Logo

Ulama Aceh Desak Presiden Prabowo Tetapkan Bencana Nasional

Muzakarah Usulkan Perkuat Peran Masjid Pasca Banjir Hidrometeorologi
Reporter:,Editor:

Minggu, 14 December 2025 06:50 UTC

Ulama Aceh Desak Presiden Prabowo Tetapkan Bencana Nasional

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, tempat digelarnya Muzakarah Ulama Aceh yang mendesak penetapan status Bencana Nasional kepada Presiden Prabowo. Foto: Kemenag

JATIMNET.COM – Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan sejumlah rekomendasi penting terkait penanganan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatra. Rekomendasi tersebut disampaikan dalam Muzakarah Ulama Aceh yang dirangkai dengan doa bersama untuk para korban banjir, di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Minggu, 14 Desember 2025. 

Ketua MPU Aceh, Tgk. H. Faisal Ali atau yang akrab disapa Abu Sibreh, mengatakan musibah banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah di Aceh membutuhkan penanganan luar biasa dan sinergi lintas sektor, baik daerah maupun pusat.

“Ulama memahami keterbatasan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana berskala besar. Karena itu, negara harus hadir secara lebih serius dan objektif sesuai tingkat kedaruratan yang terjadi,” ujar Abu Sibreh saat diwawancarai secara tertulis oleh Jatimnet.com

 

Minta Presiden Tetapkan Bencana Nasional

Salah satu rekomendasi utama Muzakarah Ulama Aceh adalah meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menetapkan bencana hidrometeorologi di Aceh—serta wilayah terdampak lain seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat—sebagai bencana nasional.

Penetapan tersebut dinilai penting guna mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka akses bantuan kemanusiaan yang lebih luas, termasuk bantuan internasional yang terkoordinasi dan akuntabel.

Selain itu, ulama juga mendorong Pemerintah Aceh bersama bupati dan wali kota se-Aceh menyusun Blueprint Pembangunan Aceh Pasca-Bencana yang berkelanjutan. Blueprint tersebut diharapkan berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.

 

Dorong Revisi Anggaran dan Transparansi Bantuan

Muzakarah juga merekomendasikan agar Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melakukan revisi anggaran untuk menyesuaikan kebutuhan penanganan banjir dan longsor. Ulama menekankan pentingnya konsolidasi lintas sektor serta penyampaian data dampak bencana secara jujur dan terbuka kepada pemerintah pusat.

Dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan, seluruh pihak—baik pemerintah, lembaga, relawan, maupun masyarakat—diingatkan untuk menjaga kejujuran, transparansi, dan amanah.

“Jangan sampai musibah ini dinodai oleh penyimpangan dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan para donatur,” tegas Abu Sibreh.

Ulama Aceh juga mendesak aparat penegak hukum mengusut secara serius perusakan lingkungan yang berkontribusi terhadap bencana, serta menindak pelakunya sesuai hukum yang berlaku.

 

Jaga Etika Sosial dan Perkuat Solidaritas

Di tengah situasi bencana, masyarakat Aceh dan luar Aceh diimbau menjaga etika sosial dengan tidak menyebarkan fitnah, ujaran kebencian, maupun provokasi yang dapat memperkeruh suasana. Sebaliknya, ulama menyerukan penguatan solidaritas sosial dan semangat tolong-menolong sebagai wujud ukhuwah Islamiyah dan kemanusiaan.

Muzakarah juga mengajak masyarakat untuk menghidupkan masjid, baik di wilayah terdampak maupun tidak terdampak, melalui doa bersama, penguatan spiritual, serta aktivitas sosial-keagamaan yang menenangkan dan menguatkan masyarakat.

 

Tegaskan Keseragaman Ibadah dan Otoritas Imam Masjid

Selain isu kebencanaan, Muzakarah Ulama Aceh turut menyoroti pentingnya keseragaman ibadah dan penguatan peran ulama di masjid-masjid Aceh, terlebih menjelang bulan Ramadan.

Ulama menegaskan bahwa praktik ibadah di masjid Aceh harus berlandaskan manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah, dengan akidah Asy’ariyah-Maturidiyah dan fikih mazhab Syafi’i sebagai rujukan utama. Keseragaman ibadah diharapkan tetap mengedepankan kearifan lokal, sikap saling menghormati, serta pengelolaan perbedaan secara bijak dan damai.

Muzakarah juga menegaskan otoritas Imam Besar Masjid dalam mengatur pelaksanaan ibadah serta menolak terjadinya dualisme kepemimpinan antara imam dan Badan Kemakmuran Masjid (BKM). Pengelolaan masjid diharapkan dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel, terutama dalam pengelolaan keuangan.

 

Masjid sebagai Pusat Peradaban

Ulama Aceh mendorong masjid dikembalikan fungsinya sebagai pusat persatuan umat, dakwah, pendidikan, serta pemberdayaan sosial-ekonomi umat melalui pengajian, kajian keilmuan, perpustakaan masjid, hingga pengembangan wakaf produktif.

MPU Aceh juga merekomendasikan menyusun panduan keseragaman ibadah dan pengelolaan masjid yang merujuk pada kitab-kitab ulama mu’tabar, serta mendorong pemerintah daerah menetapkannya dalam bentuk qanun atau peraturan resmi.

“Muzakarah ini adalah simbol persatuan umat di tengah ujian bencana, sekaligus ikhtiar kolektif ulama untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama dan menghadirkan negara bagi rakyat Aceh,” pungkas Abu Sibreh.