Reporter
Dyah Ayu PitalokaSabtu, 27 Juli 2019 - 08:49
DALAM dua bulan terakhir, Juni-Juli 2019, tujuh orang terduga pelaku kejahatan tewas diterjang timah panas petugas di Surabaya. Lima pencuri sepeda motor, seorang penjambret, dan bandar narkoba. Polisi berdalih mereka bersenjata dan melawan saat ditangkap.
Dengan penduduk sekitar 3 juta jiwa, Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Potensi kerawanan dan tingkat kejahatan relatif tinggi. Polrestabes Surabaya mencatat pada 2017, rata-rata hampir dua jam sekali terjadi tindak kejahatan.
Dari 5.163 tindak pidana yang terjadi sepanjang tahun itu, 54 persen (atau 2.770 kasus) adalah perampasan disertai kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, uang palsu, perdagangan manusia, hingga narkoba. Mayoritas perampasan berlangsung di jalanan.
Sebagai instrumen pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi berwenang menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Tapi seperti tertuang dalam catatan Kontras pada peringatan Hari Bhayangkara ke 73 lalu, lemahnya pengawasan, baik dari internal maupun eksternal, berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia.
Catatan itu sekaligus menyuguhkan data, sepanjang Juni 2018-Mei 2019, tercatat 643 peristiwa kekerasan yang dilakukan polisi di seluruh Indonesia. Selain itu, juga terjadi 423 kasus penembakan oleh polisi, dengan jumlah korban 435 terluka dan 229 tewas.
Kamis, 25 Juli 2019 kemarin, dua reporter Jatimnet.com; Dyah Ayu Pitaloka dan Khaesar Januar Utomo, mewawancarai Kepala Satreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran. Bersama Kapolrestabes Surabaya Kombes Sandi Nugroho, ia baru saja menggelar jumpa pers tentang penangkapan komplotan perampok minimarket.
Berkemeja warna biru, ia berjalan ke arah mobil golf yang terparkir tak jauh dari lokasi jumpa pers ketika kami mengajukan permohonan wawancara. Tak berpikir panjang, ia langsung mengiyakan. “Yo wes nang kene ae,” katanya.
Perwira yang menjabat Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya sejak awal 2018 itu dikenal sebagai polisi yang tegas dan lugas. Meniti karir detektif dari ‘bawah’, sejumlah kasus kriminal tak lazim pernah dibongkarnya. Misalnya penyimpanan pil ekstasi di safe deposit box bank. “Saya baru 34 tahun di reserse,” katanya.
Berikut petikannya.
BERANTAS KEJAHATAN. AKBP Sudamiran (berkemeja biru) dan Kapolrestabes Surabaya Kombes Sandi Nugroho (berseragam) dalam jumpa pers, Kamis 25 Juli 2019. Foto: Khaesar.
Kenapa mereka ditembak mati?
Polisi dibekali senjata dalam tugas lapangan dan diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk bertindak tegas dengan senjata api, apabila satu, (pelaku kriminalitas) mengancam jiwa petugas atau masyarakat. Kedua, tidak ada alternatif untuk menghentikan kejahatan itu (selain menembak). (Jadi) tak ada perintah pimpinan untuk menembak mati di tempat. Itu tidak ada.
Apakah mereka dianggap berbahaya?
Iya.
Penyelidikan sebelum penangkapan seperti apa?
Sudah (kami lakukan). Jadi yang terakhir dari tiga (kasus penembakan itu), sudah kami buntuti dari Lumajang dan Jember. Kami ikuti terus. Dari kamera CCTV, kami identifikasi alat yang digunakan melakukan perbuatan itu, nomor polisinya (kendaraan), sudah kami selidiki. Mereka membawa senjata tajam, mayoritas pisau penghabisan. BACA: Tiga Pelaku Curanmor Jaringan Jember Ditembak Mati Polisi
Apa tidak cukup dengan melumpuhkan saja? Misal membidik kakinya?
Kami situasional. Tidak ada berpikir lagi. Arahnya memang kaki, tapi kalau kena dada ya tidak apa-apa. Kami tolong setelah kami tembak. (Tapi) dalam perjalanan ke rumah sakit tidak tertolong.
