Reporter
Ahmad SuudiSenin, 20 September 2021 - 19:40
JATIMNET.COM, Banyuwangi - Gedung Laboratorium Hotel Jinggo Politeknik Negeri Banyuwangi (Poliwangi) masih tampak lengang. Padahal, sembilan orang mahasiswa Program Studi Manajemen Bisnis Pariwisata (MBP) di kampus ini akan menjalani ujian tugas akhir. Meski demikian, Putu Ngurah Rusmawan telah siap di depan laptop. Dia yang akan memimpin sidang ujian yang digelar Rabu, 15 September 2021.
Selain mengajar, Putu juga diberi tugas membimbing dan menguji skripsi. Dia dilantik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan mengisi salah satu dari tiga formasi khusus untuk difabel di Poliwangi pada perekrutan tahun 2018. Pria asal Sidoarjo itu menjadi salah satu dari sedikit dosen difabel yang mengajar di Banyuwangi.
Putu mengalami kecelakaan pada usia 12 tahun. Kepala sebelah kirinya terbentur bak truk saat menyeberang jalan. Akibat peristiwa itu, tempurung kepala kirinya harus diangkat dan fungsi saraf motorik tangan serta kaki kanannya berkurang. Butuh waktu dua tahun untuk kembali pulih melalui proses pengobatan dan terapi. Bahkan, dia harus kembali latihan berjalan, menulis, dan berbicara.
Orangtua Putu mendukungnya melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Tak disangka, dia memiliki minat dan bakat di bidang Bahasa Inggris khususnya gramatikal yang mengantarkannya hingga mengikuti program pascasarjana dan kemudian menjadi dosen.
BACA JUGA: Difabel Desak Pemenuhan Aksesibilitas Pelayanan Publik
"Saya dulu enggak nyangka bakal menjadi dosen begini karena ada kendala banyak. Tapi semenjak menjadi dosen, teknologi akhirnya banyak membantu dengan adanya proyektor, laptop, dan lainnya," kata Putu di kantornya.
Lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mengatakan pihak kampus Poliwangi tidak mempermasalahkan kondisinya yang difabel dengan derajat sedang itu. Namun kampus tetap menuntut dirinya untuk bisa melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dia mengapresiasi pemerintah yang telah menerbitkan kebijakan untuk memberikan kesempatan kerja pada penyandang difabel. Namun menurutnya, upaya itu perlu terus dikembangkan agar lebih banyak penyandang difabel yang bisa mengakses pekerjaan.
"Sudah bagus apa yang diupayakan pemerintah. Tapi jatahnya (formasi CPNS difabel) itu (hendaknya) porsinya disesuaikan lagi dengan kebutuhan, instansi ini, spesifikasi ini apa, tanggung jawab dan kewenangannya disesuaikan saja dengan kemampuan calon pekerja difabel, khan bermacam-macam kondisinya,” ujarnya.
Berasarkan laman daring Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), terdapat setidaknya 585 orang dosen di enam kampus ternama di Banyuwangi. Namun setelah ditelusuri hanya ada dua orang di antaranya yang termasuk difabel. Rasio dari jumlah tersebut ialah 1:282 atau dari 282 orang dosen, hanya ada satu yang difabel.
Padahal Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mempekerjakan difabel minimal 2 persen dari jumlah seluruh pegawai.
Artinya, di kampus negeri harusnya minimal rasio pegawai difabel dan nondifabel adalah 1:50 atau setiap 50 orang pegawai, harus ada satu yang difabel. Sementara perusahaan swasta minimal 1 persen dari jumlah pegawainya harus yang penyandang difabel. Artinya, di perusahaan swasta, dari 100 pegawai harus ada satu orang yang difabel.
Sayangnya, saat ada tiga kuota pegawai difabel di Poliwangi tahun 2018, hanya Putu yang melamar. Sementara dua kuota lainnya tidak terisi penyandang difabel karena tidak ada yang melamar. Distribusi informasi yang tidak tepat sasaran dianggap menjadi salah satu penyebab lowongan kerja masih berjarak dari kelompok difabel.
BACA JUGA: Sebelas Industri Garmen Siap Mempekerjakan Ratusan Penyandang Disabilitas
Abdul Latif Zainullah misalnya. Penyandang difabel fisik yang tinggal di Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi ini mengeluhkan minimnya informasi yang bisa dia akses terkait lowongan pekerjaan. Padahal, ia tengah mencari pekerjaan sebagai dosen setelah lulus Program Studi Magister Teknik Informatika di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Kota Semarang.
"Aku selalu cari informasi lowongan pekerjaan, tapi khan pilih-pilih yang sesuai dengan kondisiku, jadi sangat terbatas. Satu-satunya jalur informasi kesempatan kerja dari HP, orangtua tidak punya kenalan ke pemberi kerja," kata pemuda yang sehari-hari memanfaatkan alat bantu kursi roda itu, Senin, 13 September 2021.
