19 berada di Kelurahan Kemayoran 113 kasus, Kalirungkut 75 kasus, Kedung Baruk 61 kasus, Jepara 40 kasus, Ngagel Rejo 39 kasus, Banyu Urip 37 kasus, Mojo 31 kasus, Morokrembangan 27 kasus, Mulyorejo 26 kasus, dan Ketintang 24 kasus.
BACA JUGA: Positif Covid di Surabaya Meningkat Tajam, Ini Kata Risma
Wilayah Rungkut dan Krembangan ditetapkan sebagai dua kecamatan tertinggi kasus penyebaran Covid-19. Meski Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimcam) bersama jajaran kelurahan setempat terus bekerja maksimal, namun upaya yang dilakukan ini juga tak lepas dari berbagai kendala ketika di lapangan.
Camat Rungkut Surabaya Yanu Mardianto bercerita bagaimana upaya dan kendala yang selama ini dialami dalam memutus mata rantai virus itu. Ketika terjadi pandemi dan bertepatan dengan awal pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, pihaknya masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat baik itu di wilayah perkampungan, perumahan, pasar, maupun pertokoan.
“Kita lakukan sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya protokol kesehatan yang harus disiapkan oleh tempat usaha yang boleh buka ketika PSBB,” kata Yanu.
Namun dalam prosesnya, Yanu mengaku menemui berbagai kendala di lapangan. Kendala yang ditemui bervariatif. Ada ketika orang diajak berkomunikasi itu memahami namun ada pula yang masih merasa acuh. Meski begitu, pihaknya tak menyerah untuk tetap menyampaikan kewajiban kepada masyarakat.
BACA JUGA: Rapid Test Covid-19 Massal di Surabaya Raya Semakin Gencar
“Kewajiban kita tetap menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka paham terhadap aturan-aturan PSBB. Ketika ada yang melakukan pelanggaran juga kita tindak,” ia menerangkan.
Selain masif melakukan sosialisasi langsung bersama jajaran samping, pihaknya bersama puskesmas juga aktif melakukan tracing (pelacakan) di lapangan. Ketika diketahui ada warga yang confirm Covid-19 dan masih berada di rumah, maka ia berkolaborasi dengan RT/RW dan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) untuk menghubungi warga agar mau dijemput dan diarahkan ke rumah sakit.
“Sedangkan keluarga yang ditinggalkan menjadi tanggungan kita untuk mendapatkan permakanan karena dia harus isolasi mandiri. Sebab, begitu ada satu keluarga yang confirm, maka dalam satu keluarga itu masuk ODP (Orang Dalam Pemantauan),” ia menerangkan.
Menurut Yanu, banyak kisah menarik ketika menangani pasien Covid-19 seperti data pasien yang tidak cocok dengan fakta di lapangan karena pasien sudah pindah kos namun masih terdata tinggal di alamat yang lama.
“Makanya kita tracing dari pemilik kos yang lama. Kalau tidak dicari maka potensi penularan semakin besar.Jika sampai tidak ketemu maka kita sampaikan orang itu sudah tidak tinggal di alamat tersebut,” ia menuturkan.
Upaya yang dilakukan membutuhkan peran serta tiga pilar baik di kecamatan maupun kelurahan. Apalagi ketika menghadapi orang yang susah pemahamannya, maka peran tiga pilar yang akan bekerja untuk meyakinkan orang tersebut.
BACA JUGA: Siasat Gugus Tugas Surabaya Rayu OTG Positif Covid agar Dirawat di Rumah Sakit
“Pengertian-pengertian itu juga yang kita perkuat di jajaran RT/RW dan PSM untuk melakukan itu,” ia menandaskan.
Menurutnya, agak dilematik juga ketika menghadapi orang-orang seperti itu. Sebab, di satu sisi, dimungkinkan juga bagi Orang Tanpa Gejala (OTG) melakukan isolasi mandiri di rumah dengan memenuhi syarat tempat tinggal.
Tapi, bagi mereka yang mengajukan isolasi mandiri namun tempatnya tidak memungkinkan, maka ia akan mengambil langkah persuasif agar orang itu mau dirawat di hotel, rumah sakit, atau lokasi isolasi lain yang telah ditentukan.
“Jadi kita bersama RT/ RW dan PSM yang memberikan edukasi kepada orang tersebut agar mau dirawat di rumah sakit,” ia menegaskan.
