Minggu, 23 December 2018 04:57 UTC
Pakar Pendidikan Anita Lie (dua dari kiri) menyarankan agar RUU Pensatren dan Pendidikan Keagamaan ditangguhkan terlebih dahulu sebelum adanya perbaikan. Foto: Khoirotul Latifiah.
JATIMNET.COM, Surabaya – Pemuda Katolik Jawa Timur (PPJT) menyarankan agar RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak disahkan terlebih dahulu sebelum adanya perbaikan. Pemuda Katolik Jatim melihat bahwa dalam RUU yang baru terdapat banyak persamaan peraturan pada setiap agama sehingga perancangan undang-undang terkesan tergesa-gesa.
"Dalam RUU itu sebagian besar berisi pertimbangan tentang pesantren. Kami melihat RUU terkesan dirancang khusus tentang pesantren saja,” kata Ketua Komda Pemuda Katolik Agatha Retnosari di Hotel Ibis, Sabtu 22 Desember 2018 malam.
Agatha menilai bahwa RUU ini sengaja dibuat dengan memindahkan materi dalam peraturan pemerintah tersebut ke dalam RUU, tanpa didasari tinjauan atau naskah akademik yang diperuntukkan untuk pengaturan pendidikan keagamaan.
Menurutnya pemerintah harus kembali pada UU Pendidikan Keagamaan yang sudah tertuang dalam ketentuan Pasal 12 Ayat (4), Pasal 30 Ayat (5) dan Pasal 37 Ayat (3) Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
BACA JUGA: Gereja Katolik Ingatkan Umatnya Untuk Gunakan Hak Pilih
"Berdasarkan kajian dan diskusi kami, dari RUU yang akan disahkan menimbulkan kesulitan dari sudut pandang agama katolik. Misalnya penggabungan materi teologi dan filsafat yang keduanya harus dipelajari sendiri-sendiri," kata Agatha.
Pemuda Katolik Jatim menyarankan bahwa frasa dan pendidikan keagamaan dihapus dari judul RUU. Menurutnya, RUU Pesantren merupakan rancangan yang harus diperjuangkan karena memang membutuhkan perhatian pemerintah.
Sementara itu, Pakar Pendidikan Anita Lie mengungkapkan bahwa seharusnya peraturan pemerintah terkait pendidikan informal tidak harus detail agar menimbulkan polemik dalam pelaksanaanya.
"RUU ini jika disahkan akan menambah permasalah, bukan mengurangi masalah. Kami banyak menemukan persamaan dalam aturan tiap agama. Misalnya dalam agama Katolik, ada kata peraturan Kristen. Nah ini yang menurut saya fatal," tambahnya.
Menurutnya aturan pesertanya diwajibkan paling sedikit berjumlah 15 orang supaya peribadatan bisa dilaksanakan di dalam Gereja Katolik. Pengaturan jumlah minimal peserta tersebut di dalam RUU tidak cocok dengan prinsip agama Katolik.
"Misalnya terdapat desa yang pesertanya hanya lima orang, lalu apakah kegiatan tersebut harus dibubarkan karena tidak memenuhi peraturan undang-undang? Hal-hal seperti ini akan menimbulkan kesulitan nantinya,” kata Anita.
Pemuda Katolik mengimbau kepada pemerintah agar pembahasan RUU juga melibatkan Gereja Katolik Indonesia, Organisasi Kemasyarakatan Katolik dengan tujuan pembentukan RUU lebih memahami bentuk-bentuk peribadatan tiap-tiap umat.