Kamis, 05 September 2019 00:32 UTC
PUJAA. Telur asin produksi warga binaan eks lokalisasi Putat Jaya A, Kecamatan Sawahan. Foto: Khoirotul Lathifiyah.
JATIMNET.COM, Surabaya – Pria paruh baya itu terlihat memindahkan sejumlah barang di ruang tamunya. Nirwono, warga Putat Jaya II A menyapanya, mempersilahkan masuk Jatimnet yang bertamu ke rumahnya.
“Silahkan masuk, maaf rumahnya agak berantakan,” kata Nirwono yang merupakan Ketua RT Putat Jaya II A, Kecamatan Sawahan. Dia mempersilahkan Jatimnet.com yang bertamu ke rumahnya, Rabu 4 September 2019.
Nirwono adalah motor penggerak usaha kecil menengah atau UKM yang memproduksi telur asin di kawasan Putat Jaya atau di eks lokalisasi Putat. Telur asin yang digeluti warga sudah berjalan sejak lima tahun silam, atau sejak penutupan lokalisasi Dolly.
“Sebelum saya jadi RT, pernah ada produksi telur asin di sini, tepatnya pada 2014. Namun tidak bertahan lama. Baru pada 2016 saat saya menjadi RT, telur asin dikembangkan lagi,” sambungnya.
BACA JUGA: Tempe Jarwo yang Digemari Wali Kota Risma
Diterangkan Nirwono, produksi telur asin di wilayahnya merupakan UKM binaan Pemerintah Kota Surabaya dengan nama PUJAA. Nama itu merujuk pada Putat Jaya II A. Nama itu dicomot lantaran untuk memudahkan konsumen mengingat. Selain itu dia juga tidak ingin mematikan karakter warganya.
Usaha telur asin yang dirintisnya mulai dikenal masyarakat. Tak hanya menjual produk telur asin di pasar tradisional saja. Telur asin warganya sudah banyak dipesan hotel maupun kegiatan pemkot.
“Alhamdulillah kami banyak menerima pesanan. Kami juga sering menerima pesanan dari Jakarta. Dalam satu bulan biasanya satu sampai dua kali pemesanan, jumlahnya ya lumayan. Antara 80 sampai 100 butir,” ucap Nirwono.
Harga per butirnya dipatok Rp 3.000. Dengan harga tersebut pihaknya mendapatkan omzet rata-rata Rp 5 juta, atau penjualan sekitar 50 butir per bulan.
SAUS TELUR ASIN. Salah satu olahan berbahan dasar telur asin Foto: IST
Dia juga menjelaskan, produk telur asin PUJAA sengaja tidak diberi stempel guna menjaga kualitas. Sebagai gantinya dia memasang stiker sebagai label.
Menurutnya, kulit telur asin pori-porinya selalu terbuka. Apabila diberi stempel, dikhawatirkan cairan stempel atau tinta masuk. “Telur asin yang ada stampelnya tidak standar pangan. Berangkat dari itu, kami menggunakan stiker untuk label produk,” jelas Nirwono.
BACA JUGA: Produksi Keripik Tempe Sanan Melonjak Dua Kali Lipat
Adapun telur asin warganya merupakan produksi langsung yang dilakukan ibu-ibu warga Putat Jaya II A. Adapun telurnya diambil dari peternakan, yang juga binaan Pemkot Surabaya.
Mengenakan kemeja warna abu-abu, Nirwono menjelaskan proses pembuatan telur asin tidak jauh berbeda dengan produksi umumnya. Diawali pencucian kulit hingga bersih dengan cara digosok. Cara ini membuat pori-pori kulit telur terbuka.
Selanjutnya pengasinan, yaitu telur dibungkus campuran bata merah, atau pasir hitam, garam kasar serta abu selama 10 hari. Pembungkus dibuka kemudian dicuci bersih kemudian dikukus selama empat jam.
“Proses pengukusan dibutuhkan waktu empat jam agar lebih tahan lama, jadi tidak perlu pengawet,” Nirwono memungkasi.
