Reporter
Dyah Ayu PitalokaKamis, 8 Agustus 2019 - 07:59
SURABAYA bakal menjadi kota pertama di Indonesia yang mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia. Meski ada empat kota yang sedianya dijadikan kota percontohan, termasuk Surabaya, yakni Bekasi, DKI Jakarta, dan Solo, nyatanya Kota Pahlawanlah yang disebut paling siap.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan proses pembangunannya sudah mencapai 80-90 persen pada Juli tahun ini. Rencananya, dengan memanfaatkan pasokan 1.500 ton sampah per hari dari penjuru kota, PLTSa berkapasitas 11 megawatt itu akan diresmikan pada November 2019.
PLTSa ini terbagi dalam dua unit. Pertama berkapasitas 2 megawatt yang dihasilkan dengan teknologi landfill gas dan kini sudah beroperasi. Unit kedua, berkapasitas 9 megawatt dengan teknologi gasifikasi yang kini dalam proses pembangunan di Benowo. Listrik dari PLTSa ini rencananya akan dikomersilkan melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Untuk membangun PLTSa itu, Pemkot Surabaya menggandeng PT Sumber Organik dengan nilai investasi mencapai 49,86 juta dolar Amerika (setara Rp 696,44 miliar).
***
MEGAH. Pembangunan gedung PLTSa di TPA Benowo. Dari TPA ini direncakan akan menghasilkan 11 megawatt listrik. Foto: Dyah Pitaloka.
Jumat 26 Juli 2018 lalu, Jatimnet.com mengunjungi lokasi pembangunan PLTSa. Letaknya satu kompleks dengan Tempat Pembuangan Akhir Benowo seluas 37 hektar di Jalan Romokalisari. Berjarak satu kilometer dari pemukiman warga, TPA Benowo berada di tengah ladang garam dan tambak warga.
Hari itu, mentari panas menyengat kulit. Sejumlah pekerja bangunan tampak sibuk di sekitar gedung setengah jadi tak jauh dari gerbang TPA. Meski belum rampung sepenuhnya, kerangka beton dan rancangannya tampak kokoh berdiri. Inilah bangunan tempat PLTSa yang disebut-sebut oleh Bu Wali Kota siap beroperasi akhir tahun nanti.
“Di dalam sudah ada mesin-mesin (pembangkit listrik),” kata seorang pekerja. Tapi, lelaki yang enggan menyebut namanya itu melarang Jatimnet.com melihat sendiri mesin-mesin yang dimaksud.
Gagasan mengubah sampah menjadi energi listrik sejatinya bermula sekitar sewindu lalu. Ide itu dipicu oleh kian sempitnya lahan terbuka dan terus bertambahnya jumlah sampah Surabaya. Padahal TPA Benowo yang beroperasi sejak 2001 diperkirakan hanya mampu menampung sampah selama 10 tahun.
Maka lewat lelang terbuka, pada tahun 2012, Pemerintah Kota Surabaya menggandeng PT Sumber Organik untuk pengolaan sampah di TPA Benowo. Kontrak kerjanya berlaku 20 tahun dengan mekanisme Bangun Guna Serah alias Build Operate Transfer (BOT).
Dalam kontraknya, PT SO berkewajiban mengolah minimal 1.000 ton sampah per hari. Sedangkan kini, TPA Benowo menerima rata-rata 1.600 ton dari total 2.200 ton sampah yang dihasilkan warga kota Surabaya.
Selain mengolah sampah, PT SO juga harus membayar sewa, merawat, dan menambah aset TPA, serta membangun dua pembangkit listrik berbahan sampah hingga 2019.
Satu pembangkit telah beroperasi sejak 2015 dengan teknologi pemanfaatan gas metan sampah (landfill gas). Sedangkan pembangkit berteknologi gasifikasi, dijadwalkan akan beroperasi pada akhir tahun ini. Dua pembangkit ini ditarget mampu menghasilkan 11 megawatt listrik dan akan dijual ke PLN.
Kepala Seksi Pembangunan Sarana dan Prasarana Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) Surabaya Muhammad Amin mengatakan pemkot tak berhak atas keuntungan penjualan listrik PT SO ke PLN. “Itu bukan hak kami, (kalau ada keuntungan jadi listrik dan dijual) itu hasil sampingan pengolahan sampah dan milik PT SO,” katanya, Selasa 30 Juli 2019.
Sementara listrik yang dihasilkan menjadi hak PT SO, kata dia, pemerintah kota harus membayar biaya pengolahan sampah (tipping fee) sebesar Rp 178 ribu per ton. Harga itu diperkirakan membengkak jadi Rp 260 ribu per ton di akhir masa kontrak.
