Reporter
Bayu PratamaKamis, 22 Agustus 2019 - 07:15
WAHYU (9) tersenyum lebar. Mulut dan sebagian wajahnya hitam tertutup oli. Sore itu ia menjadi yang tercepat melepas koin yang tertancap di buah pepaya berlumur oli, menggunakan mulut dan giginya.
“Saya menang,” kata Wahyu setengah berteriak, sambil mengangkat kedua tangan kecilnya ke udara.
Minggu, 18 Agustus 2019, petang, Wahyu dan warga RT 2, RW 6, Kelurahan Sutorejo berkumpul di area parkiran di tepi Jalan Raya Sutorejo. Seperti tahun lalu, mereka merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, dengan beragam lomba selama dua hari, di Bulan Agustus.
Ada lomba untuk anak-anak dengan hadiah alat tulis, dan lomba untuk ibu-ibu setempat dengan hadiah bahan pokok.
BACA JUGA: Bagaimana Surabaya Mengubah Sampah Jadi Listrik?
“Lomba sudah sejak saya muda, tahun 1960an. Sekarang banyak berbeda, yang masih sama kelereng, gobak sodor, dan kerupuk,” kata Nisroyun mengingat.
Perempuan ini lahir di Sutorejo 58 tahun lalu. Kini ia jadi peserta lomba memasukkan paku dalam botol.
Ia bersyukur masih ada lomba untuk ibu-ibu. Berbeda dengan para laki-laki yang tak kebagian lomba di tahun ini.
BERKUMPUL. Warga Sutorejo berkumpul menyaksikan lomba Agustusan di lahan parkir kelurahan setempat
Satiyo berdiri tak jauh dari Nisroyun. Bersarung, laki-laki paruh baya itu datang belakangan. Ia mengaku merindukan masa bergembira bersama warga lewat lomba melewati titian kayu berlapis oli, meskipun kalah dan badan penuh minyak hitam.
“Dulu ada lomba melewati kayu dikasih oli, dulu sudah lama sekali, dibawah 90an, sekarang lombanya banyak ke anak-anak, lebih meriah dulu,” ungkapnya.
BACA JUGA: Perjuangan Warga Lakarsantri di Balik Alih Fungsi Waduk Sepat
Surabaya yang kini menjadi kota besar, dengan beragam pekerjaan dan teknologi yang menyibukkan warganya, membuat berkurangnya waktu bagi warga dewasa untuk terlibat dalam keriangan lomba.
“Sibuk kerja semua, siang malam kerja, dulu habis kerja nganggur, sekarang kerja, nggak ada libur karena kerja tambahan,” kata Satiyo.
Lomba Agustusan bermula saat Orba
Satiyo dan Nisroyun tak bisa mengingat sejak kapan di kampungnya ada lomba. Mereka hanya ingat keceriaan di setiap Agustus selalu menemani mereka di kala kecil dan tumbuh hingga dewasa.
PANITIA: Lomba melibatkan remaja kelurahan setempat sebagai panitia
Sekitar tahun 1970an, warga akar rumput mengusulkan jenis lomba yang kemudian dicatat oleh petugas lingkungan, dan kemudian berulang setiap tahun hingga menjadi kebiasaan dan bagian dari budaya.
“Tidak ada buku khusus yang menjelaskan sejarah lomba, seingat saya lomba berlangsung di zaman Soeharto. Berbeda dengan Soekarno yang memperingati 17 Agustus dengan pawai keliling, Soeharto lebih suka lomba, karena ia senang mengkompetisikan sesuatu,” ungkap Punawan, Selasa 13 Agustus 2019.
Jenis lomba yang datang dari bawah pun bersumber dari kegiatan keseharian mereka, beberapa memiliki jejak di era kolonial Belanda.
BACA JUGA: Sudah Tak Terhitung Saya Tembak Orang
Seperti tarik tambang yang dilakukan oleh pekerja Nusantara untuk mengisi waktu luang. Tambang merupakan alat pertukangan yang dekat dengan kehidupan buruh Indonesia di era kolonial, kemudian menjadi sebuah lomba memperingati kemerdekaan.
Pun lomba makan kerupuk yang masih populer hingga saat ini.
Kerupuk identik dengan makanan masyarakat bawah, di era kolonial hingga saat ini.
“Kenapa kerupuk, itu kan hal yang sangat dekat dengan kami,” tambahnya.
BACA JUGA: Tahun Ajaran Baru di Sekolah Khusus Sistem Zonasi
Beragam lomba itu lahir dari perbincangan di pos ronda, dari mulut ke mulut, dan tidak diperintahkan langsung oleh Soeharto.
Presiden kedua Indonesia itu menghadirkan kompetisi di antara warga lewat lomba pembangunan desa.
“Soeharto saat itu tidak mengurusi lomba–lomba itu, ia memilih lomba pembangunan desa, pesertanya desa, pembangunan dikompetisikan,” jelasnya.
Kini sejumlah ragam lomba, seperti enggrang atau panjat pinang semakin langka.
Ragam lomba akan terus berubah, namun perlombaan yang menggembirakan disebutnya akan terus ada di setiap zaman sebagai hiburan masyarakat bawah.
BACA JUGA: Asal Usul Kampung Made Surabaya
"Lomba tidak ada filosofi, senang–senang, kalau cerita filosofi, itu hanya tafsir orang yang sok filosofis," tutupnya.