Dyah Ayu Pitaloka

Sabtu, 5 Januari 2019 - 08:18

PADA mulanya mural datang dari dinding-dinding gua pada masa prasejarah. Gambar itu menjelma sebagai penghias gereja, populer di jalanan Amerika sebagai medium kritik sosial, dan kini bermanfaat untuk mempercantik hunian.

“Mural awalnya ada di langit-langit gua,” kata Desy Rachma Waryanti, seorang seniman, Selasa 1 Januari 2019.

Dessy pernah memperdalam ilmu kajian seni di ISI Yogyakarta. Menurut dia, pada masa Renaissance, pelukis Italia Michelangelo memopulerkan lukisan di dinding dan atap gereja. Tema lukisannya, lazim menggambarkan kisah dan peristiwa yang termaktub di kitab suci Injil. “Agar orang terinspirasi ketika masuk gereja,” katanya.

Lukisan dinding kembali dipopulerkan oleh Pablo Picasso, pelukis kelahiran Spanyol tahun 1881 yang terkenal dengan aliran kubisme. Ada pula Marc Chagall, pelukis Belarus kelahiran tahun 1887, serta Henri Matisse, pelukis Perancis yang lahir pada 1869.

Pasca era itu, pamor mural dalam ruangan meredup. Hingga pada era 1960, street artist Amerika Keith Haring memopulerkan mural di jalanan. Di tangannya, mural menjadi media perlawanan dan protes atas kondisi sosial-politik.

Pada masa revolusi fisik di Indonesia tahun 1945, mural dan graviti berkelindan memasok kesadaran rakyat merdeka. Dinding kota dipenuhi propaganda perlawanan.

Mural semacam ini berkembang hingga masa Orde Baru. Tak heran, para penguasa menganggap mural di jalanan adalah sampah. Coretan tak berguna, vandal, dan bikin kumuh kota.

Pasca-Orde Baru runtuh, mural berkembang tak sekadar media protes pada pemerintah. Dalam tulisan Doreen Lee dalam “A Troubled Vernacular: Legibility and Presence in Indonesian Activist Art”, pesan dalam mural jalanan berkembang dengan tema yang universal. Tentang kepedulian lingkungan, hak asasi manusia, hingga pemberdayaan kaum marjinal.

Mural pun masuk ke hotel. Desy mengatakan itu berlangsung pada era 2000an dan dipelopori Artotel.

Masuknya mural dalam hotel, kata dia, menjadi penanda meningkatnya apresiasi publik pada karya seni. Mural tak lagi dianggap seni jalanan dan alat protes. Meski masuk hotel, tetap ada pesan di balik mural.

Desainer interior di Akhodyat, Andira Muwarni, mengatakan branding pada hotel penting sebagai identitas yang membedakan satu dengan yang lainnya. Di tengah persaingan bisnis yang ketat, branding membantu pemasaran pada pelanggan. “ Jika mereka tidak mengikuti zaman, selling point-nya turun,” katanya.

Tulisan sebelumnya: Legit Bisnis Jasa Mural

Tulisan berikutnya: Asal Usul Mural (Infografis)

Baca Juga

loading...