Logo

Kisah Pakar Pangan Unej Tertahan Tiga Bulan di Afrika karena Lockdown Covid-19

Reporter:,Editor:

Jumat, 08 May 2020 07:30 UTC

Kisah Pakar Pangan Unej Tertahan Tiga Bulan di Afrika karena <em>Lockdown</em> Covid-19

TERTAHAN. Pakar teknologi pangan Unej, Ahmad Subagio, tertahan di Nigeria selama tiga bulan karena lockdown Covid-19. Tampak foto Subagio saat dikawal polisi Nigeria yang berjaga di area perusahaan tempat Subagio menginap. Foto: Dok. Pribadi Subagio

JATIMNET.COM, Jember – Pandemik Covid-19 yang melanda seluruh dunia saat ini membawa dampak yang tak terbayangkan. Seperti yang dialami pakar teknologi pangan dari Universitas Jember (Unej) Achmad Subagio.

Sudah hampir tiga bulan lamanya, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Unej ini tertahan di Nigeria, Afrika. Bagio -sapaan akrabnya- hingga kini harus bertahan di kota Benin, kota yang terletak kurang lebih 200 mil di timur Kota Lagos, bekas ibu kota Nigeria sebelum pindah ke ibu kota baru, Abuja.

Kepergian Bagio ke negara di Afrika bagian Barat itu dilakukan sejak 15 Maret 2020. "Saya diundang untuk memberikan konsultasi terkait teknologi pangan sesuai bidang keilmuan saya," ujar Bagio saat berdialog sebelum acara webinar bertema Kronik Pandemi Covid-19 di Berbagai Benua yang digelar atas kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) bersama keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje), Selasa malam, 5 Mei 2020.

Namun tak disangka, akibat pandemi Covid-19, berbagai negara menerapkan kebijakan lockdown atau isolasi total dengan menutup akses keluar masuk. Nigeria menerapkan lockdown di kota-kota besar sejak 21 Maret 2020. Penerbangan internasional pun terhenti sehingga ia akhirnya tertahan di Nigeria.

BACA JUGA: Universitas Jember Siapkan Konsep KKN Tematik Pemberdayaan Masyarakat Terdampak Covid-19

“Perusahaan yang mengundang sebenarnya sudah berupaya melakukan pemulangan saya ke Indonesia. Tapi tak ada maskapai penerbangan yang melayani penerbangan dari Nigeria ke negara lain hingga kini," ujar Bagio.

Sempat muncul ide patungan menyewa pesawat secara bersama-sama agar para ekspatriat di Nigeria bisa pulang ke negaranya masing-masing. Namun upaya itu tidak bisa terlaksana karena mahalnya harga tiket sehingga tidak semua ekspatriat bisa membelinya. "Kalau dihitung satu orang dikenai harga Rp80 juta. Tiket ini jadi mahal karena satu pesawat hanya boleh diisi separuh dari kapasitas kursi yang ada. Semoga ada kepastian kepulangan agar bisa berlebaran di tanah air,” ujar Bagio.

Bagio mengaku sudah memendam rindu kepada keluarganya di Jember. Terlebih dalam suasana Ramadan seperti saat ini. "Apalagi kondisi di Benin yang kurang kondusif," tutur Bagio.

Benin adalah kota penghasil produk pertanian di Nigeria dengan hamparan kebun dan lahan pertanian yang luas. Kondisi ini menarik suku nomaden penggembala ternak khususnya sapi untuk menggembalakan ternaknya di wilayah Benin. Suku ini adalah suku Fulani. Mereka tak mengenal batas wilayah negara dalam menggembalakan ternaknya. Karena itu sering terjadi bentrok dengan warga lokal karena ternaknya masuk ke kebun atau lahan pertanian, bahkan bentrokan sampai mengakibatkan korban jiwa.

BACA JUGA: Pandemi Covid, Mahasiswa Ini Lulus dan Sidang Skripsi Online

"Sekitar dua minggu yang lalu ada sapi yang dibunuh oleh penduduk lokal gara-gara masuk ke lahan pertaniannya. Suku Fulani pun tak terima, maka bentrok terjadi. Polisi pun turun tangan hingga mengambil langkah tegas, dua orang dari suku Fulani ditembak hingga jatuh korban jiwa," tutur Bagio.

Sapi bagi suku Fulani tidak hanya sekedar ternak, tapi sudah jadi kebanggaan dan harga diri, mereka tak terima sapinya dibunuh hingga menyerang penduduk lokal. Akhirnya bentrok antara suku Fulani dengan penduduk lokal dan polisi setempat pun tak terhindarkan.

"Makanya, setiap saya ke kebun selalu dikawal oleh polisi Nigeria, seperti Brimob lah jika di Indonesia,” lanjut Bagio kepada rekan sesama anggota KAUJE melalui daring.

Kekhawatiran lain yang dialami Bagio adalah sistem kesehatan yang masih belum baik di Nigeria.

Seperti halnya negara-negara di Afrika, hingga kini korban pandemi Covid-19 menunjukkan tren meningkat di Nigeria. Kondisi ini disebabkan minimnya pengetahuan warga akan pencegahan Covid-19, masih rendahnya kesadaran dalam menerapkan gaya hidup bersih, fasilitas kesehatan yang terbatas, sanitasi yang buruk dan faktor lainnya.

BACA JUGA: Lima Mahasiswa Unej asal Timor Leste Tertahan di Jember

“Alhamdulillah, perusahaan menyediakan compound atau lokasi penginapan yang baik dan menerapkan protokol kesehatan sesuai standar internasional, bahkan dijaga ketat oleh personil keamanan dan polisi Nigeria sehingga tidak sembarang orang boleh lalu lalang keluar masuk compound,” kata Bagio.

Menanggapi cerita Bagio ini, Rektor Universitas Jember, Iwan Taruna, yang turut serta dalam kegiatan webinar berharap agar upaya perusahaan menyewa pesawat segera membuahkan hasil dan ada maskapai penerbangan yang membuka layanan lagi seusai masa lockdown.

Sehingga Bagio bisa segera kembali ke tanah air. "Semoga bisa berlebaran di Jember. Biasanya saya sering bertegur sapa dengan Prof. Bagio karena kami satu fakultas, kini sementara hanya bisa bertemu via daring. Semoga Prof. Bagio selalu diberi kesehatan dan segera bisa pulang ke Indonesia,” ungkap Iwan Taruna  yang juga dosen di Fakultas Teknologi Pertanian Unej ini.