Rabu, 23 September 2020 05:00 UTC
KELUARGA BESAR. Keluarga besar Somo yang merupakan petani mencari keadilan memperjuangkan haknya berupa tanah di i kawasan Pakuwon, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya ke PTUN, kini justru dipolisikan. Foto: Bruriy/Dokumen
JATIMNET.COM, Surabaya - Tujuh petani, diwakilkan Somo dan keenam saudara kandungnya, yang merupakan ahli waris almarhumah Satoewi untuk memperjuangkan hak atas tanahnya di kawasan Pakuwon, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya tidak semulus apa yang dibayangkan.
Pasalnya di tengah memperjuangkan haknya, mereka justru malah dilaporkan ke kantor polisi. Itu setelah Sumo menerima surat panggilan dari kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Ternyata surat-nya tidak hanya sebagai saksi saja, melainkan Somo adalah yang juga dilaporkan ke polisi.
Sekadar diketahui, pada sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya sebelumnya, Tergugat Intervensi, PT Artisan Surya Kreasi (PT. ASK), melalui Kuasa Hukumnya mengajukan bukti tambahan. Bukti tambahan tersebut salah satunya adalah Laporan Polisi atas nama Somo dan kawan-kawan.
Di sana dapat dibaca bahwa Somo dan kawan-kawan dilaporkan atas dugaan pemalsuan dan/atau menggunakan surat palsu. Tertulis di dalam Laporan Polisi tersebut bahwa dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Somo dan kawan-kawan adalah pemalsuan surat dan/atau menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 (1) dan (2) KUHP jo Pasal 64 KUHP.
BACA JUGA: Perjuangan 7 Anggota Keluarga Petani, Terbentur Klaim Pihak Lain
"Tindakan pelaporan itu tidak tepat. Karena sudah jelas, bahwa konteks permasalahannya adalah hubungan keperdataan yang harusnya diselesaikan secara keperdataan," kata kuasa hukum ketujuh ahli waris dari almarmhum Satoewi dari kantor hukum Litiga-at-law, Immanuel Sembiring, Selasa 22 September 2020.
Selain itu, dapat dilihat bahwa dengan menjadikan laporan polisi itu sebagai bukti proses PTUN oleh PT ASK yang notabene-nya adalah tergugat intervensi merupakan tindakan yang secara substansi hukum tidak benar. Sebab, proses yang ditempuh para ahli waris adalah penerbitan sertifikat.
Yang mana, sebelumnya upaya penerbitan tersebut ditolak oleh Kantor Pertanahan Surabaya I. Hal tersebut yang membuat para ahli waris mengajukan gugatan ke PTUN Surabaya. "Proses sengketa di PTUN sebenarnya adalah sengketa keperdataan, seakan-akan ingin dialihkan menjadi perkara pidana," ujar Immanuel.
Meski saat ini, lanjut Immanuel, petani Somo dalam surat panggilan polisi, masih diminta keterangan sebagai saksi. Tetapi, PT ASK mengajukan Laporan Polisi tersebut sebagai bukti dalam proses PTUN. Seakan-akan LP tersebut bisa membuktikan bahwa semua dokumen yang diajukan sebagai bukti oleh para ahli waris merupakan palsu.
BACA JUGA: Perjuangan di PTUN Belum Selesai, Tujuh Petani Surabaya Malah Dipolisikan
Menurut dia, hal yang tidak dimengerti adalah adanya asas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) dalam hukum pidana. Bahwa dokumen tersebut adalah legal sampai bisa dibuktikan di Persidangan. Selain itu, tergugat Intervensi terlalu jauh memahami kasus ini dan merasa bahwa haknya sedang diusik.
Hal-hal yang tidak dipahami adalah sebenarnya keluarga petani ini sedang meminta Kantor Pertanahan Surabaya I untuk menerbitkan sertifikat hak milik di tanah mereka. "Seharusnya dibuktikan, apakah ahli waris merupakan pihak yang berhak atas tanah tersebut dan memang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan atas tanah. Bukan malah menempuh jalur pidana yang sama sekali tidak relevan," ia menegaskan.
Penekanan Petok dan Persil tanah yang berbeda sudah dari awal memang disebutkan oleh kuasa hukum ahli waris. Petok dan Persil yang sejatinya tanda penunjukkan tanah, tidak mungkin sama antara tanah yang satu dengan tanah yang lainnya.
“dari awal sudah kita sebutkan di Persidangan, bahwa Petok dan Persilnya berbeda. Maka kan yang harus Kuasa Hukum Tergugat Intervensi buktikan adalah bagaimana bisa tanahnya sama tapi Petok dan Persilnya berbeda. Kayaknya itu mentok, makanya mainnya pidana” Immanuel menegaskan.