Rabu, 18 September 2019 11:17 UTC
Ilustrasi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai sulit menerima keputusan Pemerintah dan DPR RI yang menyepakati revisi UU KPK melawan akal sehat.
“Tidak hanya bermasalah secara formal, tapi juga secara substansi. Sulit diterima akal sehat,” kata Kurnia Ramadhana melalui keterangan resmi yang diterima Jatimnet.com, Rabu 18 September 2019.
Menurut pegiat anti korupsi tersebut, revisi UU KPK dilakukan secara serampangan tidak masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019. Apalagi dalam pengesahannya terkonfirmasi dari beberapa pemberitaan menyebutkan hanya 80 orang dari total 560 anggota DPR RI yang hadir.
Secara substansi, ia menilai pembentukan Dewan Pengawas, izin penyadapan, kewenangan SP3, dan pasal kontroversial lainnya sebagai bentuk memperlambat penanganan tindak pidana korupsi yang membuat KPK menjadi lemah.
BACA JUGA: Pengesahan RUU KPK, Jokowi Tidak Dengar Suara Akademisi
Pada bagian penindakan, lanjut Kurnia, KPK juga diawasi setiap saat. Pengawasan ini dilakukan oleh institusi kekuasaan kehakiman melalui praperadilan.
“Apakah KPK pernah kalah? Pernah, maka itu dapat dikatakan, bahwa fungsi tersebut sebetulnya berjalan baik,” jabarnya.
Secara khusus pihaknya menilai kewenangan penerbitan SP3 jika penanganan perkara tidak selesai dalam waktu dua tahun, dapat membuat pemberantasan korupsi terhadap kasus-kasus besar berhenti di tengah jalan.
“Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010. Tentu DPR dan pemerintah paham untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK,” jelasnya.
BACA JUGA: IMM Menilai DPR RI Tergesa-gesa Mengesahkan RUU KPK
Selain itu, Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam mengonstruksikan sebuah perkara. “Fungsinya agar dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan di muka persidangan,” lanjut Kurnia.
Dengan disahkannya UU KPK yang baru, menyebabkan lembaga anti rasuah itu bukan sebagai lembaga independen. Perubahan ini bisa dilihat pada Pasal 3 UU KPK, yang menjadikan KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Dia menilai wajar DPR dan presiden menuai kecaman masyarakat, salah satunya dengan meningkatnya permohonan uji materi ke MK. “Sederhananya, jika regulasi diwarnai dengan uji materi, sesungguhnya legislasi tersebut buruk dan tidak diterima publik,” tutup Kurnia.
