Sabtu, 18 October 2025 08:09 UTC
Menteri Agama Nasaruddin Umar. Foto: Kemenag
JATIMNET.COM, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kekerasan seksual di pesantren terlalu dibesar-besarkan oleh media massa. Pernyataan yang disampaikan pada 14 Oktober 2024 itu dinilai melukai korban dan keluarga korban kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Menurut anggota Kompaks, Siti Aminah Tardi, pernyataan Nasarudin tersebut tidak hanya mengecilkan fakta kekerasan seksual, tetapi juga berpotensi menghapus akuntabilitas pelaku dengan alasan menjaga nama baik lembaga pendidikan agama.
“Pernyataan itu bisa memunculkan ruang impunitas (kekebalan), seolah kasus kekerasan seksual bukan masalah serius yang harus ditangani,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 18 Oktober 2025.
BACA: Santri jadi Korban Pelecehan Seksual Sejenis, Jasijo Buka Suara
Siti menegaskan kekerasan seksual di pesantren bukanlah isu yang dibuat-buat media, melainkan persoalan nyata yang telah lama dihadapi oleh banyak santri, khususnya perempuan dan anak-anak. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan selama 21 tahun terakhir, kekerasan seksual di ranah publik justru menempati posisi tertinggi di Indonesia.
“Lembaga pendidikan menjadi salah satu tempat paling banyak terjadinya kekerasan seksual, selain lembaga bisnis dan relasi personal,” kata Siti yang juga Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center ini.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual sering kali memiliki posisi kuasa atau otoritas, termasuk tokoh agama. Pada tahun 2022 tercatat 9 kasus dengan pelaku berlatar tokoh agama, sedangkan pada 2023 jumlahnya meningkat menjadi 13 kasus. Namun, angka tersebut diyakini hanya puncak dari gunung es karena banyak korban memilih diam akibat stigma sosial dan tekanan lingkungan.
BACA: WCC Jombang Siap Dampingi Korban Dugaan Kekerasan Seksual oleh Oknum Perangkat Desa Ngogri
“Korban sering kali tidak berani melapor karena takut dicap mencemarkan nama baik pesantren atau tokoh agama. Padahal, mereka butuh perlindungan dan keadilan,” tutur Siti.
Ia menambahkan sebagian besar korban kekerasan seksual di pesantren merupakan anak-anak dan perempuan yang tinggal di pondok atau asrama, jauh dari keluarga, sehingga memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Dalam banyak kasus, pelaku justru adalah ustaz atau kiai yang memiliki otoritas keagamaan dan menjadi panutan bagi para santri.
“Relasi kuasa yang timpang membuat korban tidak punya ruang aman untuk berbicara. Karena itu, kekerasan seksual di pesantren adalah bencana kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran moral. Dampaknya panjang, baik secara psikologis maupun sosial,” kata mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 2020–2025 ini.
Kompaks menyerukan agar pernyataan Menag tidak dijadikan pembenaran untuk menutupi kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Sebaliknya, negara harus hadir memastikan pesantren menjadi tempat yang aman dan berkeadilan bagi seluruh santri.