Dengan rata-rata 1.600 ton sampah masuk ke TPA per hari, Pemkot Surabaya harus menganggarkan Rp 284,8 juta per hari untuk membayar PT SO. Maka setidaknya butuh Rp 8,5 miliar per bulan (atau sekitar Rp 102 miliar per tahun) untuk membayar pengolahan sampah di TPA Benowo.
Menurut Amin, besaran biaya pengolahan sampah itu jauh lebih besar dari uang sewa TPA yang diterima pemerintah kota dari PT SO. “Memang selalu lebih besar biaya pengelolaannya,” katanya. Itu karena, “Yang kami inginkan bukan (keuntungan) itu, tapi lebih ke pengelolaan sampah dan dampak yang baik pada lingkungan.”
Tujuh tahun sudah kontrak pengolahan sampah itu berlangsung. Sisa 13 tahun lagi sebelum PT SO menyerahkan ke Pemerintah Kota Surabaya.
Amin mengatakan kondisi power plant harus berfungsi 80 persen saat diserahkan nanti. “Jangan sampai sudah kondisi rongsokan ketika diserahkan,” katanya.
Tapi, ia melanjutkan, saat ini belum ada rencana detail terkait pengelola TPA pascapenyerahan. Bisa jadi ada badan usaha pemerintah yang mengelolahnya, atau mungkin saja akan dilelang kembali jika dirasa pemkot tak cakap.
MESIN GAS. Mesin Janebacher buatan Austria di TPA Benowo. Proses mengubah sampah menjadi listrik dilakukan dengan dua cara, landfill gas dan gasifikasi. Foto: Dyah Pitaloka.
Dua Cara Mengolah Sampah Jadi Tenaga
Dari kejauhan, tumpukan sampah berselimut membran hitam itu tampak membukit. Ibarat tambang, dari perut perbukitan sampah yang menghiasai separuh areal TPA Benowo itulah mengalir gas metana, bahan baku utama produksi listrik. “Itulah sistem landfill gas collection,” kata Koordinator Operasional TPA Benowo Muhammad Ali Asyhar, Rabu 31 Juli 2019.
Sistem ini bekerja laiknya memeram buah. Sampah ditumpuk di satu lokasi dan dipadatkan. Setelah tiga minggu hingga sebulan, tumpukan sampah akan menghasilkan gas metan siap panen.
Di TPA Benowo, sampah ditimbang sebelum ditumpuk. Truk-truk pengangkut sampah yang masuk TPA wajib melintasi jembatan timbang dan dicatat bobotnya oleh PT Surveyor Indonesia. Pada akhir bulan, catatan PT SI ini jadi patokan berapa rupiah uang yang harus dibayar Pemkot Surabaya pada PT SO untuk biaya pengolahan sampah.
Menurut Ali, kondisi musim dan jenis sampah memengaruhi kuantitas dan kualitas gas metan yang dihasilkan. Selain itu, butuh perlakuan khusus di waktu berbeda agar bakteri penghasil gas metan tetap terjaga.
Berikutnya, lanjut dia, gas metan yang dipanen dari bukit sampah dialirkan melalui pipa menuju dua unit mesin buatan Jenbacher, produsen mesin gas asal Austria. “Dari sini listrik dialirkan ke PLN lewat travo masuk dan keluar kami. Nanti PLN yang mendistribusikan listriknya,” kata alumnus ITN Malang itu.
Menurut dia, dua mesin itu berkemampuan menghasilkan listrik 2 megawatt. Masing-masing mesin mampu memproduksi 1 megawatt listrik. Tapi, karena mesin sering bermasalah dan jaringan PLN mengalami gangguan, produksinya tak maksimal. Sehingga listrik yang dihasilkan tak mencapai kapasitas yang diinginkan.
Siang hari itu misalnya, satu mesin ngadat dan sedang dalam perbaikan. Adapun satu mesin yang beroperasi, hanya mampu menghasilkan 750 ribu watt listrik.
Toh, Ali tetap bangga. Menurut dia, dari seluruh pengelola sampah di Indonesia, hanya TPA Benowo yang bisa stabil memproduksi listrik dari gas metan sampah. “Resepnya apa, itu yang kami jual,” katanya.
Sukses mengubah sampah menjadi listrik sejak 2015, kini TPA Benowo (di bawah pengelolaan PT SO) bersiap menerapkan sistem gasifikasi untuk menghasilkan listrik.
Menurut dia, teknologi gasifikasi lebih ramah lingkungan. Proses produksi pun lebih efektif lantaran tak butuh waktu sebulan untuk memanen gas. “Ini pembangkit listrik tenaga thermal (panas) yang menggunakan sistem gas,” katanya.
Cara kerjanya, ia mengatakan, sampah dibakar hingga jadi arang (bricket). Berikutnya, arang itu dipanaskan sampai suhu 1.000 derajat celsius untuk mendidihkan air, yang uapnya berfungsi menggerakkan turbin penghasil listrik berkapasitas 9 megawatt.
