Antara Disabilitas dan Difabel

Dyah Ayu Pitaloka

Kamis, 6 Desember 2018 - 05:41

antara-disabilitas-dan-difabel

Ilustrasi oleh Ruri Izzah.

DISABILITAS atau difabel? Mengapa ada dua kata yang menggambarkan keterbatasan fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional? Mana yang saya pakai?

Dalam sebuah wawancara, seorang narasumber mengoreksi kata difabel jadi disabilitas. Di lain waktu, narasumber lain menyodorkan kata difabel, differently abled. Tapi ada juga narasumber yang memakai keduanya; baik disabilitas mau pun difabel.

Seorang teman mengajukan dua kata berbeda, able dan adaptive.

Sangat mungkin ada kata lain yang tak saya ketahui. Namun setidaknya empat kata ini dinilai memberdayakan penyandangnya, positif dan setara.

Di mesin pencari Google, kata disabilitas menempati posisi spesifik dan terpopuler. Dalam waktu kurang dari sedetik, hasil pencarian mencapai lebih dari 6 juta. Tanda pagar disabilitas pun nangkring di deretan terpopuler lini massa Twitter hingga 4 Desember 2018.

Sementara kata difabel mencapai 4,3 juta, hasil pencarian kata able dan adaptive jumlahnya jauh sedikit dan tak spesifik.

BACA JUGA: Agar Penyandang Disabilitas Tak Lagi Terdiskriminasi

Sebelum populer kata disabilitas dan difabel, Orde Baru menggunakan kata penyandang cacat melalui Undang-Undang Penyandang Cacat nomor 4 tahun 1997. Undang-undang nomor 8 tahun 2016 menggantikannya dengan kata disabilitas. Ini sebagai konsekuensi ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 2011.

Dalam rumusan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), cacat dirasa negatif dan tak mencerminkan realitas. Sebuah konstruksi sosial yang dilekatkan penguasa.

Dampaknya relasi kuasa timpang. Stigma tak normal dan tak mampu kian kuat, baik pada masyarakat umum mau pun penyandangnya. Konsekuensinya, seolah membenarkan pembatasan akses bagi penyandang pada berbagai sarana publik, pendidikan, dan pekerjaan.

Sampai di sini, benar kiranya pendapat yang ngomong bahasa tidaklah stabil dan tidak netral. Dalam proses interaksi, bahasa berkuasa membentuk pengetahuan tentang realitas.

Bahasa dalam pernyataan dan wacana menjelma menjadi praktik sosial. Ia tak sekadar membentuk realitas tapi sekaligus melegitimasi tindakan yang benar dan salah, serta siapa yang berhak melakukannya.

Kemampuan istimewa inilah yang disebut sebagai kuasa produktif oleh Michel Foucault. Sebuah kuasa yang tidak berbentuk materi dan tak menindas secara fisik, tapi kekuasaan yang didapat melalui pengetahuan.

Dalam pandangan itulah disabilitas dan difabel, jika diperbincangkan dalam wacana tertentu, akan melahirkan konsekuensi berbeda.

BACA JUGA: Setop Diskriminasi Pada Penyandang Disabilitas

Wacana disabilitas muncul dari konvensi hak penyandang disabilitas Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Terdapat pengakuan bahwa disabilitas memiliki keterbatasan fisik, mental, dan intelektual yang menghalangi mereka mendapatkan hak setara.

Realitas itu akan melahirkan tindakan yang dianggap benar serta siapa yang melakukannya. Seperti perlindungan, rehabilitasi, beserta lembaga yang berhak melakukannya. Contohnya rehabilitasi oleh rumah sakit jiwa menjadi benar pada penyandang disabilitas mental.

Saat ini dorongan kebenaran atas wacana disabilitas sangat besar. Ia dilembagakan oleh “aparatur kebenaran” –ala Foucault, yang berkuasa melahirkan pengetahuan atas disabilitas. Ada PBB melalui konvensi hak penyandang disabilitas dan negara melalui undang-undang disabilitas. Tingginya hasil pencarian kata disabilitas di Google serta tagar di Twitter boleh jadi adalah dampak saking kuatnya kuasa itu.

Sementara wacana perlawanan atas binaritas normal dan tak normal diusung oleh difabel. Kata ini dipopulerkan salah satunya oleh Mansour Fakih. Bahwa differently abled berarti bersepakat menerima perbedaan fisik, intelektual, dan mental sebagai kemampuan yang berbeda. Seperti berjalan, membaca, tanpa menggunakan indera penglihatan, namun menggunakan indera peraba dan pendengaran, atau berkomunikasi menggunakan isyarat.

Konsekuensinya ia tak membutuhkan rehabilitasi lantaran perbedaan bukanlah keterbatasan ataupun gangguan. Di masa sekarang kemampuan itu direspon dengan perkembangan teknologi seperti aplikasi audio books, Jaws, atau Jaksl.

Saya menggunakan kata disabilitas mengikuti pilihan narasumber saya. Karena kebenaran bagi saya adalah yang bersumber dari penuturnya sendiri. Namun baik pengguna disabilitas dan difabel tetap bersepakat dalam perbedaan pilihan kata, yaitu memperjuangkan kesetaraan hak dan memberdayakan penyandangnya.

Baca Juga