Kuota lowongan dosen khusus difabel juga sangat sedikit dan belum tentu setiap tahun ada. Misalnya Poliwangi membuka tiga kuota pelamar kerja khusus untuk penyandang difabel, tapi kesempatan itu hanya datang pada perekrutan tahun 2018 lalu.
Ditambah lagi beberapa kampus di Banyuwangi memang hanya memiliki sedikit dosen. Misalnya Stikom PGRI Banyuwangi yang hanya memiliki 28 orang dosen termasuk yang tidak tetap. Sehingga tidak bisa diambil 1 persen orang sebagai kuota minimum pegawai difabel di sana. Demikian juga di Institut Agama Islam (IAI) Darussalam yang jumlah dosennya 58 orang.
BACA JUGA: Antara Disabilitas dan Difabel
Ketua Stikom PGRI Banyuwangi Djuniharto mengatakan pihaknya tidak membedakan pelamar kerja yang difabel ataupun nondifabel. Namun pihaknya belum membuka perekrutan karena rasio dosen dengan mahasiswa saat ini justru kelebihan dosen dari kondisi ideal. Bila rasio jumlah dosen dan mahasiswa yang ideal adalah 1:30, saat ini di Stikom PGRI Banyuwangi rasionya adalah 1:27.
"Bukan kita tidak mau menerima, tapi kebutuhannya yang belum ada. Tapi insyaallah tahun depan kita berencana membuka prodi baru, itu artinya butuh dosen. Asalkan lulus tes kita akan terima, enggak peduli apakah dia difabel atau tidak," kata Djuniharto, Jumat, 17 September 2021.
Merekrut Pegawai Difabel
Koordinator Pusat Layanan Konseling dan Difabilitas dari Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember (Unej) Senny Wiyara Dienda Saputri mengatakan inisiatif mendekatkan akses kerja pada penyandang difabel bisa dilakukan berbagai pihak. Kampus dimana berkumpul kelompok-kelompok intelektual yang lebih terbuka pada isu keadilan dan kesetaraan harus menjadi contoh mau menerima pekerja difabel.
Senny mengatakan pemerintah juga bisa menerbitkan kebijakan yang mendorong instansi menerima pekerja difabel yang akan mempercepat proses mendekatkan kelompok difabel pada dunia kerja. Bila tanpa dorongan mandatori pemerintah, upaya mengantarkan penyandang difabel mendapatkan hak bekerjanya, akan tergantung pada inisiatif masing-masing pemerintah daerah atau pimpinan instansi kapan akan dikerjakan.
"Nah ini memang perlu ada dua arah, tapi kalau misalnya dari atas sudah ada mandatori dan ada dukungan juga dari implementasi di bawah, saya kira akan terjadi percepatan seperti yang kita harapkan," kata Senny, Kamis, 16 September 2021.
Menurut Senny, pada dasarnya setiap organisasi memiliki analisis dan deskripsi atas tugas, kewenangan dan cara pelaksanaannya untuk para pegawai atau anggota. Demikian juga pemerintah, badan usaha, maupun lembaga perguruan tinggi. Setelah organisasi, badan, atau lembaga memiliki analisis dan deskripsi pekerjaan, mereka akan mengetahui orang-orang yang sesuai untuk menduduki masing-masing posisi atau jabatan tersebut. Dengan demikian, sebetulnya pemerintah daerah, perusahaan, dan perguruan tinggi bisa terbantu mengetahui posisi mana yang cocok diisi penyandang difabel yang melamar pekerjaan untuk memenuhi amanat UU Nomor 8 Tahun 2016.
BACA JUGA: Pekerjakan Penyandang Disabilitas, Perusahaan PT KOSME Dapat Apresiasi dari Wagub Emil
Dia juga mengatakan tes calon pegawai difabel sebaiknya dilakukan dengan asesmen kemampuan dan kondisi abilitas mereka. Karena meski difabilitas dikelompokkan berdasarkan jenis dan derajat keparahan, kemampuan dan kondisi abilitas masing-masing penyandang difabel sangat bervariasi dan kerap tidak nampak.
Selain itu, tes calon pegawai difabel harusnya dilakukan dengan tes praktik langsung pada tugasnya, alih-alih tes tulis dan jenis tes reguler lainnya. Lantaran tidak semua penyandang difabel bisa mengikuti rangkaian tes pelamar kerja reguler yang membuat perekrutan itu tidak adil atau menguntungkan kelompok tertentu saja.
"Sehingga semua orang akan mendapatkan kesempatan yang sama dan semua orang mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing," ucap Senny.