Jumat, 06 September 2019 00:12 UTC
KAPAL NELAYAN. Sebuah kapal di pantai Masalembu. Perairan Masalembu menjadi jalur lalu lintas kapal-kapal yang menghubungkan Indonesia bagian timur dan barat. Foto: Ist.
JATIMNET.COM, Surabaya – Nama kepulauan Masalembu kembali menjadi pemberitaan media massa setelah Kapal Motor (KM) Santika Nusantara terbakar dalam perjalanan dari Surabaya menuju Balikpapan, Kamis 22 Agustus 2019.
Terletak di Laut Jawa, kepulauan ini terdiri empat desa; Masalima, Sukajeruk, Masakambing, dan Karamian. Secara administratif, kepulauan ini masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep dan berjarak sekitar 151 mil laut dari pelabuhan Kalianget.
“Salah satu masalah utama di sini jaringan telekomunikasi, akses sinyal terbatas,” kata Haerul Umam, seorang pemuda Masalembu pada Jatimnet.com, Kamis 5 September 2019.
Menurut dia, sinyal itu pun hanya bisa tertangkap telepon seluler di area tertentu, semisal sekitar kantor polisi dan syahbandar, serta kawasan pesisir pantai. Jika lokasinya masuk ke daerah pedalaman yang lebih jauh dari pantai, bisa dipastikan sinyal semakin lemah.
BACA JUGA: KM Santika Nusantara Terbakar di Masalembu, 53 Penumpang Berhasil Dievakuasi
Meski susah sinyal, lanjut dia, hampir semua warga punya telepon seluler. Dihuni sekitar 23 ribu jiwa, yang terdiri dari etnis Madura, Bugis, Mandar, dan Jawa, sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Sisanya jadi petani dan buruh migran ke negeri Jiran, Malaysia.
“Pulang dari sana (Malaysia) bawa hape Android, tapi percuma tidak ada sinyal,” katanya.
Untuk mendapat jaringan komunikasi yang stabil, sejumlah warga memasang sambungan telepon rumah. Tapi jumlahnya tak banyak. Selain hanya warga yang berduit banyak, telepon rumah hanya terpasang di kantor-kantor pemerintahan.
Ia mengatakan warga Masalembu sudah mengenal pentingnya informasi. Dengan akses sinyal terbatas, mereka membentuk jaringan komunikasi dalam grup Whatsapp.
BACA JUGA: (Infografis) Awan Kelabu di Masalembu
Ketika KM Santika Nusantara terbakar dua pekan silam, informasi segera menjalar. Warga yang mendapat pesan lantas membagikan ke warga lain dan berusaha secepat mungkin memberi pertolongan.
Saat itu, lanjut dia, nelayan yang melaut pada malam hari melihat kobaran api dari kejauhan. “Kemudian mereka semua mendekat dan saling menghubungi melalui telepon. Mereka mencoba menyelamatkan penumpang dan berhasil mengevakuasi sebagian penumpang ke Masalembu,” katanya.
Tenggelamnya Santika Nusantara bukan peristiwa kecelakaan kapal pertama yang terjadi di perairan Masalembu. Musibah yang tersohor adalah terbakarnya Tampomas II pada 27 Januari 1981. Peristiwa serupa tak berhenti di sana, kecelakaan kembali terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Sebut saja KM Lestari Abadi (27 Desember 2012), KM Karya Utama 2 (3 Januari 2015), hingga KM Meratus Banjar 2 (2 September 2015).
Terkait kecelakaan kapal yang terjadi, berkembang kepercayaan dan mitos di sebagian nelayan tentang perairan Masalembu. “Banyak yang bilang Masalembu adalah Segitiga Bermuda-nya Indonesia,” kata Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Tanjung Perak Surabaya Sutarno, suatu hari.
BACA JUGA: Ini Jumlah Kapal Tenggelam di Masalembu
Lepas dari kepercayaan itu, perairan Masalembu adalah jalur lalu lintas bagi kapal-kapal yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur.
Haerul bercerita, saban hari bisa menyaksikan kapal-kapal besar melintasi perairan dari pantai. Jika malam, pemandangannya bertambah indah. Kapal-kapal itu gemerlap bertabur cahaya.
Sayangnya, kata dia, kondisi itu berbeda dengan pemandangan di daratan Masalembu yang gelap tak berpenerangan. Aliran listrik tak ada. Satu-satunya sumber listrik di sana adalah mesin diesel yang dioperasikan pihak swasta. Untuk mendapat aliran listrik, warga harus membayar Rp 300 ribu-500 ribu.
Toh, listrik tak mengalir sepanjang malam. Hanya dari pukul 17.30 WIB hingga 22.00 WIB. “Baru nyala kembali sebelum subuh hingga matahari terbit,” katanya.