Selasa, 21 October 2025 23:00 UTC
Data jumlah pesantren, santri, dan ustaz/ustazah. Sumber: Kementerian Agama RI (Hingga 28 September 2025)

Mekanisme Usaha dan Transparansi Dana Yayasan. Grafis: Ishomuddin

Aturan Pengelolaan dan Pelaporan Dana Pesantren. Grafis: Ishomuddin
JATIMNET.COM – Sejak Islam masuk ke Indonesia (Nusantara saat itu) yang dibawa pedagang maupun ulama dari Asia dan Timur Tengah, terbentuk majelis-majelis dakwah.
Setelah berdiri majelis-majelis dakwah, mereka membangun tempat ibadah, mulai dari yang sederhana seperti musala hingga tempat yang cukup besar yang dinamakan masjid atau tempat bersujud (menyembah) Allah SWT.
Tak cukup musala dan masjid, lambat laun perkembangan Islam semakin pesat hingga berdirilah komunitas pembelajar Islam yang dirintis para ulama atau keturunannya hingga kemudian disebut dengan pesantren atau pondok pesantren.
Disebut pondok karena mereka juga mendirikan tempat-tempat untuk menginap orang-orang yang ingin tinggal dan mendalami Islam.
Selain tempat pendidikan atau pengajaran syariat Islam, dalam sejarahnya, pesantren juga jadi media perjuangan ulama melawan penjajah Eropa hingga perlawanan pada pemberontakan di dalam negeri yang dilakukan kelompok antiislam.
Saking lama dan banyaknya, jasa pesantren tak bisa diukur dalam menjaga keutuhan dan ketentraman Nusantara yang kemudian jadi Indonesia.
BACA: Kecam Tayangan Xpose Uncensored Trans7, Ansor Jatim Desak Dewan Pers dan KPI Bertindak
Para ulama tak berharap upah atau penghargaan dari negara atas jasa mereka, sebab mereka tahu dan paham, Allah yang akan membalasnya di kehidupan abadi selanjutnya, tak di dunia fana.
Ulama (termasuk guru, akademisi, kiai, bunyai, ustaz, ustazah, dan siapa saja yang berilmu dan mengamalkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat) paham bahwa tujuan akhir bukan di dunia, tapi di kehidupan abadi selanjutnya.
Nah, ketika negara Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945, mulailah diatur berbagai macam administrasi negara meski masih terjadi penjajahan oleh Belanda.
Lalu, negara mewajibkan sebuah lembaga memiliki badan hukum, termasuk lembaga pendidikan dan pesantren.
Karena bersifat nonprofit dengan misi sosial, keagamaan, dan pendidikan, badan hukum yang cocok bagi pesantren adalah yayasan.
BACA: Muncul Ikon Boikot Trans7 di Google Maps
Lalu munculah Undang-undang (UU) tentang yayasan yang pertama, UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 28 Tahun 2004.
Lembaga apapun yang berbentuk yayasan wajib mematuhi ketentuan dalam UU tersebut, termasuk pesantren, majelis taklim, majelis salawat, forum pengajian, masjid, musala, lembaga pendidikan nonpemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.
Jadi Primadona
Pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang berbasis keagamaan, termasuk selain Islam, bisa jadi primadona bagi masyarakat.
Sebab, pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan tersebut tidak hanya belajar teori, tapi juga mengajarkan tingkah laku pada peserta didik. Bahkan santri atau pelajar dibekali keahlian atau skill tertentu sebagai bekal kehidupan di masyarakat.
Pendidikan yang komprehensif dan holistik inilah yang menjadi daya tarik pesantren maupun lembaga pendidikan agama selain Islam.
Maka, masyarakat sebagai konsumen akan banyak memilih lembaga pendidikan keagamaan tersebut, termasuk pesantren, sebagai wadah pembelajaran anak-anak.
Semakin banyak jumlah peserta didik dan biaya pembelajaran yang ditentukan, maka dana yang bergulir di lembaga akan semakin besar.
BACA: Akui Teledor, Trans7 Minta Maaf ke Pondok Pesantren Lirboyo
Sumber dana tak hanya dari peserta didik. Pemerintah atau negara, lembaga pendonor atau donator personal dari dalam dan luar negeri berpeluang memberikan bantuan dana pada lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren.
Nilainya bisa jadi puluhan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah dalam satu tahun buku yayasan, tergantung bagaimana yayasan meyakinkan pendonor atau penyumbang.
Pesantren ada yang menerima sumbangan dari ulama atau pengusaha Islam di kawasan Asia hingga Timur Tengah atau negara-negara Islam.
Begitu juga dengan lembaga keagamaan selain Islam, bisa jadi mereka juga menerima dana dari luar negeri atau dari negara-negara yang terafiliasi dengan kepentingan agama masing-masing.
Pertanggungjawaban ke Publik
Nah, transparansi dana yang diatur dalam UU Yayasan tersebut bertujuan menciptakan keadilan di masyarakat. Transparansi tidak hanya dituntut pada lembaga-lembaga pemerintah, tapi juga yayasan sebagai salah satu wadah aktivitas masyarakat.
Pada pasal 3 ayat 1 UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan diatur bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan bahwa yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan menyertakan kekayaannya.
