Kamis, 14 February 2019 05:05 UTC
Maria Ressa saat berbicara dengan petugas NBI di kantor Rappler Manila. Foto: Rappler
JATIMNET.COM, Surabaya – Pemimpin Redaksi sebuah situs berita yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Duterte di Filipina Maria Ressa ditangkap pemerintah setempat dengan tuduhan fitnah siber pada Rabu 13 Februari 2019. Jurnalis yang sempat bertugas di Jakarta itu juga menerima serangkaian tuduhan lain dari pemerintah Duterte.
Penangkapan dilakukan oleh petugas National Bureau of Investigation (NBI) di antara barisan awak media yang membanjiri kantor Rappler di Manila mengikuti viralnya peristiwa tersebut di media sosial, dikutip dari www.reuters.com.
“Publik harus tahu bahwa garis itu telah diterobos”, kata Ressa kepada reporter di lokasi penangkapan. Ressa menambahkan ia juga akan mencari jaminan agar bisa keluar dari tahanan.
BACA JUGA: Jurnalis BBC Diserang Saat Meliput Kampanye Trump
Maria Ressa pemimpin redaksi Rappler ditangkap atas berita yang ditulis tahun 2012 dan diperbarui tahun 2014. Artikel tersebut menuliskan kaitan seorang bisnisman dengan pembunuhan, trafficking dan narkoba.
Jurnalis peraih sejumlah penghargaan itu menggunakan data yang berasal dari laporan penyelidikan agensi yang tidak disebutkan namanya.
Kementerian keadilan setempat mengajukan kasus fitnah siber atas laporan pengusaha yang menyangkal tulisan Ressa. Sedangkan juru bicara kepresidenan Salvador Panelo mengatakan Rappler telah melakukan tindakan kriminal dan dihukum bukan karena laporan yang diterbitkan.
"Ini tak ada kaitannya dengan kebebasan berekspresi atau kebebasan pers," katanya pada media ANC.
Penahanan Ressa membuat sejumlah organisasi internasional angkat bicara. Amnesty International di London mengatakan tuduhan itu dibuat-buat dan termotivasi secara politik.
BACA JUGA: Pembatalan Remisi Susrama untuk Melindungi Keamanan Jurnalis
PBB sedang berupaya mempelajari detail kasusnya."Sekretaris Jenderal PBB (Antonio Guterres) selalu berdiri tegak untuk kebebasan press dan pemerintah untuk mengijinkan jurnalis melakukan pekerjaannya," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Upaya Ressa sendiri dalam menuliskan pemerintahan Duterte mendapatkan pengakuan internasional. Majalah Time memasukkan Ressa dalam deret “person of the year” tahun 2018. Time memberikan pujian pada karya jurnalistik Ressa sebagai “laporan berani atas mesin propaganda Duterte dan pembunuhan tanpa proses pengadilan,” merujuk pada perang berdarah Duterte atas narkoba.
BACA JUGA: Kunjungan Presiden Jokowi ke Surabaya Disambut Aksi Demo Jurnalis
Aktivis setempat menyebut Rappler menanggung beban dari berbagai kampanye intimidasi yang disponsori oleh negara terhadap lawan Duterte. Mereka memukul dengan menggunakan langkah hukum, atau menghujani dengan kebencian di dunia maya. Aktivitas trolling itu dilakukan oleh para influencer media sosial yang di antaranya memegang jabatan di pemerintahan.
Duterte mengatakan tak membutuhkan bantuan trolls di dunia maya, dan menekankan bahwa ia tak pernah menghukum siapapun yang mengkritiknya. Ia menyebut Rappler sebagai outlet berita palsu serta meyakini bahwa Rappler memiliki kaitan dengan agen pengintai CIA dari AS.
"Aksi ini bertujuan untuk mengintimidasi kami," kata Chay Hofilena, editor investigasi Rappler pada media. “Kami tahu itu tujuannya, kami tak akan menyerah," katanya.
BACA JUGA: Remisi Pembunuh Jurnalis, Pernyataan Menkumham Dinilai Menyesatkan
Penangkapan Ressa adalah masalah terbaru yang dihadapai Rappler. Sebelumnya pemerintah membatalkan ijin operasi Rappler di tahun 2018 atas tuduhan pelanggaran kepemilikan serta penghindaran pajak. Dua kasus ini terus berlanjut.
Rappler juga dilaporkan sering menerima ancaman dari supoter Duterte di dunia maya. Kegiatan yang disebut investigasi Rappler sebagai upaya mempersenjatai internet secara terorganisir. Pemerintah menyangkal itu.
The National Union of Journalist of the Philippines (UNJP) menyebut penangkapan Ressa sebagai tindakan persekusi yang tak tahu malu dari pemerintahan perisak.