Logo

Jejak Sang Proklamator di Rumah Kos Peneleh Surabaya

Reporter:,Editor:

Sabtu, 17 August 2019 23:25 UTC

Jejak Sang Proklamator di Rumah Kos Peneleh Surabaya

KAMAR KOS. Gambaran kamar kos di rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Penelehe, Surabaya, yang menjadi tempat kos Seokarno. Foto: Bayu Pratama

JATIMNET.COM, Surabaya - Jauh sebelum Soekarno membacakan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, dirinya pernah tinggal lama di Surabaya untuk menempuh studi di Hogere Burger School (HBS) Surabaya dalam kurun 1915 – 1921.

Soekarno muda waktu itu datang ke Surabaya karena titah ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo yang menitipkannya kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Ia juga sekaligus kos di rumah yang berada di tepi Sungai Kalimas, tidak jauh dari lokasi HBS yang kini menjadi Kantor Pos Pusat Surabaya.

Di samping alasan lokasi, Soekemi memiliki maksud khusus. Ia menyadari anaknya harus mendapat binaan khusus dari Tjokro, pria yang ia juluki “Pemimpin Politik dari Orang Jawa”

BACA JUGA: Pemkot Surabaya Gagas Kampung Peneleh Jadi Wisata Berbasis Digital

Soekemi tentu tak ingin anaknya berpikir selayaknya orang Belanda sekaligus diinjak oleh mereka, layaknya anak pribumi yang mendapat kesempatan meraih pendidikan. 

Ia harus memberikan Soekarno pelajaran hidup langsung dari kawan lamanya tersebut yang memimpin perkumpulan Sarekat Islam.

“Soekarno dititipkan sang ayah ke Rumah Pak Tjokro, sekaligus tempatnya tinggal dan belajar, ia dititipkan sebab ayah Soekarno, Soekemi sudah kenal dengan Pak Tjokro,” ungkap Pemandu Museum Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya, Ahmad Yanuar Firmansyah, Jumat 16 Agustus 2019 kepada Jatimnet.

DENAH. Denah rumah HOS Tjokroaminoto yang ditempati para tokoh bangsa ketika masih muda. Foto: Bayu Pratama

Datang ke rumah Pak Tjokro, Soekarno bertemu dengan Tjokro, istrinya Soeharsikin serta kelima anaknya. Soekarno persilakan menempati satu dari sepuluh kamar yang tersekat di loteng atas rumah yang kini beralamat di Jalan Peneleh VII nomor 29 – 31.

Tidak hanya bertemu denga keluarga Tjokro, dari sinilah Soekarno mengenal Muso, Semaoen, Alimin, dan Kartosuwiryo yang menjadi teman hidup sekaligus lawan berdebat semasa hidup dengan Pak Tjokro.

Anak-anak muda itu disuguhi buku oleh Tjokro, mereka membaca, menulis, berdebat di meja makan, diajak ke rapat politik dan sesekali menguping ketika Tjokro mengadakan rapat politik secara diam-diam di ruang tamu yang terletak di depan kamar tidurnya.

BACA JUGA: Pemkot Lestarikan Temuan Jobong di Peneleh

Saat itu Tjokro memang sudah menjadi Ketua Sarekat Islam sekaligus bekerja di firma Kooy & Co. Sadar saat itu ekonomi sulit, Tjokro menyewakan kamar setiap anak 11 gulden per bulan, dengan fasilitas kamar, makan dua kali sehari, bagi mereka yang menggunakan listrik akan dibebankan tarif tambahan.

“Pak Karno dan Muso saat itu sekolah di HBS, Semaoen dan Alimin ngekos di sini saat itu sudah bekerja di kereta api, mereka memilih kos di sini karena ingin belajar di Pak Tjokro,” tambah Yanuar.

Melalui Pak Tjokro, Soekarno dan tokoh bangsa lainnya belajar mengenai Indonesia. Pemikiran politik anak kos digembleng oleh Tjokroaminoto. Mereka dicekoki buku dan diajarkan berorasi.

MENGAMATI. Pengunjung sedang duduk santai di salah satu sudut Museum HOS Tjokroaminoto Surabaya yang terpajang foto-foto para tokoh bangsa. Foto: Bayu Pratama

Seperti tertulis pada informasi kamar Soekarno di Rumah Peneleh, melihat Tjokro berpidato, Soekarno meniru gaya dan teknik orasi ketua Sarekat Islam tersebut, tentu dengan tambahan intonasi yang lebih menggelegar seperti yang kita dengar saat ini.

“Di kamar inilah Soekarno belajar pidato meniru gaya pidato Tjokroaminoto, Soekarno memang rajin mengamati teknik orasi Ketua Sarekat Islam itu. Ia sangat terkesan melihat bapak berpidato di depan ribuan pendukung Sarekat Islam. Pidatonya menggelegar sanggup membangkitkan semangat nasionalisme para pengikutnya,” seperti tertulis pada informasi kamar Soekarno di Rumah Peneleh.

Rumah berukuran 9x13 meter itu menjadi saksi bisu tempat belajar lima pemuda yang kelak menjadi tokoh bangsa dengan pilihan politik yang berseberangan. Kelak Muso, Semaoen dan Alimin bergerak melalui Partai Komunis Indonesia, Kartosuwiryo bergerak dengan menegakkan Negara Islam Indonesia, dan Soekarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia.

BACA JUGA: Sumur Kuno di Peneleh Butuh Penelitian Lebih Lanjut

Hingga pada suatu ketika, Soekarno lah yang memerintahkan eksekusi mati teman seperjuangannya, Kartosuwiryo karena berkeras mendirikan Negara Islam Indonesia.

“Justru setelah keluar mereka lebih radikal dan menjadi tokoh bangsa,” ungkap Yanuar saat menceritakan kisah mereka.

Peresmian Museum Tjokroaminoto, Cagar Budaya di Surabaya

Mengenai museum tersebut, Yanuar menjelaskan tidak kurang dari seratus orang mengunjungi tiap minggunya. Melalui plakat yang tertera pada ruang depan rumah tersebut tertulis Museum HOS Tjokroaminoto diresmikan pada 27 November 2017 oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.

“Kalau seperti sekarang ini, menjelang 17 Agustus bisa lebih, kayak rombongan dari sekolah dan komunitas, dan masyarakat umum,” tuturnya.

BACA JUGA: Semarak Lampion Meriahkan Peringatan Hari Lahir Pancasila di Blitar

Di museum tersebut, pengunjung dari berbagai kalangan dapat melihat jejak  perjuangan dari foto dan penjelasannya. Di bagian depan, terdapat sembilan foto tokoh yang pernah bertempat tinggal dan singgah di rumah Peneleh.

Sementara di loteng atas, tempat Soekarno dan tokoh lain beristrirahat tampak sudah tidak tersekat. Yanuar menjelaskan saat itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya tidak berani menyekat karena tidak ada informasi detail mengenai bentuk sekat yang berada di kamar atas.

“Sepuluh kamar disekat termasuk loteng, kalau detail sekat kita gak ngerti karena tidak diceritakan bagaimana penyekatannya, kamar sekat itu disewakan, salah satunya disewa Pak Karno,” ungkap Yanuar, Jumat 16 Agutus 2019.

Tidak hanya mengunjungi museum, para pengunjung yang datang dapat berdiskusi sekaligus mempelajari kisah hidup HOS Tjokroaminoto, salah satu guru bangsa yang dijuluki raja tanpa mahkota.