Logo

Polemik Iuran bagi Nonpribumi, Ini Kata Ketua DPRD Surabaya

Reporter:,Editor:

Rabu, 22 January 2020 14:05 UTC

Polemik Iuran bagi Nonpribumi, Ini Kata Ketua DPRD Surabaya

POLEMIK NONPRIBUMI. Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono menanggapi polemik istilah nonpribumi dalam aturan pungutan di RW 03 Bangkingan, Lakarsantri. Foto: Restu Cahya

JATIMNET.COM, Surabaya – Kebijakan para pengurus RT dan tokoh masyarakat di lingkungan RW 03 Kelurahan Bangkingan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, sempat jadi polemik dan beredar di media sosial.

Dalam surat keputusan yang ditetapkan Minggu, 12 Januari 2020 tersebut, diatur sejumlah ketentuan mengenai besaran iuran bagi warga nonpribumi maupun perusahaan milik nonpribumi yang akan tinggal atau mendirikan rumah atau tempat usaha (pabrik) di RW setempat.

Begitu juga bagi orang berjualan atau berdagang di RW setempat dan orang yang menumpang keluarganya dan masuk dalam susunan Kartu Keluarga (KK) warga RW setempat.

Untuk warga nonpribumi yang akan mendirikan rumah dikenakan iuran total Rp1 juta untuk kas RT dan RW. Sedangkan warga nonpribumi yang pindah di RW setempat dikenakan iuran Rp2 juta. Sementara itu, tempat usaha yang didirikan warga nonpribumi di RW setempat dikenakan iuran total Rp5 juta untuk PT dan Rp3 juta untuk CV. Selain itu, tempat usaha milik warga nonpribumi yang beroperasi di RW setempat juga dikenakan iuran bulanan masing-masing Rp150 ribu untuk PT dan CV serta Rp100 ribu untuk UD.  

BACA JUGA: Pendatang Surabaya Terancam Denda Rp 500.000, Jika Tak Isi Puntadewa

Istilah nonpribumi itu jadi polemik di masyarakat karena dianggap mendiskriminasi etnis tertentu. Menurut Ketua DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono, pengurus RT dan RW memang diberi wewenang memungut iuran dari masyarakat namun setelah mendapat persetujuan lurah setempat.

"Kita sudah punya Perda Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan RT/RW dan LPMK. Di situ diatur bahwa RT/RW boleh melakukan penggalangan dana atau mencari sumber dana dari warga masyarakat. Tapi, ada Pasal 30 ayat 2 yang menyebutkan segala pungutan atau iuran dari masyarakat itu baru bisa berlaku setelah mendapatkan evaluasi dari lurah,” kata politikus PDI Perjuangan yang akrab disapa Awi ini, Rabu, 22 Januari 2020.

Sehingga menurutnya, masalah di Bangkingan itu tidak perlu terjadi jika lurah menjalankan pengawasan terhadap peraturan RT/RW.

Menurutnya, banyak perangkat lurah bahkan camat yang masih belum memahami isi perda tersebut. Ia mengklaim istilah nonpribumi yang ada dalam keputusan RT dan RW setempat hanya masalah pemilihan istilah yang kurang tepat.

"Kita harus percaya kepada mereka bahwa itu hanya persoalan keredaksionalan belaka dengan mencantumkan kata pribumi dan nonpribumi. Sejatinya sudah ada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras, tapi itu juga tidak diketahui di tingkat bawah,” kata Awi.

Menurutnya, berdasarkan keterangan dari warga, yang dimaksud istilah pribumi adalah warga asli Bangkingan sedangkan nonpribumi adalah warga pendatang. “Tapi entah kenapa tertulis pribumi dan nonpribumi," katanya.

BACA JUGA: Kejari Tanjung Perak Periksa 100 RT/RW Penerima Dana Hibah

Awi mengapresiasi warga RW 03 Bangkingan yang cepat menyadari kekeliruan mereka. "Terbukti satu hari setelah viral, kemudian sudah ada rembuk warga dengan antar pengurus kampung tersebut,” katanya.

Agar kontroversi serupa tak terjadi di tempat lain, Awi meminta lurah dan camat lebih mengawasi pungutan RT/RW dan harus mengacu Perda Nomor 4 Tahun 2017.

Ia juga meminta Komisi A DPRD Surabaya mengundang Asisten 1 Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya, Kepala Bagian Pemerintahan dan Kepala Bagian Hukum untuk melakukan sosialisasi Perda Nomor 4 Tahun 2017 di kalangan lurah dan camat.

“Juga harus ada follow up (tindak lanjut) sosialisasi kepada RT/RW dan LPMK di seluruh Surabaya agar insiden itu tidak terulang kembali," ujarnya.