Logo

MUI Kota Probolinggo Tolak Pajak dan Retribusi Tempat Hiburan

Reporter:,Editor:

Jumat, 10 October 2025 11:00 UTC

MUI Kota Probolinggo Tolak Pajak dan Retribusi Tempat Hiburan

MUI Kota Probolinggo saat memberikan pernyataan sikap tentang penolakan pajak tempat hiburan yang diatur dalam peraturan daerah. Foto: Zulafif.

JATIMNET.COM, Probolinggo - Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Probolinggo menolak ketentuan dalam perubahan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

‎Alasan penolakan itu karena tempat hiburan seperti panti pijat, diskotek, karaoke, bar, klab malam, dan PUB (Publik House) masuk sebagai subjek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Para ulama, tokoh agama, dan cendekiawan muslim menilai masuknya tempat hiburan dalam PDRD dapat meningkatkan potensi kemudaratan.

‎MUI menilai, legalisasi pajak untuk jenis hiburan dapat mencederai nilai-nilai agama, serta norma sosial masyarakat Kota Probolinggo yang religius.

Apalagi, Pasal 16 secara tegas menyebutkan bahwa beberapa jenis tempat hiburan seperti diskotek, klab malam, dan panti pijat dilarang beroperasi di wilayah Kota Probolinggo.

‎Namun, perubahan Perda PDRD tahun 2023 justru memasukkan tempat-tempat hiburan tersebut sebagai objek pajak hiburan.

Ketua MUI Kota Probolinggo KH Muhammad Sulthon menyampaikan suatu tatanan hukum ketika berlawanan dengan norma dan moral harus diluruskan.

BACA: Suasana Tak Kondusif, Aksi Rakyat Jawa Timur Menggugat Ditunda

‎Menurutnya, landasan filosofis hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral dan akhlak. "Jadi, antara penegakan hukum yang berlawanan dengan etis atau moral itu memang harus dikritisi,"tegas Sulthon, Jum'at, 10 Oktober 2025.

‎Sementara dalam pernyataan sikapnya, MUI melampirkan enam butir terkait pengesahan Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pada poin pertama, MUI Kota Probolinggo memandang bahwa keberadaan jenis hiburan seperti panti ‎pijat,diskotek,karaoke,bar,klab malam,dan pub berpotensi kuat menimbulkan kemaksiatan.

Selain itu, merusak moralitas masyarakat, serta bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma sosial.

‎‎Kedua, MUI Kota Probolinggo menghormati kewenangan pemerintah daerah dan DPRD dalam menyusun serta menetapkan kebijakan pajak dan retribusi daerah. Namun, menolak segala bentuk pengesahan dan legalisasi kegiatan yang secara substansial bertentangan dengan ajaran agama,etika,dan moral publik.

‎Ketiga, MUI Kota Probolinggo menyerukan agar Pemerintah Daerah dan DPRD Kota Probolinggo meninjau kembali ketentuan dalam perda tersebut.

BACA: Razia Hotel dan Kosan, Tiga Pasangan Mesum Terjaring di Mojokerto

Hal ini terutama yang terkait dengan pengenaan pajak terhadap jenis hiburan yang mengandung unsur maksiat agar tidak menimbulkan persepsi legalisasi praktik amoral di masyarakat.

‎Keempat, MUI mengajak seluruh umat Islam dan masyarakat Kota Probolinggo untuk bersama-sama menjaga kesucian moral,memperkuat ketahanan keluarga,dan mendukung kebijakan daerah yang berlandaskan nilai-nilai agama,Pancasila,dan budaya luhur bangsa.

‎Kelima, MUI Kota Probolinggo menegaskan komitmennya untuk terus menjadi mitra konstruktif pemerintah daerah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang adil,berkeadaban,berakhlak mulia,serta berorientasi pada kemaslahatan umat dan keberkahan daerah.

‎Keenam, agar Pemerintah Kota dan DPRD Kota Probolinggo melibatkan unsur masyarakat khususnya MUI tentang perencanaan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.

‎“Ini bukan soal pajak semata, tapi soal arah moral dan karakter masyarakat kita. Pemerintah harus bijak,” tegasnya.

‎MUI berharap Pemerintah Kota dan DPRD segera merespons aspirasi ini dengan langkah konkret.Hal ini seperti membuka ruang dialog dan konsultasi publik bersama tokoh agama, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya.

BACA: Satpol PP Tertibkan Aktivitas Waria di Pinggir Sungai Brantas Mojokerto

‎Langkah ini dianggap penting, untuk memastikan kebijakan pajak dan retribusi daerah tidak hanya menguntungkan secara fiskal, tetapi juga selaras dengan nilai keagamaan, sosial, dan budaya masyarakat Probolinggo.

Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua I DPRD Kota Probolinggo Abdul Mujib meminta masyarakat untuk tidak terburu-buru memberikan penilaian negatif terhadap Perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023.

‎Menurutnya, keresahan publik muncul karena ada anggapan bahwa perubahan regulasi ini hanya berfokus pada legalisasi tempat hiburan.

‎Padahal, dalam praktiknya, payung hukum tersebut merupakan aturan menyeluruh mengenai PDRD. ‎“Perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2023 ini mencakup pajak dan retribusi tempat hiburan, tetapi perlu diingat bahwa masih ada Perda khusus tentang usaha tempat hiburan,"paparnya,

‎"Perda khusus itu pada Nomor 9 Tahun 2015 yang mengatur penataan, pengawasan, dan pengendalian," jelas Mujib.

‎Lebih lanjut, Mujib menerangkan bahwa dasar perubahan tersebut merujuk pada Pasal 25 Ayat (1) huruf k yang disesuaikan dengan Pasal 555 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.

BACA: Satpol PP Bongkar Warung Remang-Remang di Desa Ngrame Pungging

‎Mujib menyayangkan adanya kesalahpahaman di tengah masyarakat. Banyak pihak mengira perda itu hanya menyoal tempat hiburan. Padahal, ruang lingkupnya jauh lebih luas.

‎“Dalam perda tersebut, tidak hanya membahas tentang hiburan malam atau tempat hiburan semata. Isinya juga mencakup berbagai jenis pajak dan retribusi daerah lainnya,” ungkap politikus PKB tersebut.

‎Walau Fraksi PKB menyetujui perubahan perda secara menyeluruh, mereka tetap menyatakan sikap menolak keberadaan tempat hiburan di Kota Probolinggo. Sebagai bentuk pengawasan, DPRD pun menyepakati tarif pajak hiburan yang tinggi.

‎“Fraksi PKB dalam pansus mengusulkan tarif pajak hiburan sebesar 75 persen. Namun, usulan itu disesuaikan oleh pemerintah kota menjadi 60 persen,” pungkas Mujib.