Polisi selalu berdalih pelaku melawan dan berusaha kabur dari kejaran saat menembak pelaku kriminal. Sebagian masyarakat ada yang tak percaya. Apa pendapat Anda?
Boleh. Silakan masyarakat bertanya pada kami. Kami bertanggung jawab. Nanti akan saya tunjukkan bukti-bukti bahwa, satu, yang ditembak sampai meninggal adalah pelaku kejahatan. Dua, kami buktikan pada saat melakukan penangkapan, (mereka) mengancam jiwa petugas dengan perlawanan senjata tajam. Dan yang ketiga, kami tidak ada alternatif lain (selain) melakukan upaya penembakan.
Apa yang dilakukan polisi setelah menembak tersangka pelaku kriminal?
Pertanggungjawaban pertama, kami menghubungi keluarga korban. Kemudian kami melaporkan pada pimpinan. Kami buat surat laporan tertulis. Kami diperiksa (pemeriksa) internal dari Propam, ‘profesi dan pengamanan’. Kami diperiksa untuk mempertanggungjawabkan kegiatan kami.
Semua polisi bawa senjata api?
Tidak semua polisi dibekali senjata api. Pertama di tes psikologi dulu (untuk mendapatkan senjata). Ada tes menembak, rekomendasi dari pimpinan, apakah anggota ini punya problem, ada masalah keluarga, dan sebagainya. Dari (tes) psikologi sudah bisa diketahui apakah anggota polisi itu layak untuk diberikan senjata api atau tidak.
RESERSE. Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran saat meladeni wawancara Jatimnet.com usai jumpa pers tentang penangkapan komplotan perampok minimarket, Kamis 25 Juli 2019. Foto: Khaesar.
Yang punya senjata, ada latihan rutin untuk mengasah keterampilannya?
Setiap Sabtu, yang tidak melaksanakan tugas, kami latihan di lapangan tembak. Pak Kapolrestabes (Surabaya) menyiapkan lapangan tembak di belakang itu gunanya untuk latihan supaya tidak salah sasaran. Seminggu sekali (latihannya) secara bergiliran.
Jadi tak semua bawa senjata api?
Polisi itu terbagi lima fungsi. Ada fungsi pencegahan, Sabhara, Lalu lintas, Binmas prefentif. Kalau Binmas kan tak perlu senjata api. Kemudian fungsi intelijen. Dan yang paling wajib adalah fungsi reserse yang setiap hari melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Karena masuk reserse, kami juga dites psikologi juga. Nggak sembarang polisi bisa. Ada tes psikologi. Kemudian latihan melumpuhkan (menembak). Ada penyelidikan, penyidikan, dan memproses laporan masyarakat.
Menembak orang tentu berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Kalau ada polisi habis menembak tersangka, apa ada pemeriksaan kondisi psikologisnya?
Ndak ada. Kami sudah disiapkan untuk masuk reserse. Secara psikologis sudah dites, berarti sudah siap lahir dan batin.
Ada rolling?
Ada. Itu mutasi untuk kepentingan karir dan organisasi. Bukan karena itu (menembak orang).
Sudah berapa lama Anda jadi reserse?
Saya baru 34 tahun di reserse.
Pernah nembak orang?
Saya nembak sudah gak bisa dihitung. Lho iya, saya kan dari bawah. Belasan (atau mungkin) puluhan saya tembak, baik melumpuhkan maupun kebetulan pas kena, meninggal. Waktu saya Wakasat Reskrim (Polrestabes Surabaya), ketika saya pakai baju olah raga, mau olah raga di atas. (Saya lihat) anggota saya dikeroyok di bawah jembatan. Akhirnya, mobil saya parkir di tengah jalan. Saya kejar (pengeroyok) itu sampai masuk gang. Saya tembak kena punggungnya, terakhir meninggal. Itu tahun 2000an, (atau mungkin) 1999an-lah. Terus ada lagi waktu jadi Kapolsek Genteng. Ketika patroli ada jambret. Kami kejar, kami sikat des ternyata meninggal. Banyaklah.
Pertama kali menembak?
Wah, saya masih pangkat Brigadir tahun 1989, (mungkin juga) 1990an-lah.