Logo

Malam Selikuran di Masjid Sunan Ampel Surabaya

Reporter:

Minggu, 26 May 2019 09:24 UTC

Malam <em>Selikuran</em> di Masjid Sunan Ampel Surabaya

IKTIKAF. Para peziarah sedang iktikaf di Masjid Sunan Ampel Surabaya pada malam ke-21 Ramadan 1440 Hijriah. Foto: Hari Istiawan

JATIMNET.COM, Surabaya – Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, terutama pada bilangan ganjil dikenal dengan malam likuran. Pada malam-malam tersebut dipercaya sebagai waktu turunnya malam lailatul qadar atau malam seribu bulan yang hanya ada di bulan Ramadan.

Disebut malam likuran karena dalam bahasa Jawa, penyebutan bilangan tanggal ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dibaca dengan  selikur (21), telulikur (23), selawe (25), pitulikur (27), dan songolikur (29).

Keutamaan dan keistimewaan ketika malam lailatul qadar membuat umat Islam tak ingin menyia-nyiakannya terlewat begitu saja. Masyarakat Muslim biasanya melakukan iktikaf di masjid, ziarah ke makam ulama atau apra wali Allah, berdzikir, dan membaca Alquran.

BACA JUGA: 40 Tahun Takjil Khas Banjar di Kawasan Ampel Surabaya

Biasanya, ada tempat-tempat yang istimewa yang menjadi tujuan “berburu” malam seribu bulan. Di antaranya berziarah ke makam Sunan Ampel dan iktikaf di Masjid Sunan Ampel.

Di malam selikur, atau malam ganjil pertama Ramadan 1440 Hijriah, Minggu 26 Mei 2019 dini hari, Jatimnet.com menyempatkan berziarah dan maleman di masjid yang didirikan oleh salah satu tokoh Wali Songo, Sunan Ampel.

Tiba di Jalan Nyamplungan pukul 01.00 WIB, belasan bus dan mobil memenuhi jalanan. Tempat parkir khusus bus bagi peziarah di Jalan Pegirian sudah tidak muat dan meluber hingga ke Jalan Pegirian.

BACA JUGA: Pudarnya Tradisi Lek lekan 

Memasuki jalan menuju masjid, gang yang lebarnya sekitar 2,5 meter dipenuhi peziarah. Bahkan sempat macet sekira 15 menit. Peziarah yang ingin menuju masjid tidak bisa jalan karena rombongan peziarah yang keluar berjubel dan tidak berjajar. Akibatnya, ruang untuk berjalan bagi peziarah yang ingin masuk ke masjid tidak ada.

Setelah kemacetan terurai, para peziarah hanya bisa berjalan pelan ke lokasi. Agar tak bosan, beragam dagangan yang dipajang di kanan-kiri jalan bisa menjadi pengalih perhatian sementara.

KHUSYUK. Seorang warga tampak khusyuk berdzikir di Masjid Sunan Ampel Surabaya. Foto: Hari Istiawan

Sesampai di lokasi, para peziarah tampak silih berganti keluar masuk area makam. Lantunan kalimat tahlil, ayat-ayat Alquran saling bersahutan. Doa-doa para peziarah juga melengkapi suara-suara yang terdengar dari komplek makam, yang kalau didengar dari kejauhan seperti suara lebah.

BACA JUGA: Sepenggal Sejarah Kawasan Ampel Surabaya

Pemandangan di masjid juga hampir sama, para peziarah mencari tempat yang nyaman untuk beriktikaf. Ada yang membaca Alquran, berdzikir, salat, baik perorangan maupun bersama rombongan masing-masing. Tak sedikit juga yang tidur atau istirahat di emperan masjid, bersandar di dinding maupun tiang masjid.

Mebeludaknya peziarah ketika malam likuran di makam Sunan Ampel memang selalu terjadi setiap tahun di bulan Ramadan. Mereka berharap bisa menjemput malam lailatul qadar di tempat kekasih Allah dimakamkan. (bersambung