Reporter
Dyah Ayu PitalokaSabtu, 5 Januari 2019 - 08:11
LIMA belas tahun silam, ia dipandang tukang bikin kumuh tembok kota. Sulung Widya Prasastya, kini 33 tahun, kala itu satu di antara street artist yang suka menuangkan karya di jalanan Yogyakarta dan Muntilan, Kabupaten Magelang. “Karena suka menggambar,” kata lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu mengenangkan kembali pengalamannya, Selasa 1 Januari 2019.
Cerita kekaryaannya berubah empat tahun lalu. Suatu hari pada 2014, kawannya menawari pekerjaan melukis mural di dalam hotel. Kebetulan saja, kawan itu kenal dengan anak seorang pemilik hotel yang berencana menghiasi hotelnya dengan mural.
Sulung mendapat honor lumayan bagus untuk melukis mural di hotel. Tarifnya tergantung pada tingkat kesulitan, detail gambar, dan perwarnaan. Tapi lazimnya, ia menerima Rp 10 juta untuk satu proyek mural dengan jangka waktu pengerjaan sepekan.
Meski kerap menerima tawaran dari hotel, ia tetap melukis mural di jalanan. Sebagian pendapatannya malah ia habiskan untuk membiayai mural di ruang-ruang publik.
Melukis mural di hotel tentu tak sebebas di jalanan. Ada dua model tawaran yang berlaku. Seniman menyodorkan konsep dan pengelola hotel menyetujuinya, atau sebaliknya, pengelola menyesuikan style karya seniman.
Menurut Sulung, pada masa awal membuat mural untuk hotel, ia mengajukan beberapa sketsa pada pengelola hotel. Kala itu, ia sodorkan gambar becak, angkringan, andong, pasar, dan lampu kota. Setelah disetujui, barulah ia bekerja.
“(Kalau untuk Artotel) hotelnya mengundang seniman untuk menggambar kemudian hotel menyesuaikan,” kata seniman yang baru saja merampungkan pameran di Artotel Surabaya itu.
Artotel rutin memamerkan karya para seniman dua bulan sekali. Bulan ini, di lobinya terpajang karya-karya Bayu Widodo. Gambar seniman asal Yogyakarta itu dipamerkan hingga pertengahan Januari 2019.
Hotel Yello menerapkan cara berbeda untuk mendapatkan karya seniman. Mereka menggelar lomba mural tiap kali membuka cabang hotel baru. Karya terbaik dipilih dan digunakan untuk melengkapi desain interior hotel.
Wallapaper di dalam kamar hotel Artotel Surabaya. Foto: Dyah Ayu.
Marketing Communication Hotel Yello Moh.Arif Romadhoni mengatakan mereka membebaskan tema mural. “Yang jelas tak boleh Sara,” katanya.
Sara, singkatan suku, agama, ras, dan antar golongan. Akronim itu dimaknai agar saling menghargai perbedaan dan tak menebar kebenciaan pada kelompok tertentu.
Konsultan seni Jogja Painting Dewi Rachmawati mengatakan seni mural dalam hotel mendatangkan banyak manfaat. Tak hanya meningkatkan impresi dan brand hotel, tapi juga memancing kreativitas dan produktivitas.
Bisnis jasa pembuatan mural pun berkembang. Pemilik Raditya Designer Art Raditya Gunawan mengawali bisnis ini sejak 2012 dengan menghimpun seniman dan desainer grafis. “Kami punya sekitar 20 seniman,” katanya.
Cara kerja agen jasa mural sejatinya mirip yang dilakukan Sulung. Mula-mula mereka menyodorkan konsep gambar pada pengelola hotel. Bedanya, ada tim desainer grafis yang bekerja sebagai konseptor gambar dan sketsa. Setelah oke, seniman bekerja sesuai pesanan.
Menurut Raditya, lukisan para muralis memiliki daya tarik tersendiri. “Lukisan kan karya seni,” katanya.
Tarif pembuatan mural bervariasi. Meski disesuaikan dengan ukuran mural, kian sederhana gambar kian murah harganya. Rata-rata berkisar antara Rp 250 ribu-Rp 500 ribu per meter.
Ia optimistis bisnis jasa pembuatan mural bertahan dan berprospek bagus. Selama tren selfie dengan gambar yang instagramable masih tinggi, selama itu pula dinding bergambar ciamik masih dibutuhkan.
Tahun lalu saja, ia memberi contoh betapa cemerlangnya bisnis ini, ia mendapatkan proyek mural seluas 500 meter untuk sebuah hotel di kota Medan.
Tulisan sebelumnya: Ada Seni Ada Ciri
Tulisan berikutnya: Lukisan Gua Dulu, Masuk Hotel Kemudian