Reporter
Ahmad SuudiSenin, 20 September 2021 - 20:20
Azan magrib baru saja berlalu ketika enam orang anak masuk ke rumah Abdul Latif Zainullah di Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Senin, 13 September 2021. Anak-anak ini langsung menuju ruang tengah. Usai duduk dengan rapi mereka memasang meja lipat dan mengeluarkan alat tulisnya.
Tak berselang lama, Zainul turut bergabung dengan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah tersebut. Ia tampak menegur sejumlah anak yang masih ribut dan berisik. Menjelang pukul 19.00, ‘kelas malam’ ini pun dimulai. Ada yang mengerjakan PR dan membaca buku pelajaran. Ada juga yang masih belajar mengenal huruf abjad.
Inilah aktivitas Zainul usai menamatkan kuliah program pascasarjana di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang, Jawa Tengah. Bimbingan belajar kepada anak-anak SD dan SMP menjadi satu-satunya kegiatan ekonomi penyandang difabel fisik ini. Meski menyandang gelar magister komputer, pria ini tak malu mengajari anak-anak tetangganya.
“Yang paling penting sekarang bagiku mendapatkan pekerjaan yang upahnya bisa untuk hidup secara mandiri. Aku takut nanti terus tergantung ke orangtua atau saudara. Aku sudah lulus S2 tapi sulit dapat kerja. Mereka tidak mau menerima,” ujarnya mengawali wawancara.
Zainul bercita-cita ingin menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Banyuwangi. Dia rela bolak balik Semarang – Banyuwangi demi meraih mimpi ini. Sayangnya, modal lulus S2 dengan predikat cum laude saja tidak cukup. Ia menduga kursi roda yang menyertainya menjadi penyebab banyak kampus menolaknya.
BACA JUGA: (DIFABEL DAN HAK KERJA) Rasio Dosen Difabel di Banyuwangi Jauh dari Amanat UU
Melawan Rasa Takut
Panas Matahari di awal musim kemarau Juli 2010 terasa menyengat. Tak hanya di kulit, namun juga di dada Zainul yang saat itu menjadi siswa baru jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) SMK 17 Agustus 1945, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Proses pengambilan foto siswa baru untuk kartu tanda pelajar sekolah tersebut menjadi momen yang menyiksa baginya. Sebab, puluhan pasang mata menatapnya yang duduk di atas kursi roda.
"Sebenarnya aku ingin teriak, apa lihat-lihat, aku bukan tontonan. Merah wajahku saat itu. Saat itu masa aku malu-malunya akan kondisiku ini. Masih belum kuat mentalku saat itu," ujarnya.
Zainul menyandang disabilitas fisik berupa kaki yang tidak bisa digunakan untuk berjalan dan aktivitas lainnya. Surat keterangan disabilitas terbaru yang dia terima dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blambangan menyatakan dirinya menyandang disabilitas dengan derajat ringan disertai kebutuhan akan kursi roda untuk aktivitas sehari-hari.
Zainul terlahir dalam kondisi difabel dari pasangan suami istri nelayan, Abdullah Syirojuddin dan Siti Munawarah Fadilah, pada tahun 1994. Ia sempat enggan melanjutkan sekolah usai lulus dari SMP karena takut dan malu dengan kondisinya.
Namun, ia sadar. Jika tak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, ia akan menganggur dan hanya berdiam di rumah. Akhirnya ia melanjutkan sekolah di SMK 17 Agustus 1945 Cluring. Ternyata, sekolah baru ini menjadi titik tolak baru bagi Zainul. Di sekolah ini, keberaniannya muncul. Ia tak lagi minder dan takut.
"Aku jadi berpikir, oh ini yang namanya adaptasi. Sekarang di lingkungan baru aku bakal dapat satu teman dalam beberapa hari atau paling lama seminggu. Setelah itu semuanya akan menjadi lebih mudah," kata Zainul.
Berbekal rasa percaya diri dan asa mengejar mimpi, dia langsung mendaftar di perguruan tinggi usai lulus SMK. Program Studi S1 Teknik Informatika Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (Stikom) PGRI Banyuwangi menjadi pilihan pria ini.
