Kamis, 04 August 2022 11:00 UTC
Tersangka PE yang ditangkap anggota anggota Polres Trenggalek karena menggunakan narkoba mendapatkan Restoratif Justice dan hanya menjalani terapi di RS Menur Surabaya, Kamis 4 Agustus 2022. Insert: Praktisi Hukum, Dr. Sunarno Edy Wibowo
JATIMNET.COM, Surabaya - Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memberikan Restoratif Justice (RJ) terhadap salah seorang tersangka di perkara narkoba. Yakni tersangka PE yang ditangkap anggota Satreskoba Polres Trenggalek pada 28 Mei 2022.
Di penangkapan itu, polisi menemukan barang bukti narkoba yakni sabu-sabu di alat hisapnya. Polisi pun menjerat tersangka dengan Pasal 127 ayat (1) huruf A UU RI No 35 Tahun 2009 tebtang Narkotika, ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Kemudian perkara tersebut dilimpahkan ke Kejari Trenggalek untuk melakukan tahap II. Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Trenggalek melakukan profiling, dan melakukan penghentian penuntutan dengan menerapkan keadilan restoratif. Tersangka pun akhirnya hanya menjalani terapi di Rumah Sakit Menur, Sukolilo Surabaya.
Hal itu pun langsung dikritisi oleh seorang Praktisi Hukum, Dr. Sunarno Edy Wibowo. Ia menilai, apa yang dilakukan Kejati Jatim itu terkesan tebang pilih. Walaupun sudah dilakukan profiling-nya itu lengkap. "Sekarang begini, kalau di RJ, RJ semua lah, jangan tebang pilih lah," kata Bowo saat ditemui detikJatim di PN Surabaya, Kamis 4 Agustus 2022.
Baca Juga: Tidak Dijebloskan ke Tahanan, Pengguna Narkoba di Trenggalek Hanya Jalani Terapi, Ini Alasannya
Dosen salah satu perguruan tinggi swasta itu menjelaskan, di dalam etika satu profesi hukum ada 4, yakni advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Menurutnya, masing-masing instansi memiliki kewenangan sesuai tupoksinya.
"Punya kewenangan sendiri-sendiri, ketika ada hubungannya RJ, itu gak bisa dipenggal-penggal begitu saja, karena di dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009, Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika harus masuk dalam proses persidangan, karena ini sudah diundangkan," ujarnya.
Apabila tidak ada proses persidangan, nantinya jaksa harus sama di mata hukum sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum' atau tentang konstitusi. "Kalau begitu, nggak usah tebang pilih. Jadi, semua (di RJ) kalau itu memang berhak," tuturnya.
Ia khawatir, RJ pada perkara narkotika itu justru memantik polemik baru. Bahkan, menimbulkan kegaduhan pada khalayak. "Kalau terbang pilih, ini nanti ada sesuatu yang kecurigaan, sesuatu yang nantinya masyarakat akan menilai. Pemakai, menyimpan, mengedarkan, menggunakan, dan sebagainya tanpa hak itu 4 tahun (penjara), sesuai pasal 112 Narkotika. Kecuali, memang sudah ada pengaturan dari pihak penyidik," katanya.
Selain itu, Bowo juga menyoroti kewenangan yang seolah diambil oleh pihak tertentu. "Kewenangan jaksa, hakim, atau polisi jangan sampai diambil oleh seorang advokat, sama-sama ya punya undang-undang. Kalau advokat, punya undang-undang tahun 18 tahun 2003, kalau jaksa punya undang-undang 14 tahun 2006, hakim dan kepolisian juga demikian," ujar dia.
Tidak hanya itu Bowo juga menilai, apa yang dilakukan Kejati Jatim sama halnya seperti memangkas hukum yakni dari kewenangan hakim di Pengadilan yang selama ini selalu memutus perkara di semua kasus.
Menurut dia, harusnya menjalani persidangan terlebih dahulu di pengadilan. Baru setelah itu nanti seperti apa keputusannya. "Harus disidangkan, nggak boleh langsung dilepas (RJ), harus datang dulu, salah benar itu adalah di hakim," katanya.
Oleh karena itu, Bowo menganggap hal tersebut justru mencederai masyarakat. Terlebih, para pihak yang sebelumnya juga pernah tersandung kasus narkotika.
"Kalau masalah narkoba, tidak ada RJ, kalau begitu nanti semua dilepaskan saja, jangan hanya narkoba saja, tapi semuanya," ujarnya.
Bowo menegaskan, bisa saja ada para pihak yang tak terima dan melakukan pra peradilan pada instansi tertentu perihal diberlakukannya RJ pada perkara narkotika itu. Mengingat, narkoba masih menjadi atensi, momok, sekaligus musuh bagi NKRI.
"Bisa saja itu (Pra peradilan), di tingkat kepolisian dan kejaksaan, bisa jadi masyarakat bisa mengajukan pra peradilan. Masyarakat yang merasa dirugikan atau LSM dan lembaga yang berhubungan dengan konsen terhadap narkoba bisa mengajukan pra peradilan, siapa saja boleh (mengajukan), meski pun bukan terpidana. Karena, dia pasti merasa 'saya dulu kok kena gini, kok anak saya cuma berapa tahun'," katanya.
Bowo menegaskan, pra peradilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak kepolisian terhadap pihak kejaksaan, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut juga tertuang dalam pasal 77 sampai pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan kepolisian dan kejaksaan.
