Ahmad Suudi

Reporter

Ahmad Suudi

Kamis, 14 Februari 2019 - 09:01

JATIMNET.COM, Jember – Suara azan duhur sahut menyahut di Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember. Sejumlah petani dan pelajar madrasah melintasi jalan beraspal menuju rumah.

Suasana desa begitu lengang. Sepertinya warga sedikit melupakan penahanan investor dan pegawai Dinas ESDM Jawa Timur, 5 Desember 2018.

Jatimnet.com berkesempatan menemui Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Silo (Formasi) Hasan Basri di Pasar Sempolan, Desa Sempolan, Kecamatan Silo. Untuk menemuinya mendapat rekomendasi dari Kepala Dusun Curah Wungkal Desa Sempolan, Nafiul.

“Pertanian itu satu-satunya penyangga ekonomi masyarakat Silo. Dengan itu masyarakat sudah makmur, aman, dari perkebunan,” kata Hasan membuka obrolan, Senin 11 Februari 2019.

Hasan Basri menambahkan sekitar 4.023 hektare lahan yang terdiri atas 3.000 hektar di Pace yang nyaris menjadi tambang Blok Silo. Sementara 90 persen warga Pace dengan jumpal 21.800 jiwa mayoritas bercocok tanam di perbukitan Silo.

“Masyarakat mulai menggarap perkebunan dan hutan tahun 2000 dengan menanam kopi. Baru tahun 2015 mulai memanen dan menikmati hasil perkebunan, dan menjadikannya sebagai sumber nafkah sampai sekarang,” ujarnya.

Hasil perkebunan paling banyak adalah kopi dan alpukat, serta beberapa produk agrobis lainnya.

Bowo misalnya. Warga Pace itu mampu menghasilkan dua ton kopi robusta green bean petik merah dan 24 ton alpukat setiap tahun. Hasil itu belum termasuk tanaman tumpang sari lainnya.

BACA JUGA: Warga Silo Lebih Sayang Kebun Daripada Tambang

Data dari Kantor Desa Pace perkebunan setempat menghasilkan 60.000 ton kopi, kemudian getah karet, sengon dan berbagai buah setiap tahun.  

Hasan Basri mengakui desanya mulai diincar investor sejak tahun 1999. Kemudian tahun 2008, 2010 dan terakhir 2018.

“Tidak ada jaminan ekonomi akan membaik. Prostitusi, perjudian, miras, dan masalah sosial lain akan selalu ada, itu yang ada di benak kiai. Sementara masyarakat berpikir kalau desa menjadi tambang, tidak akan pernah ada kopi,” ujar Hasan lagi.

Sejauh ini memang belum ada kabar titik mana yang akan ditambang. Terlepas dari itu, dampak lingkungan hasil penambangan perlu dipikirkan dengan cermat.

Sementara saat ini masyarakat mulai sadar dengan reboisasi. Salah satunya adalah penanam ulang kebun karet yang baru bisa dipanen 25 tahun sekali.

Ada pesan moral dan adat yang hingga kini dijaga warga Pace. Di kawasan Curah Emas (area perkebunan) konon terdapat mahkota dan sandal emas yang harus dijaga.

“Kalau emas itu diambil arwah nenek moyang akan meninggalkan desa. Itu yang mendorong tekad masyarakat untuk menolak tambang,” pungkas Hasan.

BACA JUGA: Pemkab Jember Tegas Menolak Tambang Emas

Desa Pace berjarak sekitar 12 kilometer ke arah selatan dari jalan provinsi di Desa  Sempolan yang menjadi jalur utama Jember-Banyuwangi. Kondisi aspal cukup bagus, meski melintasi areal perkebunan karet dan tebu.

Dari bawah melihat bukit maupun dari atas bukit melihat ke lembah sama indahnya. Bukan seperti daerah perkebunan pelosok, Desa Pace lebih mirip tempat wisata gratis yang menawarkan keindahan hijaunya panorama.

Tetapi di balik tenangnya Pace, bisik-bisik penolakan tambang cukup kuat. Mulai dari grup WhatsApp, pasar, warung, dapur, musala dan sekolah membahas risiko kerusakan alam apabila tambang dipaksakan.

Baca Juga

loading...