Logo

Walhi: Lemahnya Penegakan Hukum Terhadap Kawasan Konsesi di Lahan Gambut

Reporter:,Editor:

Sabtu, 14 September 2019 13:16 UTC

Walhi: Lemahnya Penegakan Hukum Terhadap Kawasan Konsesi di Lahan Gambut

TITIK API: Titik api kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia September 2019. Foto: Walhi

JATIMNET.COM, Surabaya - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai penyebab tingginya titik api di sejumlah wilayah, khususnya yang terjadi di Riau akibat dari upaya penegakan hukum yang masih lemah terhadap kawasan konsesi di lahan gambut.

“Upaya restorasi tidak akan berjalan efektif menekan Kebakaran Hutan Dan Lahan (Karhutla), selama upaya penegakan hukum masih lemah, tidak ada review izin serta audit lingkungan terhadap konsesi. Terlebih kami menilai upaya restorasi ekosistem gambut tidak serius dilakukan pada kawasan konsesi,” jabar Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A. Perdana kepada Jatimnet.com, Sabtu 14 September 2019.

Walhi mencatat terjadi peningkatan signifikan jumlah titik api di Indonesia hingga pertengahan September 2019. Hingga 7 September 2019 angka titik api di sejumlah wilayah Indonesia telah mencapai 6.311 titik.

“Faktanya berdasar data yang diolah oleh Walhi tercatat peningkatan signifikan dimulai dari bulan Juli tercatat sebanyak 1.748 hotspot, pada Agustus meloncat tercatat 8.566 hotspot. Ironisnya, tujuh hari di awal September angkanya sudah mencapai 6.311 hotspot,” ungkap Wahyu.

BACA JUGA: Kebakaran Hutan, Puluhan Ribu Warga Menderita ISPA 

Sementara Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Riko Kurniawan secara khusus menilai kabut asap yang terjadi di Riau dalam sepekan terakhir menunjukkan upaya restorasi lahan gambut perlu dilakukan secara menyeluruh.

“Kabut asap yang terjadi lagi dan menyebabkan jutaan rakyat terpapar asap harusnya menjadi dasar bagi kita untuk mengoreksi pembangunan investasi sawit dan akasia adalah merusak, saatnya bertindak ke depan untuk melakukan upaya restorasi menyeluruh lahan gambut untuk menjamin keselamatan rakyat dalam menikmati udara bersih dan lingkungan yang sehat,” ujar Riko Kurniawan melalui keterangan tertulis yang diterima Jatimnet.com, Sabtu 14 September 2019.

Secara khusus, pihaknya mendorong langkah kolaborasi penegakan hukum dengan menggunakan seluruh instrumen yang ada dengan menerapkan langkah pidana kepada semua perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan.

“Segera melakukan langkah pidana yang disertai dengan penutupan sementara perusahaan pelaku kebakaran dan menginventaris harta kekayaan perusahaan guna memastikan pemulihan dapat dilakukan. Berikutnya pemerintah harus memaksa semua perusahaan terlibat untuk melakukan tindakan penanggulanan dengan segera,” tambahnya.

BACA JUGA: Karhutla: Aktivis Lingkungan Desak Review Izin Korporasi

Ia menyebut lemahnya pengawasan upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsesi mengakibatkan penanganan karhutla tidak mengalami kemajuan, bahkan semakin memburuk.

“Jika mempertimbangkan peningkatan data hotspot saat ini. Berbanding terbalik dengan tudingan banyak pihak dari pemerintah, upaya restorasi (infrastruktur, pembasahan ekosistem gambut, dan upaya vegetasi kembali) ditemukan di lapangan justru lebih konsisten dilakukan oleh masyarakat,” lanjut Riko.

Untuk itu pihaknya mendesak untuk melakukan review izin dan audit lingkungan, khususnya pada kawasan konsesi yang terbakar berulang dari tahun ke tahun.

“Upaya penegakan hukum juga harus selaras dengan sikap pemerintah. Sayangnya dalam putusan Citizen Lawsuit karhutla, pemerintah justru melakukan upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK). Padahal putusan tersebut berdampak pada hak asasi masyarakat, khususnya dalam kasus karhutla,” tutupnya.