Rabu, 04 September 2019 10:24 UTC
TOLAK RELOKASI: Warga 10 desa di Pasururan unjuk rasa menolak rencana relokasi yang digagas oleh TNI AL. Foto: Forum Komunikasi Tani Sumberanyar
JATIMNET.COM, Surabaya – Sekitar 3.000 warga mendatangi Kantor Bupati Pasuruan untuk menuntut penyelesaian sengketa tanah antara sepuluh desa dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut (TNI-AL), Rabu 4 September 2019. Salah satunya, menolak rencana relokasi warga 10 desa yang digagas oleh TNI AL dengan menyediakan lahan seluas 372 hektare.
“Selama sengketa berlangsung, telah terjadi banyak intimidasi, perampasan, dan tindak kekerasan lain, yang pada puncaknya di tanggal 30 Mei 2007, terjadi penembakan oleh pasukan TNI AL yang menewaskan empat orang dan belasan warga luka-luka di Dusun Alas Telogo (di wilayah Kecamatan Lekok) yang kemudian peristiwa ini disebut sebagai Tragedi Alastlogo,” ungkap Lasminto dihubungi Jatimnet, Rabu 4 September 2019.
Namun, warga sepuluh desa menolak dengan tegas rencana relokasi tersebut, mengingat lahan yang ditempati warga sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat.
BACA JUGA: Warga Pasuruan Surati Presiden Agar Tuntaskan Konflik Lahan Puslatpur Marinir
“Sebelum aksi, kami menuju makam empat orang warga yang meninggal pada peristiwa Alas Tlogo, lalu berangkat menuju Stadion Untung Suropati dan melakukan long march ke Kantor Bupati Pasuruan, kami menyampaikan aspirasi terkait penolakan relokasi,” jelasnya.
Massa aksi kemudian ditemui oleh Wakil Bupati Pasuruan, Abdul Mujib Imron. Kepada warga, ia menyampaikan penolakan rencana relokasi sebelum ada musyawarah dan persetujuan masyarakat.
Kedua, pemerintah daerah akan melindungi warga masyarakat untuk bertemu Pemprov Jatim dan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan kasus sengket, dan komitmen melindungi warga desa.
“Komitmen itu disampaikan oleh Wakil Bupati, kami akan tagih seminggu kedepan untuk dipertemukan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Pusat, dan pihak TNI Angkatan Laut, selama ini belum ada pemerintah provinsi yang turun ke sini, saya harap lebih proaktif,” ungkapnya.
BACA JUGA: Konflik dengan TNI, Akademisi Minta Pemerintah Kembalikan Tanah ke Masyarakat
Sebelumnya, menurut Lasminto, TNI AL melakukan pemagaran kawat berduri di lahan warga secara paksa. Akibatnya warga tidak bisa melakukan aktivitas pertanian di lahannya.
Tidak hanya itu, akses jalan yang selama ini digunakan oleh warga untuk keluar masuk kampung, dan digunakan oleh anak-anak sekolah menuju sekolahnya tidak bisa dilalui.
“Sehingga warga dan anak-anak sekolah harus memutar melewati jalan yang lebih jauh untuk bisa beraktivitas di luar kampungnya,” lanjutnya.
TNI AL juga melakukan pelarangan sesuai dengan surat edaran dari Lantamal V Surabaya No. B/208-04/18/50/Lant.V, yang isinya melarang penerbitan KTP, mendirikan bangunan, memasang jaringan listrik, memasang instalasi air minum, dan pembuatan atau perbaikan jalan, di atas tanah sengketa.
BACA JUGA: Helikopter Water Bombing Jinakkan Tujuh Titik Bara Api di Gunung Arjuno
Meski di areal tanah sengketa ini berdiri Perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTGU). Konflik warga masyarakat dengan TNI AL berdampak pada sepuluh desa, yakni Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Alastlogo, Semedusari, Tampung, Gejugjati, dan Branang di Kecamatan Lekok.
Sementara Desa Sumberanyar di Kecamatan Nguling telah terjadi konflik sejak tahun 1960-an, dengan luasan 3.676 hektare.