Logo

MyAmerica Surabaya Soroti Kejahatan Seksual di Ruang Pendidikan dan Agama

Reporter:,Editor:

Jumat, 06 March 2020 07:30 UTC

MyAmerica Surabaya Soroti Kejahatan Seksual di Ruang Pendidikan dan Agama

KEKERASAN SEKSUAL: MyAmerica Surabaya dan Konjen AS Surabaya menyoroti mengenai ruang pendidikan dan agama sering menjadi kejahatan seksual. Ilustrasi: Gilas Audi

JATIMNET.COM, Surabaya – MyAmerica Surabaya dan Konsulat Jenderal (Konjen) AS Surabaya merayakan Women’s History Month atau Bulan Sejarah Wanita pada Kamis 5 Maret 2020, dengan menggelar diskusi refleksi kasus kejahatan seksual pada anak di ruang pendidikan dan agama.

Acaranya diikuti lebih dari 200 peserta dari Surabaya dan daerah lain seperti dari Ambon, Bali, Banyuwangi, Jember, Malang dan Maumere yang terhubung secara virtual. Serta mengundang beberapa perwakilan aktivis perempuan, pihak sekolah, pelajar SMA, dan advokat.

Diskusi menghadirkan tiga alumni International Visitor Leadership Program (IVLP) dari program pertukaran yang dibawah naungan pemerintah AS dibuka Acting Consul General Angie Mizeur.

BACA JUGA: PKBI Jatim Sebut Kekerasan Seksual Bermula dari Keluarga

Salah satu alumni sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT) Indonesia penggagas koalisi nasional stop child abuse, Yuliati Umrah mengatakan, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa pada tahun 2019 kasus kejahatan seksual pada anak di ruang pendidikan dan agama masih terjadi hingga sekarang. 

“Tahun 2019 KPAI mencatat terdapat kasus kekerasan seksual sebesar 236 kasus dan 123 kasus ini 55 persen terjadi di ruang pendidikan dan agama yaitu 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki,” kata Yuli, Kamis 5 Maret 2020.

Menurut Yuli, ada beberapa alasan mengapa anak-anak dapat menjadi korban kekerasan pelecehan kejahatan seksual. Sekalipun mereka berada dalam ruang kejadian yang tidak pernah terpikirkan dan disangkakan, seperti ruang pendidikan dan agama misalnya.

BACA JUGA: Pakar Pidana Sebut KUHP Belum Lindungi Korban Kekerasan Seksual

Seharusnya menjadi ruang institusi terbaik dan terpercaya dalam membangun nilai positif dalam tumbuh kembang anak, justru sebaliknya. Yakni menjadi persoalan dan sangat memprihatinkan, para pelajar menjadi korban kekerasan ataupun pelecehan seksual.

“Ini alasannya, kenapa pelajar menjadi korban, karena mereka sedang menempuh pendidikan. Hingga pelaku yang tercatat sebagai guru, pelatih olahraga, pelatih seni, ustadz, pendeta dan lainnya itu menjanjikan sesuatu (nilai akademik, barang kesukaan, masuk surga, perlindungan, prestasi, uang dan lain sebagainya) kepada para korban (pelajar),” paparnya.

Tidak cukup dari situ, para korban juga mendapat intimitasi, ancaman akan dikeluarkan, tidak lulus atau tidak naik kelas, masuk neraka, di ciderai. Bahkan hingga ancaman akan dibunuh yang menjadi pola pikir pelaku untuk dijadikan modus, karena melihat kondisi korban.

BACA JUGA: 94 Kekerasan Anak di Sekolah Terjadi di Jawa Timur

Berdasar itulah, secara khusus dalam diskusi tersebut Yuli meminta agar para orang tua lebih meningkatkan lagi perannya. Pasalnya, menurut Yuli, seringnya orang tua terlalu percaya sepenuhnya, karena institusi pendidikan dan agama masih dinilai sebagai garda terdepan dalam pembentukan karakter dan kemajuan anak-anak.

“Jangan diam, ayo bergerak, bersuara dan berbuat karya nyata. Para orang tua harus meningkatkan perannya dalam menjalani kewenangan asuh, sehingga institusi pendidikan dan agama tidak sewenang-wenang mengambil alih kewenangan pendidikan anak yang justru berdampak pada buruknya situasi anak-anak,” imbaunya.