Logo

Perjuangan di PTUN Belum Selesai, Tujuh Petani Surabaya Malah Dipolisikan

Reporter:

Kamis, 10 September 2020 14:40 UTC

Perjuangan di PTUN Belum Selesai, Tujuh Petani Surabaya Malah Dipolisikan

KELUARGA BESAR. Keluarga besar Somo yang merupakan petani mencari keadilan memperjuangkan haknya berupa tanah di i kawasan Pakuwon, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya ke PTUN, kini justru dipolisikan. Foto: Bruriy/Dokumen

JATIMNET.COM, Surabaya - Perjuangan tujuh petani yakni diwakilkan Somo dan keenam saudara kandungnya, yang merupakan ahli waris almarhumah Satoewi terus mencari keadilan. Mereka memperjuangkan hak atas tanahnya di kawasan Pakuwon, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Persidangan yang digelar pada Selasa 8 September itu seharusnya beragendakan mendengarkan keterangan seorang saksi dari Penggugat (Somo dan ahli waris, diwakilkan oleh kuasa hukumnya dari kantor Litiga-at-law) dan dua saksi dari pihak Tergugat. Namun urung dilaksanakan karena Majelis Hakim tengah berhalangan yang mendadak.

Di tengah perjuangan Somo dan keenam saudara kandungnya untuk mencari keadilan. Kini ia harus berhadapan dengan pihak Kepolisian. Pasalnya, Polda Jatim telah melayangkan Surat Panggilan tertanggal 2 September 2020 untuk meminta Somo hadir memberikan keterangan pada 18 September 2020.

“Somo dilaporkan atas tuduhan pemalsuan surat, jenis tuduhan yang kerap dilayangkan kepada setiap gerakan masyarakat yang mencari keadilan agraria,” kata Immanuel Sembiring selaku Kuasa Hukum Somo dan ahli waris, Kamis 10 September 2020.

BACA JUGA: Perjuangan 7 Anggota Keluarga Petani, Terbentur Klaim Pihak Lain

Immanuel menyesalkan upaya-upaya kriminalisasi ini, dan mengutarakan bahwa, hukum pidana harusnya ditempatkan pada sifatnya yang hakiki yakni sebagai ultimum remedium atau jalan terakhir.

“Yang artinya, PTUN itu kan upaya administrasi, toh juga tengah berjalan, maka pidana itu harusnya nanti-nanti lah atau tidak jadi prioritas lah. Kecuali ada kehendak untuk menciutkan itikad dari Klien kami dalam mencari keadilan,” ujar Immanuel.

Kantor Litiga-at-law mencatat upaya pemidanaan kerap masuk tiba-tiba dalam perjalanan kasus-kasus masyarakat tengah memperjuangkan keadilan agraria. Masuknya cara-cara pidana ini, menurut catatan Litiga-at-law memang seringnya efektif untuk mengendurkan keberanian masyarakat.

Namun, Litiga-at-law, menyayangkan hal itu, dikarenakan Pemerintah Indonesia sebenarnya tengah memperbaiki tata-kelola pertanahan di negeri ini berikut mengimplementasikan keadilan redistribusi tanah melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap).

“Di satu sisi, Pak Jokowi menunjukan keberpihakan yang sangat jelas dalam kebijakan publiknya untuk menciptakan keadilan redistribusi tanah melalui program PTSL. Nah, lain di pusat, lain di daerah. Mustinya kasus ini dapat menjadi perhatian Pemerintah Pusat, diantaranya Presiden dan Menteri Agraria,” pungkasnya.