Logo

Ahli Dewan Pers Hadir Di Sidang Penganiayaan Jurnalis Bangkalan

Reporter:

Senin, 18 February 2019 12:35 UTC

Ahli Dewan Pers Hadir Di Sidang Penganiayaan Jurnalis Bangkalan

Saksi ahli dari Dewan Pers Herlambang Wiratraman di PN Bangkalan Senin 18 Februari 2019. Foto: Ist

JATIMNET.COM, Surabaya – Upaya pencarian keadilan atas kasus penganiayaan Ghinan Salman, mantan jurnalis Jawa Pos Radar Madura memasuki agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Bangkalan Senin 18 Februari 2019.

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya Prasto Wardoyo dan Ahli Pers dari Dewan Pers, Herlambang Wiratraman.

Lewat siaran pers yang diterima Jatimnet.com Senin 18 Februari 2019, sejumlah pertanyaan dilemparkan Hakim Ketua Sri Hananta kepada saksi pertama, Prasto Wardoyo. Antara lain terkait keanggotaan Ghinan di AJI Surabaya ketika kasus terjadi, tindakan Ghinan memotret aparat sipil negara yang sedang bermain pingpong di jam kerja dalam lingkup kaidah dan etika jurnalistik.

BACA JUGA: Buruk Pemerintah Jurnalis Dipenjara

Dalam persidangan tersebut, Prasto juga menyanggah pernyataan hakim tentang kemungkinan kasus diselesaikan dengan cara damai. Menurut Prasto, kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah bentuk ancaman riil kepada hak publik atas informasi. Ketika kasus kekerasan tidak diselesaikan dengan UU Pers, hal ini akan memicu kekerasan di daerah lain.

Sementara saksi ahli Herlambang Wiratraman meengaskan penganiayaan pada Ghinan adalah  penghambatan pada kerja-kerja jurnalis sehingga Ghinan tidak bisa menjalankan fungsinya.

Lulusan Universitas Leiden, Belanda itu menegaskan terdakwa melanggar Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam unsur menghambat atau menghalangi kegiatan mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan infomasi menjadi terhambat.

BACA JUGA: Jurnalis Filipina Dibebaskan, Penangkapannya Tuai Kecaman

“Konteksnya berbeda. Penghambatan itu terjadi dan unsur pidana persnya terpenuhi. Urusan berita pingpong atau kekerasan yang terbit di kemudian hari, itu hal lain. Yang jelas, Ghinan harus melakukan klarifikasi dan konfirmasi terkait informasi awal yang ia terima. Kalau itu dilakukan, kaidah jurnalistik sudah terpenuhi,” kata Herlambang menjawab pertanyaan hakim tentang letak penghambatan sementara berita tersebut tetap diterbitkan.

Herlambang juga menjelaskan tentang bentuk kekerasan terhadap jurnalis sesuai dengan pedoman Dewan Pers. Yakni, kekerasan fisik meliputi penganiayaan, penyiksaan, penyekapan, penculikan dan pembunuhan. Non fisik meliputi, ancaman verbal, merendahkan dan pelecehan.

“Ada dampak fisik dan psikologis yang dialami Ghinan akibat kekerasan yang dialaminya. Unsur pidana persnya, sekali lagi terpenuhi. Perlu diingat, kerja jurnalis bagian dari menjaga demokrasi kita,” imbuhnya.

BACA JUGA: Jurnalis Perempuan Filipina Maria Ressa Ditangkap Pemerintahan Duterte

Jaksa Penuntut Umum, Angga dan Hendrik Murbawan menyatakan keterangan kedua saksi menguatkan dakwaan terhadap terdakwa Jumali. Jumali didakwa menyalahi Pasal 18 Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Kasus kekerasan terhadap Ghinan terjadi pada 20 September 2016. Saat itu, Ghinan mendapati sejumlah aparatur sipil negara di lingkungan Dinas PUPRS Kabupaten Bangkalan bermain pimpong di jam kerja. Ghinan dikerubuti beberapa orang yang tidak suka dengan upayanya mendokumentasikan aktivitas mereka. Ghinan mendapatkan penganiayaan dan ancaman serta dipaksa menghapus foto yang telah diambil sebelumnya.