Senin, 29 March 2021 10:40 UTC
AKSI SOLIDARITAS. Aksi yang digelar AJI Jember di bundaran DPRD Jember mengecam kasus penganiayaan jurnalis Tempo di Surabaya, Senin, 29 Maret 2021. Foto: AJI Jember
JATIMNET.COM, Jember – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember mendesak Polri untuk berani dan transparan mengusut tuntas kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi.
Nurhadi mengalami penganiayaan dan ancaman pembunuhan ketika berusaha menemui mantan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji yang sedang mengikuti resepsi pernikahan anaknya di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) Kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut (Kodiklatal) Surabaya, Sabtu malam, 27 Maret 2021.
Angin adalah tersangka kasus suap pajak yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurhadi dianggap masuk ke lokasi resepsi tanpa izin. Meski sudah mengaku sebagai wartawan, sejumlah orang yang bertugas mengamankan acara melakukan interogasi, penganiayaan, hingga ancaman pembunuhan. Beberapa di antara mereka diketahui anggota Polri dan TNI.
Pihak keluarga mempelai juga merampas handphone Nurhadi dan menghapus serta mereset seluruh data di handphone. Nurhadi akhirnya dipulangkan pada Minggu dini hari, 28 Maret 2021, setelah ditahan di sebuah hotel. Nurhadi mengalami sejumlah luka terutama di wajah, bibir, dan pinggang akibat penganiayaan. Selama interogasi, ia ditampar, dipiting, dijotos, dan dipukul. Penganiayaan ini akhirnya dilaporkan ke Polda Jatim oleh korban dengan didampingi AJI Surabaya, KontraS, LBH Pers, LBH Surabaya, dan LBH Lentera.
BACA JUGA: Meliput Kasus Suap Pajak, Jurnalis Tempo Dianiaya Sejumlah Orang Termasuk Oknum Aparat
Menyikapi penganiayaan tersebut, sejumlah jurnalis yang tergabung dalam AJI Jember menggelar demonstrasi dengan berorasi di bundaran DPRD Jember, Senin, 29 Maret 2021.
Koordinator aksi, Andi Saputra, mengatakan tren kasus kekerasan pada jurnalis meningkat dari tahun ke tahun. Menurutnya, salah satu pemicunya karena sejumlah kasus kekerasan pada jurnalis yang tidak diselesaikan secara hukum. Sehingga tidak menimbulkan efek jera pada para pelaku baik sipil maupun aparat keamanan.
“Jangan sampai kondisi impunitas ini membuat orang yang memiliki kekuasaan lantas berpikir bahwa kekerasan adalah jalan efektif untuk memberangus pers yang kritis. Kasus yang menimpa Nurhadi adalah lampu alarm bagi kebebasan pers di negeri ini,” ujar Andi. Impunitas adalah kondisi pembiaran pada pelanggaran hukum yang dianggap selesai tanpa hukuman.
Menurutnya, penganiayaan dan kekerasan verbal yang diterima Nurhadi tidak sekadar mengancam kebebasan pers, namun juga dianggap sebagai upaya perintangan terhadap pemberantasan korupsi.
“Korupsi adalah kejahatan kerah putih yang penanganannya memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Karena itu, jurnalisme investigasi yang berkualitas selama ini kerap berkontribusi untuk mendorong aparat penegak hukum seperti KPK untuk fokus bekerja,” tutur Andi.
Ia berharap penganiayaan yang dialami Nurhadi diusut tuntas, tidak hanya para pelaku di lapangan.
“Melihat durasi kekerasan berdasarkan kronologi laporan yang ada, kami menilai perbuatan tersebut cukup sadis. AJI Jember mendesak agar kasus ini diusut sampai kepada aktor intelektualnya. Aparat digaji rakyat untuk mengamankan rakyat, bukan untuk menganiaya jurnalis dan rakyat,” katanya.
Di hari yang sama, aksi solidaritas juga digelar jurnalis lintas media dan organisasi di Bondowoso. Massa yang menamakan diri Aliansi Pewarta Bondowoso Bersatu (APBB) itu mengggelar aksi simpatik yang dipusatkan di sekitar Monumen Gerbong Maut.
BACA JUGA: Kapolri dan Komnas HAM Diminta Usut Penganiayaan Jurnalis Tempo di Surabaya
Sembari berorasi, massa juga membawa pigura yang bertuliskan “Kebebasan Pers Akan Mati”. Para wartawan tersebut juga membagikan karangan bunga sebagai simbol matinya kemerdekaan pers.
“Tindakan penganiayaan oleh aparat terhadap rekan kita, Nurhadi dari Tempo di Surabaya, benar-benar di luar batas kemanusiaan. Sebab, jurnalis bukan musuh ataupun sasaran pukul,” kata kordinator aksi, Riski Setiawan.
APBB mengingatkan kerja-kerja profesional para jurnalis dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Karena itu, pelanggaran atas UU tersebut wajib diusut tuntas,” kata jurnalis televisi swasta ini.
APBB juga menyinggung kekerasan fisik yang dilakukan pengawal Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada jurnalis JTV saat kunjungan menteri di Situbondo awal Maret 2021 lalu.
Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama LBH Pers, kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan menunjukkan tren meningkat selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2020 terjadi 117 kasus atau meningkat 32 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 79 kasus.