Sabtu, 23 November 2019 05:32 UTC
Ilustrasi feminisme. Foto: Unsplash
JATIMNET.COM, Surabaya – Dewan Kesenian Pakistan dipaksa menyusun kembali sebuah diskusi tentang feminisme lantaran tidak melibatkan pembicara perempuan dalam acara tersebut. Mereka menambah dua pembicara perempuan serta mengubah tajuk diskusi, setelah terjadi banyak kritik dan protes di media sosial.
Judul semula “Feminisme: Perspektif lain” diubah menjadi “Memahami Feminisme”. Sedangkan dua pembicara perempuan yang baru ditambahkan adalah aktivis feminis Akbar Rashi dan jurnalis perempuan Quatrina Hosain.
Awalnya, hanya terdapat satu perempuan dalam acara tersebut, yaitu pembawa acara bernama Uzma al-Karim. Dalam budaya patriarki yang kuat di Pakistan, menempatkan laki-laki untuk mengisi slot seluruh pembicara, menyebabkan acara tersebut menuai banyak kritik.
BACA JUGA: Seratusan Anak Pakistan Terinfeksi HIV Akibat Malapraktik
Namun tindakan menyusun ulang itu, nampaknya gagal meyakinkan seluruh pengguna media sosial.
Sebagian warganet menuduh laki-laki yang berpartisipasi dalam acara tersebut hanya ikut lantaran mengejar kepentingan pribadi.
Mereka yang setuju dengan pandangan ini, mengangap jika tidak ada alasan bagi laki-laki memberikan pandangan mereka atas feminisme-dan sangat salah bila tak menghadirkan pembicara perempuan sama sekali.
BACA JUGA: Pasca Bom, Muslim Perempuan Sri Lanka Diminta Lepas Cadar
Uzma Karim, pembawa acara mengatakan, jika tujuan panitia melibatkan laki-laki yang memiliki jabatan dan mampu membuat keputusan, adalah agar mereka turut berbicara tentang feminisme, dari perspektif mereka.
“Kami ingin mengetahui persepsi mereka lantaran mereka memiliki posisi penting untuk membuat kebijakan dan mempengaruhi pendapat publik. Sehingga itu kami sebut perspektif lain,” katanya.
BACA JUGA: Senjakala Media di Pakistan Mulai Mewabah
Nida Kirmani, profesor dari ilmu sosial di Universitas Lahore, mengatakan jika laki-laki yang mendiskusikan tentang feminisme adalah dibenarkan, namun Dewan Kesenian Pakistan gagal menjelaskan konsepnya sehingga memancing banyak protes di media sosial.
“Saya rasa reaksi ini disebabkan oleh fakta jika kami semua muak melihat panelis yang didominasi laki-laki yang tanpa lelah mendebatkan apa pun di media elektronik,” katanya.
“Sangat jarang, kami melihat ada sosok protagonis perempuan, dan hal ini terlihat normal bagi sebagian besar penduduk,”katanya.
Sumber: Bbc.com