Logo

Pengamen Angklung Surabaya, Seniman Musik Tradisional yang Butuh Pengakuan

Reporter:,Editor:

Jumat, 08 November 2019 23:28 UTC

Pengamen Angklung Surabaya, Seniman Musik Tradisional yang Butuh Pengakuan

BUTUH PENGAKUAN. Para seniman musik tradisional yang mengamen dengan alat musik angklung membutuhkan pengakuan pemerintah setempat agar mereka bisa mencari rezeki sembari melestarikan budaya tradisional. Foto: Bayu Pratama

RENDI (26), bersiap memukul drum mini setelah aba-aba berupa tiga ketukan yang dilakukan Putra (32). Selang beberapa saat, irama khas musik angklung pun dimulai. Terdengar lantunan lagu “Harusnya Aku” yang dipopulerkan grup band Armada.

Musik khas angklung kemudian mengalun indah nan rancak, menemani pengguna jalan yang sedang berhenti di persimpangan lampu lalu lintas di Jalan Siwalankerto, Surabaya. Menghibur mereka di tengah terik matahari.

Selagi angklung dimainkan, tiga orang personel lainnya berkeliling ke pengguna jalan yang sedang berhenti karena lampu lalu lintas sedang menyala merah. Sambil membawa plastik bekas bungkus permen, mereka mendatangi satu per satu pengguna jalan dengan menyodorkan plastik tersebut, berharap uluran tangan seikhlasnya.

Beberapa warga pun memberikan sejumlah uang. Ada juga yang bersenandung lirih mengikuti lirik lagu yang sedang dimainkan para pengamen angklung ini.

BACA JUGA: Pemkot Surabaya Janji Maksimalkan Jadwal Pengamen

“Setiap lagu yang sedang ngetren kami mainkan, Harusnya Aku, Didi Kempot, lagu ambyar, dimainkan untuk mereka (pengendara),” kata Rendi, pengamen Komunitas Angklung Mantul, Selasa siang 5 November 2019.

Rendi menceritakan, ia bersama sembilan temannya menjadi pengamen angklung sejak enam bulan lalu di simpang tiga Siwalankerto.

Suka dan duka selama mengamen jadi santapan sehari-hari. Kadang juga berujung pahit kala angklung mereka diangkut petugas Satpol PP Kota Surabaya.

Kondisi tersebut membuat beberapa komunitas pengamen angklung ada yang berhenti mengamen di trotoar jalan. Terutama di pusat kota.

“Kalau bertemu (Satpol PP) dimarahi. Kena razia, alatnya diangkat lalu ditahan satu bulan, kata teman–teman yang pernah tertangkap sidak. Dendanya sampai seratus ribu rupiah,” tambah Rendi.

BACA JUGA: Orkestra Angklung Indonesia Pukau Muscat Festival

Meski komunitas angklungnya telah terdaftar dan sudah mendapat surat dengan stempel dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Peraturan Daerah Kota Surabaya melarang mengamen di lampu merah. Ini yang masih menjadi momok bagi mereka.

Namun, desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat mereka tetap menempuh jalan ini. Rata–rata kelompok angklung ini bisa mendapat uang Rp 700 ribu per hari.

Hasil itu belum dipotong Rp 200 ribu untuk mengangsur angklung yang dibeli dari uang hasil utang kepada rentenir. Dengan hasil itu, ia membaginya sehingga masing-masing orang mendapatkan sekitar Rp 50-70 ribu.

“Waktu beli alat (angklung) anak–anak utang sepuluh juta dari rentenir. Setiap satu juta harus dikembalikan Rp 1,5 juta. Jadi kalau dihitung total Rp 15 juta kami harus mengembalikan utang,” ujar Rendi.

BACA JUGA: Armuji Usul Pemkot Revisi Perda Larangan Pengamen Jalanan

Menurutnya, angklung memang cukup mahal. Alat musik dari bambu itu dibelinya di Bandung yang baru datang setelah menunggu satu bulan. Harganya berkisar antara Rp 1,5-3 juta untuk angklungnya saja.

Angklung merupakan salah satu alat musik yang unik dan merupakan kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan. Tidak hanya Angklung, komunitasnya juga memainkan alat musik lainnya, seperti tripok, cello, drum kecil, gambang dan lainnya.

“Angklung itu unik, jarang orang yang bisa,” tambahnya.

MENGAMEN. Komunitas Angklung Mantul tetap mengamen di persimpangan jalan untuk mendapatkan uang. Foto: Bayu Pratama

Ditawari Ngamen di Taman Kota

Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya memberikan para pengamen angklung ini jadwal sebulan sekali untuk mengamen di taman-taman kota, asal mereka berhenti mengamen di persimpangan lampu lalu lintas.

Namun tawaran itu mereka tolak karena penghasilannya terlalu sedikit karena hanya diberi waktu sebulan sekali.  

“Anak-anak gak kuat kalau sehari sebulan. Sedangkan kami butuh makan. Sekarang cari kerja susah, saingan banyak, lapangan kerja kurang, daripada menjadi kriminal cari yang positif saja, mending buat komunitas angklung, salah kami apa, kenapa anak ngamen dianggap kriminal dan dimasukkan ke liponsos,” kata Rendi bersemangat.

BACA JUGA: Aturan Mengamen di Taman Mulai Disoal

Senada dengan Rendi, Putra (32) pemain angklung lainnya ini berharap Pemkot Surabaya mencontoh Yogyakarta. Di sana, kata Putra, pengamen angklung justru difasilitasi oleh pemerintah daerah. Ia berharap hal serupa juga terjadi di Kota Surabaya.

“Pernah ditawari main angklung di yYogyakarta, tapi saya tetap memilih Surabaya karena saya berasal dari sini dan ingin memperkenalkan budaya ke seluruh masyarakat Surabaya,” ungkap Putra kepada Jatimnet.com, di sela aktivitas mengamennya.

Rendi manambahkan, kualitas permainan angklung Surabaya lebih bagus dari segi musikalitas. “Angklungan Yogyakarta tangan satu. Di sini tangan dua, lebih susah tapi suaranya lebih bagus,” jelas Rendi melanjutkan.

Menurutnya, tawaran datang tidak hanya dari Pemerintah Kota Surabaya. Justru yang terbanyak dan lebih menjanjikan datang dari pengguna jalan.

“Pernah dapat tawaran main, justru dari ngamen di lampu merah. Ada yang minta buat ulang tahun, sunatan, 17 Agustus kemarin yang paling banyak, pengemudi jalan tiba-tiba minggir minta nomor telepon,” ungkap Putra.

BACA JUGA: Curhat Bocah Pengamen kepada Risma

Tawaran bermain Angklung juga datang dari pegawai kecamatan, salah satu yang diingatnya adalah pegawai Kecamatan Wonocolo yang meminta mereka bermain di balai kecamatan.

Semangat bermain angklung Komunitas Angklung Mantul hadir di tengah apresiasi warga Kota Surabaya. “Kemarin anak SMA dengan gurunya datang, tanya angklung kok dilarang,” ujarnya.

Apresiasi dari berbagai kalanganlah yang membawa mereka terus bermain angklung. Tidak hanya di jalan, di berbagai kesempatan Komunitas Angklung Mantul juga bisa eksis, termasuk saat Car Free Day dan di Taman Bungkul.

Saat bermain, mereka mendapat banyak permintaan lagu dari warga yang melipir mendekat. Mulai dari aransemen lagu galau untuk mereka yang sedang patah hati, hingga lagu luar negeri.

“Semoga bisa dapat diterima dan kami juga dapat bermain untuk menghibur masyarakat,” tutup Putra.