Logo

Selesaikan Masalah Surat Ijo, Aturan Hukum Tetap Diikuti

Reporter:,Editor:

Senin, 26 October 2020 13:40 UTC

Selesaikan Masalah Surat Ijo, Aturan Hukum Tetap Diikuti

Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya, Maria Theresia Ekawati Rahayu (dua dari kanan)

JATIMNET.COM, Surabaya - Penyelesaian permasalahan Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau biasa disebut “Surat Ijo” terus diupayakan. Tentunya sesuai aturan yang berlaku tetap dipatuhi, agar tidak menjadi permasalahan hukum dikemudian hari. Sebab, jika dilanggar dapat berdampak pada hukum pidana.

Landasan hukum tersebut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang diganti dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 28 Tahun 2020.

Kedua, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang diganti dengan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016. Ketiga, ialah Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 1997 tentang IPT yang diganti dengan Perda Surabaya Nomor 3 Tahun 2016.

Keempat, adalah Perda Surabaya Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Surabaya Nomor 2 tahun 2013. Dan, terakhir adalah Perda Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya.

BACA JUGA: Pemkot Surabaya Gamang Lepas Tanah Berstatus Surat Ijo

Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya, Maria Theresia Ekawati Rahayu menyampaikan, prinsipnya pemkot berupaya untuk menyelesaikan permasalahan atas tuntutan masyarakat selaku pemegang IPT (Surat Ijo). Namun, upaya penyelesaian yang dilakukan pemkot ini tidak bisa keluar dari peraturan hukum yang berlaku.

“Terhadap permasalahan izin pemakaian tanah (IPT), Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya-upaya dalam rangka penyelesaiannya, baik upaya melalui pengadilan maupun di luar pengadilan,” kaya wanita yang akrab disapa Yayuk itu sapaan, Senin 26 Oktober 2020.

Dalam penyelesaian tersebut adalah seperti melalui litigasi maupun non litigasi. Upaya litigasi itu dilakukan salah satunya ketika masyarakat mengajukan gugatan ke pemkot dengan objek sertifikat HPL Nomor 1-6 atas nama Pemerintah Kota Surabaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tahun 2008 dan inkrah di tahun 2012.

Hasilnya, gugatan masyarakat itu dinyatakan tidak dapat diterima. Kemudian, gugatan kembali diajukan masyarakat ke PTUN tahun 2012 dan inkrah di tahun 2017. Dengan hasil dinyatakan bahwa sertifikat pemkot sah.

BACA JUGA: Melalui Pogram Tri Juang, Kanwil BPN Jatim Akan Tertibkan Adminstrasi Pertanahan

Tak hanya itu, masyarakat juga melakukan Class Action di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada tahun 2007 dan 2008, dengan hasil pemkot dinyatakan menang. Bahkan, masyarakat juga mengajukan permohonan Yudicial Review terhadap Perda Surabaya Nomor 1 Tahun 1997 tentang Izin Pemakaian Tanah, Perda Surabaya Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah Daerah Kotamadya II Surabaya.

Serta mengenai Perda Surabaya Nomor 2 Tahun 2013 atas perubahan Perda Kota Surabaya Nomor 13 tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah serta Perda Kota Surabaya Nomor 14 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Hasil permohonan pengajuan Yudicial Review itu pun juga ditolak.

“Sehingga perda-perda yang mengatur tentang IPT itu dinyatakan sah menurut hukum. Karena aturan-aturan itu dinyatakan sah, maka konsekuensinya Pemkot Surabaya harus tetap melaksanakan sebelum Perda itu diubah atau dibatalkan oleh instansi pejabat yang berwenang,” ia mengungkapkan.

Sementara itu, upaya non litigasi yang telah dilakukan pemkot, yakni pada tanggal 13 Oktober 2013 Pemkot Surabaya membuat Perda Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset yang mengakomodasi aspirasi warga pemegang IPT untuk mengubah status tanahnya menjadi kepemilikan pribadi (pelepasan). 

BACA JUGA: Ditolak Urus Sertifikat, Tujuh Ahli Waris Gugat Kepala Kantor Pertanahan Surabaya

Kemudian, mereview Perda Surabaya Nomor 1 Tahun 1997 menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2016 tentang IPT pada tanggal 23 September 2015 diajukan ke DPRD. Dalam Perda Nomor 16 Tahun 2014, kata Yayuk, masyarakat pemegang IPT boleh mengajukan permohonan pelepasan. 

Dengan syarat, dia adalah warga Surabaya, sudah menguasai tanahnya 20 tahun berturut termasuk tanah waris. Kemudian, IPT itu digunakan untuk tanah tinggal, dan luasannya tidak boleh lebih dari 250 meter persegi.

“Tapi memang tidak bisa pelepasannya itu cuma-cuma. Kenapa demikian? Karena pemkot ini harus tunduk terhadap aturan yang lebih tinggi yakni PP dan Permendagri,” ia menjelaskan.

BACA JUGA: Golkar Jatim Siap Dampingi Pengurusan Sertifikasi Tanah Wakaf

Sedangkan PP Nomor 6 Tahun 2006 yang telah diganti menjadi PP Nomor 27 Tahun 2014, disebutkan bahwa pemindahtanganan aset itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penjualan dan tukar menukar. Namun, jika pelepasan aset itu melalui penjualan, maka harus ada ganti rugi ke pemerintah daerah dan tidak bisa cuma-cuma.

Di samping itu, dalam Perda Nomor 1 Tahun 1997 sebelumnya, jika tanah diperlukan untuk Pemerintah Kota, maka pemegang IPT tidak diberikan ganti rugi dan mereka diwajibkan membongkar sendiri bangunannya.

“Sementara di Perda Nomor 3 Tahun 2016, kalau lokasi itu diperlukan untuk kepentingan pemerintah kota, maka diberikan ganti rugi terhadap bangunannya, karena tanahnya aset pemkot. Jadi itu upaya yang dilakukan Pemkot Surabaya,” ia menerangkan.