Kamis, 15 August 2019 04:25 UTC
LOKASI PILIHAN. Salah satu spot di atas jembatan sisi timur yang kerap dipilih pemancing mencari ikan di pintu air Jagir Wonokromo, Rabu 14 Agustus 2019. Foto: Bayu Pratama.
JATIMNET.COM, Surabaya – Dua warga Surabaya masing-masing Gatot (64) warga Wonocolo dan Walid (54) warga Wonokromo terlihat menunggu jala di jembatan sebelah timur pintu air Jagir Wonokromo.
Sesekali keduanya menengok ke bawah, menanti hasil tangkapan ikan yang sejak dua jam lalu belum terlihat sama sekali. Meskipun hari jelang petang, keduanya mengamati jala yang ditarik dari sungai.
Walau akhirnya gagal mendapatkan ikan, aktivitas memancing di sungai Jagir merupakan cara melepas penat yang paling menyenangkan.
“Lebih ke hiburan, hobi mancing, kalau ada masalah di rumah datang ke sini,” kata Walid kepada Jatimnet, Rabu 14 Agustus 2019, sekitar pukul 17.40 WIB.
BACA JUGA: Benteng Kedung Cowek Akan Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya
Aktivitas memancing di kawasan pintu air Jagir Wonokromo, di salah satu cagar budaya di Surabaya memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pemancing ikan seperti mereka.
Ia menunjukkan ada dua lokasi favorit para pemancing ikan. Pertama terletak di tepian kali Jagir Wonokromo, dan kedua berada di atas jembatan yang membentang, tepat di sisi timur pintu air Jagir Wonokromo.
“Yang mancing di sini bisa dari pagi sampai malam,” tambahnya.
Sementara itu, Gatot, pria yang sudah 15 tahun punya hobi memancing menjelaskan ada dua cara memancing di Sungai Jagir. Pertama memakai jala kecil seperti yang dia tarik dengan seutas tali, kedua menggunakan alat pancing biasa.
 
TETENGER. Sungai di Jagir Wonokromo pernah digunakan pos pasukan Tartar sebelum menyerang kerajaan Kediri sebelum dibangun pintu air oleh Belanda. Foto: Bayu Pratama.
“Biasanya yang pakai alat pancing sebelah sana,” tambahnya sambil menunjuk tepian sungai.
Apabila beruntung, pemancing bisa mendapat belasan ikan, seperti patin, bader atau bandeng. Meskipun terdapat larangan memancing di area sekitar cagar budaya, keduanya mengaku tidak pernah ada operasi khusus untuk melarang pemancing ikan.
Menurutnya, papan larangan memancing seperti baru dipasang Pemkot Surabaya. Sejalan dengan itu, keduanya mengaku tidak ada larangan maupun petugas Satpol PP yang melakukan operasi di sekitar pintu air.
Larangan memancing ramai dibicarakan kembali pada Januari 2019. Saat itu ada kabar tenggelamnya seorang pemancing yang tidak ditemukan, menjadi dasar keluarnya aturan tersebut.
“Satu orang hilang, tenggelam,” bisiknya.
BACA JUGA: 126 Tahun, Langgar Kayu Baru Dilirik Pemkot Surabaya
Cagar Budaya Pintu Air Jagir Wonokromo
Pintu Air Jagir Wonokromo menjadi Cagar Budaya di Kota Surabaya sejak tahun 1998. Bangunan yang didirikan pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda itu dibangun pada 1917, kemudian direnovasi pada 1978.
Pintu air Jagir Wonokromo membentang sepanjang delapan meter dengan tinggi lima meter. Memiliki dua pilar dengan ketebalan sekitar 2,50 meter dengan tiga buah pintu air yang berfungsi sebagai pengendali banjir, penyedia air baku yang dimanfaatkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya, dan penahan intrusi air laut.
“Memang angin cukup kencang, karena ini langsung dari laut,” ungkap Walid.
Mengenai Cagar Budaya, kedua pemancing tersebut bercerita tidak ada aktivitas berarti pada momen kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Ia hanya bercerita, kawasan cagar budaya ini justru sering dikunjungi wisatawan asing, salah satunya dari Belanda.
BACA JUGA: Seluruh Peserta Puji Pelaksanaan Cross Culture 2019
“Waktu mancing, tiba-tiba orang luar negeri berkunjung ke sini, orang Inggris, Korea, Belanda, barangkali mau lihat peninggalan nenek moyang mereka,” terang Gatot.
Mengenai sejarah Pintu Air Jagir Wonokromo, pada papan informasi tedapat di samping pintu air tertulis, Sungai Jagir merupakan tempat berlabuhnya pasukan tentara Mongolia yang akan menyerang Kediri.
“Sebagai lokasi pasukan, tempat bersauhnya tentara Tartar yang akan menyerang Kediri tahun 1293,” seperti tertulis pada papan informasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya.
Bagi Gatot dan Walid, cagar budaya pintu air Jagir Wonokromo memiliki arti khusus, selain sebagai penanda jejak kolonial di Kota Surabaya, di tempat itulah mereka menghabiskan waktu melepas lelah dari penatnya kehidupan kota.
“Sejak zaman nenek moyang ada, (cagar budaya) harus dijaga,” pesan Gatot.
