Rabu, 14 August 2019 10:17 UTC
Foto: Ilustrasi/Gilas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya - Ketua Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur (APBJ), Afik Irwanto mengungkapkan kondisi buruh semakin mengkhawatirkan khususnya ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Karena upah buruh yang diterima hari ini masih berada dalam lingkup Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 yang membatasi buruh mendapatkan upah yang lebih layak," ungkap Afik, Rabu 14 Agustus 2019.
Ia menyebut upah minimum yang ditetapkan pemerintah berdasar PP tersebut belum sepenuhnya dijalankan pengusaha serta masih terdapat buruh yang menerima upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
"Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) 2014-2015 ada setidaknya 60 persen buruh menerima upah di bawah UMK. Bahkan pada 2016, data ILO menyebutkan 40 persen buruh garmen menerima upah di bawah UMK," tandas Afik.
BACA JUGA: Disnakertrans Jatim Tegaskan Tidak Ada Revisi Hapus Pesangon di Undang-undang Ketenagakerjaan
Hal tersebut diperparah dengan pengawasan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang bertugas untuk mengawal kebijakan yang masih lemah.
"Jika melihat data pada 2008, survei angkatan kerja nasional ada 66 persen buruh tidak mendapatkan pesangon dan 27 persen mendapat pesangon tidak sesuai aturan. Ketika menghadapi proses PHK yang menunggu putusan inkrah pengadilan, mayoritas pengusaha tidak mau membayarkan upah selama proses," paparnya.
Fakta lain, terkait pelaksanaan kontrak dan outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 dan ditegaskan oleh putusan MK nomor 19 tahun 2012 bahwa hanya ada lima bidang pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan.
"Dalam praktek di lapangan justru semakin berkembang pesat pemberlakuan outsourcing di bagian utama produksi," tegasnya.
BACA JUGA: Serikat Pekerja Gresik Bakal Demo Gubernur Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan
Ia menilai hal tersebut sangat merugikan buruh dan menguntungkan secara sepihak pengusaha.
"Selama ini saja, praktek pelanggaran pengusaha terhadap sistem kerja kontrak, outsourcing, dan pelanggaran dalam proses PHK masif dilakukan oleh pengusaha tanpa tindakan tegas dari pemerintah. Apalagi jika UU nomor 13 tahun 2003 direvisi menjadi lebih akomodatif terhadap kepentingan pengusaha," kata Afik.
Untuk itu APBJ menolak revisi UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disinyalir memperlemah posisi buruh dalam hubungan ketenagakerjaan.
Usulan yang diwacanakan pengusaha dalam rencana revisi UU nomor 13 tahun 2003 terkait dengan status hubungan kerja kontrak dan outsourcing serta pengurangan kewajiban pesangon pengusaha pada buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini saling terkait.
BACA JUGA: Para Buruh Tolak Revisi UU 13 Tahun 2003
APBJ sendiri terdiri dari Federasi Serikat Rakyat Pekerja–Konfederasi Serikat Nasional (FSRP–KSN), Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia–Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (FBTPI–KPBI), Serikat Pekerja Danamon (SP Danamon), Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI).
Selain itu Serikat Pekerja Perjuangan Bank Maybank Indonesia (SPPBMI), Serikat Pekerja Bank Shinhan Indonesia (SPBSI), Wadah Asah Solidaritas (WADAS), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya.