Ia mengatakan air yang dididihkan akan diambil dari aliran Sungai Romo. “Sistemnya mirip PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang pakai batu bara. Tapi di sini tenaganya bukan batu bara, tapi sampah yang dijadikan arang itu,” katanya.
Kepala Seksi Pembangunan Sarana dan Prasarana Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) Surabaya Muhammad Amin mengatakan belum ada satu pun daerah di Indonesia yang berhasil memproduksi listrik dari sistem gasifikasi semacam itu. Tapi, Ali optimistis teknologi ini akan berjalan lancar.
Jatimnet.com memperoleh informasi teknologi itu diadopsi dari pengolahan sampah di Iran dengan mesin pembangkit yang didatangkan dari Cina. Ali enggan menjelaskan terperinci saat ditanyakan dan hanya menjawab, “Ada satu negara. Kami sudah mempelajari dan melakukan proses trial and error.”
BUKIT SAMPAH. Tumpukan sampah di TPA Benowo Surabaya. Dari tumpukan sampah itulah dihasilkan gas metan yang menjadi bahan utama listrik. Foto: Dyah Pitaloka.
Amankah Sistem Gasifikasi untuk Lingkungan?
Perempuan warga Dukuh Jawar Kelurahan Sumber Rejo, Pakal Surabaya ini akrab disapa dengan Bu Syamsul. Itu lantaran suaminya bernama Syamsul Huda. Dari Majalah Gapura yang dibagikan pengelola TPA Benowo, ia tahu tak jauh dari tempat tinggalnya akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. “Kalau sosialisasi (secara langsung) belum pernah,” katanya, Jumat 26 Juli 2019.
Hari itu, dua reporter Jatimnet.com Dyah Ayu Pitaloka dan Bayu Diktiarsa mampir ke rumahnya. Kami bertanya tentang rencana pemerintah membangun PLTSa di TPA Benowo. Sambil menggendong seorang balita, ia mengeluarkan setumpuk majalah Gapura. Sebagian masih bersampul plastik pertanda belum dibuka. “Silahkan bawa kalau mau, banyak di sini,” katanya lagi.
Meski tak banyak tahu rencana pembangunan itu, warga tahu dari TPA sering mengalir air lindi. Ini cairan yang muncul dari peparan air hujan pada timbunan sampah. Warnanya hitam dan mengalir ke tambak sekitar TPA. “Ada banyak yang ikannya mati, mereka (pemilik tambak) minta ganti rugi ke TPA,” kata Yanti, warga Jawar.
Koordinator Operasional TPA Benowo Muhammad Ali Asyhar membantah pernyataan itu. Menurut dia, pengolahan air lindi di TPA Benowo cukup baik. Bahkan air resapan sampah itu berhasil diubah menjadi air bersih dan sehat yang bisa dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci.
“Mungkin kalau ada air warna hitam atau merah itu dikira air lindi. Padahal bukan. Kalau ada yang bilang tambaknya tercemar air lindi silakan dibuktikan,” katanya. “Instalasi pengolahan lindi kami terbaik se-Indonesia.”
Ia menjamin pengolahan sampah di TPA Benowo aman bagi lingkungan. Termasuk proses gasifikasi yang akan diterapkan pada PLTSa nanti, pihaknya telah memenuhi syarat pembuangan asap sesuai aturan.
Menurut dia, proses pembakaran sampah dalam sistem gasifikasi nanti akan berlangsung selama 24 jam tanpa henti. Tenaga pembakarannya akan dipacu dari listrik PLN. “Kalau pun PLN gangguan dan mesin mati, gas yang keluar dari sumur akan kami bakar dengan flare. Itu lebih aman,” katanya.
Tapi ada pendapat berbeda tentang teknologi pembakaran sampah (insinerator) di kalangan aktivis lingkungan. Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Yobel, menilai teknologi ini tak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan. Bahkan, membakar sampah basah membutuhkan energi besar.
Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan Direktur American Environmental Health Studies Project Profesor Emeritus Paul Connect menyebutkan, pengelolaan sampah dengan insinerator menyebabkan polusi berbahaya dan beracun ke udara, seperti dioksin pemicu kanker.
Dalam penelitiannya, Paul mengamati dampak racun dioksin pada sapi. Hasilnya, satu hirupan dioksin pada binatang ini setara dengan 14 tahun hirupan oleh manusia. Perkaranya, pada akhirnya, manusia juga yang mengonsumsi daging dan susu sapi yang sudah tercemar dioksin itu.
Penulis: Anang Zakaria | Penyumbang bahan: Dyah Ayu Pitaloka dan Bayu Diktiarsa