Bayu Pratama

Reporter

Bayu Pratama

Sabtu, 28 September 2019 - 11:00

JATIMNET.COM, Surabaya –Hamdi (12) selalu bersemangat menjawab pertanyaan Jatimnet.com, siang itu, Sabtu 14 September 2019. Tahun ini, sudah enam tahun Hamdi dan pengungsi Syiah Sampang menempati Rumah Susun Puspa Agro, Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. 

“30 Kak, teman-teman belajar bahasa Indonesia,” jawab bocah berkaos kostum sepak bola Barcelona itu. Siang itu, Hamdi dan puluhan temannya sedang mengikuti kelas belajar Tunas, kelas akhir pekan gagasan komunitas Nera Academia. 

Para pelajar itu keluar dari kampung halaman mereka, Nangkernang dan Kedinglaok, Sampang, Madura,  pada 2012 silam. Saat itu Hamdi yang masih berusia enam tahun keluar bersama 348 jiwa lainnya. 

Anak-anak dalam kelas siang itu tak memiliki usia yang sama, ada yang duduk di bangku SD, hingga SMP. Namun, anak-anak Sampang itu punya keinginan serupa, kembali pulang ke kampung halaman.

BACA JUGA: Pengungsi Syiah Sampang di Sidoarjo Bisa Gunakan Hak Pilihnya

Joanna Liani (26), pegiat kelas Tunas menyaksikan besarnya keinginan anak-anak di kelasnya untuk kembali pulang. Bahkan, ketika mereka diajak berwisata ke Taman Safari tahun lalu, kegembiraan bertemu dengan beragam satwa tak bisa menghapus ingatan akan kampung halaman.

“Ketika di perjalanan, mereka lihat sawah, saya terharu. Mereka berseru, ‘sawah sawah, kayak di kampung’,” kenangnya.  

Sejak 2014, kelas Tunas dipercaya warga setempat untuk memberikan pelajaran tambahan setiap Sabtu dan Minggu. Menempati sebuah ruangan di lantai dua, pengajar kelas Tunas memberikan beragam materi, mulai dari membantu mengerjakan PR sekolah, bercerita, hingga ketrampilan lain untuk mendorong anak-anak memiliki rasa percaya diri kembali.

KELAS TUNAS. Anak-anak pengungsi Syiah Sampang sedang belajar di Kelas Tunas, Sabtu 14 Februari 2019. Foto: Bayu Diktiarsa

Pada jam sekolah, murid kelas Tunas belajar di sekolah formal masing-masing. Ada yang di SD negeri, Madrasah Tsanawiyah, atau yang belajar di pesantren. Bertemu dan membaur dengan pelajar lain di Sidoarjo. 

Namun, ketika bertemu di kelas Tunas, cita-cita mereka tak banyak berubah. Cita-cita yang tak terkikis waktu, sejak mereka terusir dari rumah pada 28 Agustus 2012, menghuni GOR Sampang selama delapan bulan, dan berakhir di Sidoarjo hingga kini. 

 “Saat kami tanya cita-cita, mereka menjawab, ingin pulang,” ujar Liani.

Berharap ingin pulang

Harapan ingin pulang bukan hanya ada di benak anak-anak.Tajul Muluk adalah koordinator pengungsi sejak keluar dari tanah kelahiran. Seperti Hamdi, laki-laki berusia 46 tahun itu juga ingin pulang ke kampung halaman. 

“Upaya kami terus menyuarakan bahwa pulang itu harga mati, bahwa kami harus pulang, kejadian Sampang jangan jadi warisan buruk bagi generasi berikutnya,” katanya.

BACA JUGA: Kemiskinan dan Pengungsi Syiah Pekerjaan Rumah Bupati Sampang Baru

Namun ia tak berpangku tangan menunggu kapan bisa pulang. Masa depan anak-anak dua kampung itu tetap dipikirkan di tanah rantau. Ia mengupayakan anak-anak Sampang mendapatkan pendidikan dasar, fasilitas yang awalnya susah didapat lantaran prasangka buruk yang kuat tentang Syiah. 

Mereka susah mendapat sekolah. 

RUSUN. Kondisi Rumah Susun dengan lima lantai, 80 kamar yang dihuni 348 jiwa pengungsi Syiah Sampang sejak 2013. Foto: Bayu Diktiarsa

Ketika tiba di Sidoarjo enam tahun lalu, banyak anak-anak Sampang yang ditolak sekolah di Jemundo lantaran mereka khawatir anak-anak bakal menyebarkan paham Syiah. 

Butuh tiga tahun bagi Tajul Muluk untuk meyakinkan pihak sekolah, agar 40 anak Sampang itu mendapatkan hak nya atas pendidikan. 

“Tahun 2016 mereka baru bisa bersekolah, setelah pindah ke sini tahun 2013, awal masuk ada yang dapat diskriminasi, tapi tidak berlangsung lama,”, lanjutnya.

BACA JUGA: Pakde Karwo “Wariskan” Persoalan Pengungsi Syiah ke Khofifah

Selain mendapatkan pendidikan formal, anak Sampang juga mengalami kesulitan saat hendak mengurus kartu identitas anak, serta administrasi lain seperti kartu kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Beragam pengakuan administrasi kependudukan itu baru didapatkan setelah tiga tahun tinggal di Jemundo.

"Sekarang syukur pemerintah sudah mulai memikirkan. Awalnya kami betul-betul dilepas. Tahun 2012 hingga 2015, pemerintah termakan isu ini itu, sampai mengirim intel kesini, mengorek informasi, ternyata tidak sesuai dengan realita yang ada," ujarnya sambil mendengar kicauan burung dalam sangkar di halaman rusun.

Tajul Muluk, Koordinator Pengungsi Syiah, Sampang, Rabu 18 September 2019. Foto: Bayu Diktiarsa

Ia bersyukur, anak-anak bisa bersekolah, dan beberapa orang tua perlahan mendapatkan pekerjaan, seperti mengupas kelapa tak jauh dari rumah susun.

Meskipun upah mereka tak banyak dan sudah terbiasa dengan kondisi ini, harapan Tajul Muluk dan 348 warga ingin bisa dipulangkan. Baginya, relokasi tidak menyelesaikan masalah dan pulang adalah keinginan terbesar mereka. 

"Sebenarnya di lapisan bawah sudah tidak ada masalah, misalnya sekarang di kampung malah kacau, mau bercocok tanam susah, kekurangan orang dan tenaga. Semoga bisa selesai masalah ini,” katanya berharap.

Baca Juga

loading...