Logo

Yappika Catat Empat Siswa Meninggal dan 73 Terluka Akibat Sekolah Roboh

Reporter:,Editor:

Kamis, 07 November 2019 10:23 UTC

Yappika Catat Empat Siswa Meninggal dan 73 Terluka Akibat Sekolah Roboh

JADI SOROTAN. Robohnya atap SDN Gentong Kecamatan Gading Kota Pasuruan menjadi perhatian serius Yappika untuk meningkatkan mutu pendidikan. Foto: IST.

JATIMNET.COM, Surabaya – Yayasan Persahabatan Indonesia Kanada (Yapika, sekarang menjadi Yappika) mencatat empat siswa meninggal dan 73 siswa terluka akibat bangunan sekolah yang roboh di Indonesia sejak tahun 2015.

Manajer Program Yappika, Hendrik Rosdinar mengatakan jumlah tersebut dapat bertambah seiring temuan lembaganya yang memperkirakan lebih dari enam juta anak yang belajar di ruang kelas rusak sedang dan berat.

“Daftar panjang anak yang menjadi korban sekolah roboh masih mungkin bertambah, khususnya anak usia SD yang jumlahnya paling banyak,” ungkap Hendrik Rosdinar kepada Jatimnet.com, Kamis 7 November 2019.

Insiden robohnya atap bangunan SDN Gentong 1 di Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan harus menjadi perhatian. Sebab dalam insiden itu menyebabkan dua orang meninggal dan belasan siswa luka-luka.

BACA JUGA: Atap SDN Ambruk, Pengamat Minta Kebijakan Rehabilitasi Dikembalikan ke Sekolah

Yappika meminta pemerintah memperhatikan kualitas pendidikan di daerah. Dalam lima tahun terakhir ini, persentase jumlah ruang kelas rusak sedang dan berat pada tingkat sekolah dasar stagnan di angka 18-19 persen.

“Padahal, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana Rp 18,5 triliun rupiah untuk perbaikan dan pembangunan sekolah rusak melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada pemerintah daerah,” tegasnya.

Terdapat sejumlah faktor lambatnya penyelesaian sekolah rusak. Salah satunya adalah rendahnya komitmen pemerintah daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah untuk mengalokasikan anggaran perbaikan dan pembangunan.

BACA JUGA: Atap SDN Balong 3 Ponorogo Disangga Tiang Bambu

“Riset kami di sepuluh kabupaten/kota pada tahun 2016 menunjukkan hanya 0,99 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk perbaikan dan pembangunan kelas,” urianya.

Selain itu, rendahnya akuntabilitas pemerintah daerah karena perencanaan pembangunan sekolah yang tidak berbasis data bisa jadi sebagai pemicu. Padahal telah terdapat sistem data pokok pendidikan (Dapodik) dan Tata Kelola yang belum optimal dimanfaatkan oleh pemerintah daerah.

“Perlu adanya komitmen pemerintah daerah, akuntabilitas pengelolaan dana, dan pelibatan sekolah serta masyarakat,” Hendrik menutup keterangannya.