BACA JUGA: Difabel Desak Pemenuhan Aksesibilitas Pelayanan Publik
Penyandang difabel lulusan magister teknik informatika, Abdul Latif Zainullah, warga Desa Grajagan, Kec. Purwoharjo, Banyuwangi, Senin, 13 September 2021. Foto: Ahmad Suudi
Mengejar Mimpi
Meski sudah lulus dari Stikom PGRI Banyuwangi, Zainul tak berhenti. Cita-citanya menjadi dosen memompa semangatnya melanjutkan studi lagi. Akhirnya dia mengambil program pascasarjana di Udinus, Semarang. Kuliah magister di Udinus Semarang menjadi pengalaman tersendiri bagi sulung dari tiga bersaudara ini.
Sebulan sekali dia harus turun naik sejumlah moda transportasi dari Banyuwangi ke kota yang kondang dengan lumpia ini. Biasanya dia akan naik bus malam dari Banyuwangi dan turun di Terminal Tirtonadi, Solo. Dari Tirtonadi, dia naik bus ke Semarang dan turun di lokasi yang dekat dengan kampus.
Setelah itu, berganti taksi online untuk menuju lokasi kuliah yang juga menjadi ‘hotelnya’ selama dua hari satu malam. Abdul Hafid Abdullah, 19 tahun, adiknya menjadi pendamping dan penggendongnya dalam perjalanan sebulan sekali itu. Meski sejumlah moda transportasi tak ramah pada penyandang disabilitas seperti dia, toh studi itu tetap dilakoninya.
Zainul juga tak pernah meminta keringanan kewajiban akademik selama menjalani kuliah. Sama seperti yang lain, ia mengikuti semua proses untuk bisa menyelesaikan program pascasarjana mulai dari mengikuti perkuliahan, riset, dan menyusun tesis. Usaha Zainul tak sia-sia. Pada tahun 2020 ia dinyatakan lulus dengan predikat cum laude.
"Kenapa aku berani terus maju dan kuliah, pertama enggak mau diam di rumah karena aku suka aktif, kedua mengejar cita-cita jadi dosen, dan ketiga untuk mencari ilmu. Terutama biar bisa mengabdi jadi dosen di Stikom Banyuwangi,” ujar Zainul.
Hafid tahu betul bagaimana perjuangan kakaknya hingga bisa mengantongi gelar magister. Bahkan pada hari pertama kuliah, Hafid menggendong kakaknya sejauh 200 meter dari halte Trans Semarang ke lokasi kuliah yang berada di lantai dua.
“Harapan saya Mas Zainul bisa dapat kerjaan yang layak. Karena saat ini itu yang paling diinginkan. Terus bisa menikah,” kata ayah satu anak ini, Kamis, 16 September 2021.
BACA JUGA: Sebelas Industri Garmen Siap Mempekerjakan Ratusan Penyandang Disabilitas
Ditolak Dimana-mana
Sayangnya, lulus S2 dengan predikat nyaris sempurna ini tak membuat Zainul langsung bisa mewujudkan mimpi. Gelar master yang ia sandang tak membuatnya mudah mendapat pekerjaan yang dicita-citakan. Sejumlah perguruan tinggi menolak saat ia mengajukan lamaran untuk mengajar di sana. Sementara, teman-temannya mudah sekali mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga pendidik.
Sekali waktu, ada salah satu perguruan tinggi swasta di Banyuwangi yang menerimanya menjadi dosen luar biasa atau dosen honorer. Namun ia diminta membuat Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) sebelum bekerja di sana. Padahal NIDN hanya bisa diproses oleh dosen tetap yang telah mendapat surat keputusan (SK) pengangkatan dari kampus atau yayasan yang menaunginya.
Salah satu politeknik swasta di Banyuwangi juga sempat menyatakan mau menerimanya mengajar di sana. Namun saat Zainul bertanya soal gaji, institusi ini tak memberi kabar lagi. Dia juga menyambangi almamaternya, SMK 17 Agustus 1945 Cluring dan Stikom PGRI Banyuwangi, untuk melamar pekerjaan namun hasilnya nihil.
Bahkan SMP dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di desanya juga menolak lamaran kerja sarjana strata dua ini. Zainul menduga disabilitas yang ia alami menjadi alasan banyak perguruan tinggi menolaknya. Ia masih merasa diperlakukan secara diskriminatif di dunia kerja.
"Aku merasa mungkin aku dipersulit karena kondisiku ini, karena difabel. Masak karena kondisiku difabel, semua dipersulit," ujarnya.