Rabu, 24 July 2019 05:57 UTC
PENDEKAR. Dua pria dewasa menggelar adu cambuk di atas panggung untuk melestarikan seni dan budaya tiban di Dusun Banyuurip, Desa Sumberingin, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar, Rabu 24 Juli 2019. Foto: Yosibio.
JATIMNET.COM, Blitar – Tradisi adu cambuk di atas panggung bambu atau biasa disebut tiban mulai digelar kembali. Tradisi yang sudah jarang dilakukan ini dilaksanakan kembali oleh pemuda Dusun Banyuurip, Desa Sumberingin, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar.
Namun tiban yang dilakukana ini berbeda dengan permohonan turunnya hujan di musim kemarau. Hal yang dilakukan pemuda Banyuurip ini bertujuan untuk bakti sosial. Yakni mengumpulkan dana untuk diberikan kepada panti asuhan dan panti jompo di Sanan Kulon.
“Idenya muncul dari teman-teman penghobi tiban untuk mengadakan pagelaran seni dan budaya di sini. Adapun sisa anggaran dari tiket parkir kendaraan akan dialokasikan untuk santunan yatim piatu dan jompo,” kata ketua panitia kegiatan Mustofa kepada wartawan, Rabu 24 Juli 2019.
Para pemuda memanfaatkan lahan kosong warga untuk mendirikan panggung setinggi dua meter atau disebut pelanggang dalam budaya tiban. Dalam permainan ini ada dua orang yang bertindak sebagai wasit, dan empat penjaga di sekitar pelanggang.
BACA JUGA: Purnama Seruling Penataran Blitar untuk Sebarkan Persaudaraan dan Perdamaian
Peserta tiban dua orang dewasa bertelanjang dada dan secara bergantian mengayunkan cambuk ke badan masing-masing sebanyak tiga kali. Dalam adu cambuk itu kekuatan masing-masing pihak harus seimbang.
Tak hanya itu, dalam tarung cambuk itu ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Setiap menyabetkan cambuk, tidak boleh menyasar alat vital atau wajah. “Itulah mengapa setiap peserta tiban menggunakan helm demi keselamatan.” lanjut Mustofa.
Tradisi tiban biasanya diiringi irama gamelan yang terdiri dari kenong, gendang, dan gong. Gamelan sederhana itu diharapkan bisa memberi semangat kepada petarung di atas panggung. Semakin kencang memukul, permainan semakin sengit dalam mencambuk serta menangkis serangan.

ADU TANGKAS. Seni dan budaya tiban diharapkan rutin dilaksanakan untuk melestarikan warisan nenek moyang. Foto: Yosibio.
Cambuk dibuat dari lidi aren yang diikat sedemikian rupa dan disediakan panitia. Hal itu untuk menghindari kecurangan peserta yang menyelipkan benda tajam di ujungnya. Dalam pelaksanaannya, ritual tiban sangat menarik masyarakat.
Tidak hanya para pemuda, orang tua dan anak-anak banyak yang tertarik mengikuti ritual tersebut. Setelah terjadi kesepakatan di atas panggung dua peserta langsung bertanding.
“Peserta tidak boleh memiliki dendam. Semua dilaksanakan untuk melestarikan kesenian yang mulai ditinggalkan. Memang saat ini sudah mulai punah karena jarang sekali mendapatkan izin keamanan dari aparat,” katanya.
BACA JUGA: Kontes Kecantikan Kambing di Blitar Tingkatkan Kualitas Ternak
Karena budaya yang cukup berisiko itu, usia peserta harus di atas 17 tahun dan dalam kondisi sehat. Selain itu, cambuk yang digunakan tidak boleh menggunakan bambu, melainkan diganti dengan lidi aren yang dilapisi rafia.
“Kalau pakai bambu, risikonya mengenai badan bisa lebih parah, karena tajam, dan harus diganti mengguakan lidi aren,” Mustofa menjelaskan.
Pagelaran seni dan budaya tiban di Dusun Banyuurip sudah dimulai sejak Minggu 21 Juli 2019, dan rencananya akan berlangsung hingga 4 Agustus. Peserta dalam kegiatan itu datang dari penghobi atau pendekar tiban di Blitar, Tulungagung, dan Kediri.
Wilayah Mataraman ini dianggap memiliki budaya tiban dari nenek moyang, dan biasanya digelar sebagai tradisi mendatangkan hujan. Namun, akhir-akhir ini budaya tersebut jarang digelar, dengan alasan keselamatan peserta. “Tulungagung sudah tidak mendapat izin,” pungkasnya.