Minggu, 31 January 2021 03:00 UTC
PUAS: Dokter Lydia (kanan) saat didampingi kuasa hukumnya, George Handiwiyanto mengaku puas mengenai vonis yang dijatuhkan hakim terhadap mantan Direktur Rumah Sakit Mata Undaan dokter Sudjarno, terkait kasus pencemaran nama baik.
JATIMNET.COM, Surabaya - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis hukuman tiga bulan percobaan terhadap dokter Sudjarno, terdakwa pencemaran nama baik di Rumah Sakit Mata Undaan. Meski begitu, mantan Direktur RS Mata Undaan ini belum tuntas, karena ia mengajukan banding.
Vonis tersebut, dokter Lidya Nuradianti selaku pelapor yang didampingi kuasa hukumnya George Handiwiyanto mengaku tidak keberatan. Walaupun hukumannya percobaan. Karena hal itu sudah membuktikan kalau dirinya tidak bersalah dalam kasus itu.
"Saya hanya ingin membersihkan nama saya atas fitnah dan pencemaran nama baik. Dengan vonis itu membuktikan saya tidak bersalah," kata Lidya, Sabtu 30 Januari 2021.
Diketahui sebelumnya, Sudjarno awalnya memberikan surat teguran kepada dokter Lidya selaku anak buahnya di rumah sakit tersebut. Lidya dianggapnya telah melanggar prosedur kerja dan etika profesi.
Baca Juga: Sidang Kasus Pencemaran Nama Baik, Ini Pengakuan Dokter Mantan Direktur Rumah Sakit Mata Undaan
Masalahnya, seorang pasien Lidya mata kirinya dioperasi oleh perawatnya. Perawat dalam aturannya tidak berkewenangan mengoperasi dan yang seharusnya mengoperasi mata pasien adalah dokter Lidya.
“Operasi itu tanpa sepengetahuan saya. Saat itu saya sedang melakukan operasi di ruangan lain yang steril sedangkan operasi yang dilakukan perawat itu di ruangan non steril. Saat itu juga ada enam atau tujuh pasien yang harus saya tangani secara beruntun. Jadi saya tidak tahu,” ungkapnya.
Dia mengatakan sebenarnya kasus ini sudah dilakukan mediasi. Perawat yang bernama Anggi yang saat itu mengoperasi pasien juga sudah membuat pernyataan. Isinya jika ia memang melakukan operasi atas inisiatif sendiri.
Lidya mengira setelah adanya surat pernyataan itu, kasus ini selesai. “Jadi saya tegaskan itu bukan perintah saya. Saat itu saya juga tidak tahu jika ia (Anggi) melakukan operasi,” terangnya.
Baca Juga: Bupati Lumajang Dipanggil Penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim
Selain itu, sebenarnya Anggi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan operasi itu. Sebab dia tak memiliki kapasitas untuk itu. Namun pihak manajemen rumah sakit justru memberikannya surat teguran kepada Lidya.
“Surat teguran itu diberikan dua bulan setelah kejadian itu. Padahal pasien juga sudah dilayani dengan baik dan sepakat tak memperpanjang atau menuntut kasus itu. Jadi kalau ada keterangan pasien protes itu tidak benar. Ada bukti tanda tangan pasien kok,” terangnya.
Sehingga dalam hal ini, Lidya merasa di-dzolimi. Polemik ini sempat diproses Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya. Setelah diproses, terdakwa Sudjarno diminta untuk mencabut surat teguran itu, namun dia tak bergeming.
“Kemudian hingga tujuh bulan tak ada tindak lanjut saya melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya. Setelah dua bulan diproses penyidik, IDI lantas mengeluarkan surat jika saya tidak bersalah,” katanya.
Baca Juga: Sembilan Pegawai PN Surabaya Reaktif, Satu Hakim Positif Covid-19
Menurut Lidya seharusnya, surat teguran itu diberikan jika ada pasien yang komplain saat itu. Namun pasien baru menuntut setelah tujuh bulan kejadian itu. Lalu, terkait pasien itu protes ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi Rp 450 juta, Lidya tidak tahu.
“Kalau ada perjanjian antara dia (Sudjarno) dan pasien juga saya tidak tahu. Apa ada kong kalikong saya juga tidak tahu. Justru saya tahu ada kesepakatan itu di persidangan,” pungkasnya.
Sebagimana diberitakan, Sudjarno awalnya memberikan surat teguran kepada dokter Lidya selaku anak buahnya di rumah sakit tersebut. Lidya dianggapnya telah melanggar prosedur kerja dan etika profesi.
Masalahnya, seorang pasien Lidya mata kirinya dioperasi oleh perawatnya. Perawat dalam aturannya tidak berkewenangan mengoperasi dan yang seharusnya mengoperasi mata pasien adalah dokter Lidya.
Pasien itu protes ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi karena perbuatan yang dianggap sebagai malpraktik tersebut. Sudjarno dan pihak pengelola rumah sakit sudah membayar ganti rugi Rp 450 juta kepada pasien tersebut. Terdakwa kemudian mengirim surat teguran kepada Lidya dan perawatnya.
Lidya keberatan.
Pertama, operasi itu dilakukan perawat tanpa sepengetahuannya. Kedua, Sudjarno sebagai direktur tidak berwenang menegurnya karena tuduhan melanggar kode etik. Kasus ini berlanjut. Sudjarno dan manajemen rapat dengan pihak yayasan.
Saat itu, Sudjarno menunjukkan surat teguran itu kepada pengurusan yayasan. Semestinya surat itu hanya ditujukan kepada Lidya. Perbuatan terdakwa dianggap sebagai penghinaan yang menyerang kehormatan Lidya karena tidak mempunyai kewenangan menilai dokter melanggar etik atau tidak. S
etelah itu, dokter Lidya menjadi bahan pergunjingan di rumah sakit. Dia sempat mendengar seorang dokter menggunjingnya di kantin dengan menyatakan Lidya sudah ditegur karena melanggar kode etik. Kasus itu kemudian menjadi rahasia umum.