Bayu Pratama

Reporter

Bayu Pratama

Kamis, 1 Agustus 2019 - 18:16

SURABAYA  –  Waduk sepat namanya. Danau tadah hujan di Lakarsantri Surabaya itu kini tak lagi terlihat. Waduk yang berada di lahan perumahan Citraland itu tertutup pagar seng.

Empat tahun pagar itu menutup sekeliling waduk, memisahkan warga sekitar dengan situs historis penjaga kelestarian lingkungan.

Warga setempat mengingat, tahun 2015 menjadi kali terakhir warga RW 3, RW 5, dan sekitar Sepat Lidah Kulon, Lakarsantri Surabaya, melangsungkan sedekah waduk di tepian.

Setelah pemagaran, ia beserta warga lain melakukan sedekah waduk dari balik pagar yang kini masih menjadi sengketa itu.

BACA JUGA: Dua Pejuang Lingkungan Waduk Sepat Akhirnya Bebas

Perempuan paruh baya ini mengisahkan, sedekah waduk berlangsung setiap tahun sebagai bentuk syukur warga Dukuh Sepat atas air yang cukup, pepohonan trembesi, kapuk, mahoni nan rindang, serta ikan untuk dipancing.

Di tepian waduk juga dibangun fasilitas umum untuk warga, seperti gazebo, musala, dan arena bermain anak yang kini tak lagi ada.

MENJAHIT. Martiyah sedang menjahit baju dan kain untuk keperluan rumah tangga saat ditemui Jatimnet, Rabu 31 Juli 2019. Foto: Bayu Diktiarsa

Sedekah berlangsung di Bulan Ruwa, sebulan sebelum Ramadan. Warga membuat tumpeng, tabur bunga, hingga pawai kampung.

“Sedekah terakhir, warga tak boleh masuk waduk, dekat makam bisanya,” kata Martiyah, Rabu 31 Juli 2019.

Alih fungsi waduk dan banjir

Sedekah terakhir yang berkesan lantaran didampingi pengamanan dari aparat kepolisian.

Tahun ini warga masih melakukan sedekah waduk, meskipun di luar pagar. Surutnya sedekah waduk diikuti dengan bencana banjir yang sering datang.

Banjir musiman saat hujan, datang melalui saluran air dari Utara hingga Selatan Makam Dukuh Sepat.

Banjir setinggi mata kaki hingga pinggang orang dewasa tersebut selalu menerjang tiap tahunnya.

BACA JUGA: Warga Dusun Sepat Minta Polda Jatim Hentikan Pemeriksaan terkait Laporan Ciputra

Penjahit rumahan ini menuturkan sejak perumahan Citraland dibangun, banjir kiriman selalu datang ke daerah mereka.

“Bukan sejak ditutup, belum ditutup sudah banjir, dari perumahan Citraland buang sini semua, kalau (banjir) besar bisa sampai pinggang,” ungkapnya.

Menurutnya puncak banjir terjadi pada tahun 2017, saat itu banjir kiriman terbesar datang karena pengurukan waduk bagian utara.

Hal serupa disampaikan oleh Dian Purnomo, saat itu pengurukan bagian utara waduk mulai dilakukan dan dampaknya dirasakan oleh warga.

MAKAM. Jalan setapak di Makam Dukuh Sepat, melalui jalan ini akses ke Waduk Sepat dilalui, namun kini telah tertutup tembok setinggi 3 meter. Foto: Bayu Diktiarsa

Menurutnya, waduk yang beralih fungsi turut menyumbang banjir.

Tadah air yang awalnya digunakan publik beralih menjadi milik privat.

Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008, menegaskan tentang kepemilikan Waduk Sepat oleh PT Ciputra Surya.

“Pas bagian utara (waduk) diuruk, sempat banjir di RW lima, tapi prediksi saya ke depan lebih banyak, kan sebelah selatan juga dibangun, jadi air akan menuju tempat yang lebih rendah,” tambahnya.

Upaya perjuangan warga

Warga Dukuh Sepat bukannya tanpa perlawanan, sejak upaya pengalihfungsian berlangsung tahun 2011. Dian Purnomo, Maryati, dan warga lain melancarkan aksi protes ke Pemerintah Kota, DPRD Kota Surabaya, hingga aparat penegak hukum.

“Dulu pernah tahun 2011, tapi berhasil dihalangi warga, kemudian pada tahun 2015 mereka melakukan upaya pengosongan paksa bersama Polrestabes (Surabaya) mereka berhasil menguasai waduk kemudian ditutup,” ungkap Dian Purnomo.

Protes warga Dukuh Sepat, kemudian menarik berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Kelompok Mahasiswa, dan berbagai elemen lain bergabung dalam aliansi Selamatkan Waduk Sepat (Selawase) yang berdiri pada 2017.

BACA JUGA: Air Waduk Kian Habis, Pemkab Madiun Tambah Submersible

Sejak itu, hampir tiap malam dalam sepekan Maryati dan warga sekitar mendapatkan informasi tentang hak lingkungan.

“Dibantu teman-teman, sejak 2017 belajar tapi lebih ke diskusi informal di Sepat, belajar bersama setiap malam, kalau rutin biasanya tiga sampai empat kali seminggu,” tambahnya.

Warga gugat pemerintah

Dian dan seorang warga lain bernama Darno, sempat mencicipi pengapnya ruangan sempit di balik jeruji penjara Rutan Kelas I Surabaya, selama dua bulan 15 hari.

Dian mendekam dipenjara lantaran dituduh merusak pagar dan memasuki pekarangan tanpa izin ke dalam Waduk Sepat.

Dian Purnomo

Sementara, yang terjadi, dia dan seratusan warga pada 6 Juni 2018, memasuki areal waduk sepat untuk menutup plat penahan air yang terpotong.

Malam itu, setelah salat tarawih, warga memasang plat penahan air hingga dini hari, lantaran aliran yang cukup deras keluar dari waduk.

Namun, lantaran perbuatan itu, Dian Purnomo dan Darno ditahan, sejak Jumat 31 Mei 2019. Pada Jumat 5 Juli 2019, dua warga sepat itu akhirnya dibebaskan.

Upaya warga tak berhenti di sini.

BACA JUGA: Waduk Mengering, Petani Gresik Utara Terancam Gagal Panen

Warga yang telah paham tentang hak lingkungan melayangkan protes atas kerugian yang mereka alami akibat waduk beralih fungsi.

Mereka pun melancarkan Citizen Law Suit atau gugatan secara keperdataan kepada Pemerintah Kota Surabaya, yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Surabaya.

Proses Citizen Law Suit telah disidangkan secara perdana pada 25 Maret 2019 dan masih berjalan hingga kini.

Mereka tak lelah berharap waduk yang bisa dimanfaatkan untuk publik, bisa kembali bebas digunakan oleh warga sekitar.

“Agar waduk bisa kembali sebagai fasilitas umum dan digunakan seperti dulu untuk kepentingan warga,” pungkas Dian.

Penulis: Dyah Ayu Pitaloka | Penyumbang bahan: Dyah Ayu Pitaloka dan Bayu Diktiarsa

Baca Juga

loading...