Jumat, 02 August 2019 16:15 UTC
Peneliti indeks kualitas udara (AQI) Airvisual, ITS Surabaya, Lalu Muhamad Jaelani . Foto: Bayu Pratama
JATIMNET.COM, Surabaya - Selain data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang digunakan oleh Pemerintah Kota Surabaya, salah satu aplikasi yakni Airvisual dioperasikan dari Laboratorium Geospasial Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) untuk mengukur kualitas udara.
Peneliti indeks kualitas udara (AQI) Airvisual, Lalu Muhamad Jaelani menyebut cara kerja Airvisual yang menggunakan sensor ground yang dipasang pada ketinggian 10 meter di atas permukaan bumi dan citra satelit di seluruh dunia.
“Kalau di Jakarta sudah banyak sensor ground, sementara di Surabaya baru terpasang satu di Departemen Teknik Geomatika yang baru berjalan empat bulan, rencana mau dipasang dua lagi di daerah Manyar dan MMT (Jalan Hos Tjokroaminoto),” ungkap Peneliti sekaligus Dosen Teknik Geomatika ITS tersebut.
BACA JUGA: Pakar Lingkungan Sebut Jalanan di Surabaya Berpolusi Tinggi
Melalui sensor ground, kata Muhamad Jaelani, data masuk ke dalam server lalu diinformasikan keluar secara telemetrik atau dapat dilihat dalam jangka waktu tertentu sehingga lebih akurat.
Sementara untuk daerah yang tidak memiliki sensor ground, indeks kualitas udara diukur melalui satelit dengan estimasi prediksi dan perkiraan yang kemudian ditampilkan dalam laman airvisual kepada publik.
"Perbedaan dengan ISPU, saya tidak ingin memberikan banyak komentar walaupun tahu beberapa informasi tentang itu. Saya hanya menjelaskan ISPU tidak bersifat telemetrik, data tidak terkirim secara otomatis dan disimpan secara baik dalam database," ungkapnya.
BACA JUGA: Risma Siap Tularkan Program Pengelolaan Sampah ke Kota Lain
Selain itu, melalui Airvisual partikel dan konsentrat lebih kecil seperti PM 2,5 dapat dideteksi melalui data airvisual, walaupun indeks yang keluar menunjukkan data yang terbatas sebab pemasangannya minim dibandingkan Jakarta.
“Lingkungan tempat ini bagus, teduh. Aktivitas manusia juga terbatas. Karena dipasang di ITS jadi teduh, kalau Sabtu dan Minggu bisa tinggi karena di samping gedung sedang ada pembangunan," tambah peneliti asal Lombok tersebut.
Mengenai daerah yang memiliki polutan tinggi, ia menyebut daerah dengan lokasi pabrik dan industri berpengaruh terhadap buruknya kualitas udara.
BACA JUGA: ISPU Sebut Kondisi Udara Surabaya Masih Layak Hirup
"Jangan hanya Surabaya dan Jakarta saja yang disuruh khawatir, contoh sampai jam ini, paling tinggi Driyorejo, Sidoarjo, Lamongan, Paciran, punya masalah yang sama,”
Ia berharap agar permasalahan udara menjadi perhatian bersama tidak hanya membandingkan kota satu sama lain lebih buruk.
"Kualitas udara di Surabaya buruk, kalimat itu tidak boleh berhenti di situ, harus tahu kapan waktu terburuk dan di mana tempat terburuk karena kondisi berbeda-beda," tutupnya.