Lalu di pasal 3 ayat 2 diatur bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus, dan pengawas.
BACA: KPI Hentikan Sementara Infotainment Xpose Uncensored Trans7
Kemudian di pasal 52 UU Nomor 28 Tahun 2004 terjadi sedikit perubahan yang mengatur mekanisme transparansi dan batasan minimal dana yang harus dipublikasikan ke masyarakat, yakni Rp500 juta atau lebih dalam satu tahun buku.
Aturan lebih detail mengenai pengelolaan dana pesantren diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Perpres yang diteken 2 September 2021 ini mengatur pendanaan pesantren dan pelaporannya.
Aturan ini turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pesantren bisa memperoleh dana dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sumbangan masyarakat, kewajiban sosial perusahaan, dan dari pemerintah ataupun swasta di luar negeri.
Dalam pasal 5 Perpres Nomor 82 Tahun 2021 disebutkan bahwa pendanaan dapat berupa uang, barang, dan jasa.
Sumber pendanaan pesantren yang berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat dapat berupa hibah dalam negeri, hibah luar negeri, badan usaha, pembiayaan internal, dana tanggung jawab sosial perusahaan, dan dana perwalian.
Pada pasal 6 Perpres tesebut juga diatur bahwa untuk dana dari masyarakat, pengelola pondok pesantren diwajibkan mencatat identitas pemberi, jumlah, dan peruntukannya.
Nah, aturan ini dibuat agar lembaga apa saja, termasuk pesantren yang dinaungi yayasan, transparan sebagai bagian dari tanggung jawab pada publik.
Sebab, yayasan juga berpeluang menggalang dana dari umat (publik), maka wajib dipertanggungjawabkan pada publik, bukan hanya di lingkup pengurus, pembina, dan pengawas yayasan.
BACA: Tim DVI Pastikan Korban Tewas Tragedi Al Khoziny 63 Jiwa
Di momen Hari Santri 22 Oktober 2025, yayasan yang mewadahi pesantren maupun lembaga pendidikan keagamaan lain di luar Islam bisa berbenah diri dengan memenuhi ketentuan dalam UU tersebut.
Pesantren dan lembaga berbasis keagamaan lainnya harus jadi agen perubahan dan transparansi dana publik. Kejujuran dalam pengelolaan dana harus diterapkan sebagaimana ajaran setiap agama, termasuk Islam, dan ajaran para ulama terdahulu.
Sebab, pesantren dalam wadah yayasan dibentuk untuk kepentingan publik, bukan keluarga, ormas, atau komunitas tertentu.
Sayangnya, hasil penelusuran Jatimnet pada beberapa website pesantren-pesantren besar di Jawa Timur tak menemukan publikasi dana yang dikelola pesantren setiap tahun, baik dana yang diterima dari pemerintah maupun dana dari lembaga pendonor atau donatur personal dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai lembaga sosial dan pendidikan yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat, pesantren sebaiknya mempublikasikan dana yang dikelola ke masyarakat, meski dalam UU tentang Yayasan, yang diwajibkan untuk dipublikasikan adalah jika total bantuan dana yang diterima mencapai Rp500 juta atau lebih dalam satu tahun pembukuan keuangan yayasan.
Transparansi pengelolaan dana itu sebenarnya akan menguntungkan pesantren dan meningkatkan kredibilitas pesantren di mata masyarakat.
Harus Terbuka dan Tak Melindungi Pelaku Pidana
Pesantren juga harus adil dalam memperlakukan santri dan patuh pada hukum jika terjadi tindak pidana di dalam lingkungan pesantren, tidak malah menutup-nutupi demi nama baik pesantren atau kiai.
Sebab, masih dijumpai pesantren yang tidak transparan, bahkan melindungi keluarga kiai yang terlibat tindak pidana.
Seperti kekerasan seksual yang dilakukan salah satu anak kiai pada beberapa santri perempuan di salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
BACA: Keluarga Korban: Ada Kelalaian di Balik Tragedi Ponpes Al Khoziny
Kasusnya sempat tersendat di tingkat Polres, sampai diambil alih Polda Jatim. Polda Jatim sempat gagal menangkap pelaku di dalam lingkungan pesantren.
Di penggerebekan kedua, polisi dengan ratusan personel baru berhasil menangkap pelaku di dalam lingkungan pesantren tahun 2022 lalu.
Tak hanya itu, ada juga pesantren di Jawa Timur yang tidak jujur ketika terjadi tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan dan dialami sesama santri.
Pesantren sempat mengklaim korban terjatuh, namun setelah dilakukan penyelidikan polisi, ternyata terjadi tindak kekerasan antarsantri pada Oktober 2021. Lima santri menjadi tersangka dan sudah diputus bersalah di pengadilan.
Jika pesantren tak transparan atau menutup diri, maka publik yang akan menilai dan bisa merugikan kredibilitas pesantren itu sendiri.
Ini jadi tantangan pesantren dan tak mudah mengelola atau mendidik ribuan atau bahkan puluhan ribu santri dalam satu yayasan pesantren.
Pengawasan oleh pengurus pesantren harus diperketat demi keamanan dan kenyamanan santri yang mayoritas berusia anak dalam menempuh pendidikan.